Sebelum memaparkan judul di atas, saya akan sedikit memamaprkan beberapa hal di bawah ini:
*) Clifford Geertz menulis buku "The Religion of Java" (The Free Press of Glencou, 1960) yang diterjemahkan dengan perubahan judul "Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa (Pustaka Jaya, 1981). Kemudian Geertz dkk (Hilldred Geertz, Alice Dewey, Robert Jay) mengklasifikasikan trikotomi Santri-Abangan-Priyayi dengan definisi Santri: "True Muslims," Merchants, Masyumi; Abangan: "Animist," petani and proletariat, PKI; dan Priyayi: "Hindu-Buddhist," officials, PNI.
*) Trikotomi Geertz dkk tersebut tidaklah selalu tepat di zaman sekarang. Namun sebagai kecenderungan ketiganya tetap relevan, kecuali PKI yang memang sudah tidak mendapat tempat di NKRI dan sudah bubar-dibuarkan. Namun sebagai pemilihan berdasarkan agama, maka yang tepat adalah Santri dan Abangan, sedangkan priyayi itu sebagai profesi, bukan agama.
*) Menurut saya, Santri masih tepat disebut sebagaimana Geertz dkk itu dengan mendefiniskan sebagai Muslim atau umat Islam. Namun Abangan tidak tepat. Oleh karenanya, perlu dispesifikkan dengan Santri Putihan dan Santri Abangan sebagaimana yang umum diketahui masyarakat. Dikotomi tersebut masih dalam konstelasi Muslim atau umat Islam.
*) Santri dan Abangan masih dapat dipakai mendasarkan pada nama. Bahwa Santri itu mempunyai nama-nama yang islami sedangkan Abangan mempunyai nama-nama yang non islami, bisa nama Jawa atau nama kebarat-baratan, atau nama lain yang intinya tidak dominan islaminya. Walaupun secara perilaku keberagaman tidak selalu sebangun. Artinya, bisa saja yang bernama Abangan itu lebih islami ketimbang yang bernama Santri atau yang bernama Santri lebih tidak islami ketimbang yang bernama Abangan.
*) Sedangkan bagi WNI yang beragama selain Islam, maka masuknya ke dalam kategori religius. Oleh karenanya, saya lebih sreg menggunakan dikotomi: Nasionalis-Religius dan Religius-Nasionalis karena setiap partai politik memiliki realitas yang multi SARA meskipun berbeda dominasi komunitasnya. Bagaimanapun masyarakat tetaplah religius, tidak ada yang benar-benar atheis, karena Republik Indonesia menyebutkan dengan tegas: Ketuhanan Yang Maha Esa.
*) Adanya dikotomi Nasionalis-Religius dan Religius-Nasionalis itu dikarenakan kini tidak bisa secara tegas disebutkan si A itu Nasionalis dan si B itu Religius. Faktanya, Nasionalis ya Religius, Religius ya Nasionalis.
Untuk menggambarkan ketidaktegasan dikotomi Nasionalis dan Religius, justru yang menguat itu Nasionalis-Religius dan Religius-Nasionalis dapat dibaca dengan paparan di bawah ini.
Daya tawar budaya Jawa
Tak bisa dipungkiri bahwa tingginya kemampuan budaya Jawa tetap eksis di tengah gelombang serbuan budaya asing bahkan mewarnai budaya yang masuk ke dalamnya itu dikarenakan kebudayaan Jawa merupakan budaya yang rumit namun formulatif. Kerumitan nan formulatif tersebut menunjukkan kecerdasan-kreativitas. Justru karena kerumitannya itulah kebudayaan Jawa kian dipelajari justru kian menarik dan membuat kian penasaran.
Dan hebatnya lagi, setiap budaya yang masuk ke Jawa selalu ditawar oleh orang Jawa: kowe duwe opo? Iki lho aku duwe iki. Dengan demikian, akhirnya budaya asing yang masuk ke Jawa selalu disisipi oleh budaya Jawa. Misalnya, agama Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen di Jawa berbeda dengan agama aslinya. Oleh karenanya, ada penamaan Hindu Jawa, Buddha Jawa, Islam Jawa, dan Kristen Jawa.
Islam Yes, Partai Islam No!
Pakar Komunikasi Politik UGM, Kuskrido Ambardi, Ph.D., mengatakan agama tidak menentukan pilihan politik pemilih. Hal itu mengaca dari berbagai survei yang pernah dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Kendati gaya hidup religius di masyarakat kian menguat. “Masyarakat mengalami santrinisasi tapi ada konservatisme di politik. Terjadi pemisahan di dunia sosial dan di dunia politik sehingga mempengaruhi perilaku pemilih,” kata Dodi, sapaan akrab Kuskrido Ambardi.
Dari hasil survei yang pernah dilakukan LSI pada pasca pilpres dan pemilu legislatif diketahui bukan lantaran sentimen agama, etnis, dan wilayah yang menjadi patokan pemilih dalam memberikan suaranya namun mengevaluasi hasil kinerja pemerintah. “Perilaku politik pemilih semakin rasional. Kalau kinerjanya bagus akan didukung, kalau tidak akan dicabut dengan tidak memilih,” katanya.
(Selengkapnya baca: Santri-Abangan Indonesia)
Hal itu membuat pernyataan Nurkholis Madjid: Islam Yes, Partai Islam No! tetap relevan hingga kini dan saya pun menulis di Kompasiana ini beberapa tulisan yang memberikan fakta tersebut. Contohnya Nasionalis-Religius dan Religius-Nasionalis. Atheis sekalipun sebenarnya tetap masuk ke dalam kedua kategori tersebut. Karena tidak ada manusia yang benar-benar atheis.
Bahkan dikotomi kepartaian: Nasional dan Islam, pernah diusulkan oleh Gus Dur, tetapi pihak Islam enggan merealisasikannya. Sangat mungkin pihak Islam atau disebut Santri enggan disebabkan karena seringnya Santri ditipu oleh Abangan.
Abangan menang
Lihat faktanya, pada Pemilu 1999, justru PDIP yang cenderung disebut kaum Abangan memenangkan pemilu, meskipun presidennya dari kaum Santri yakni Gus Dur. Tetapi Gus Dur tidak lama di kursi empuk singgasananya, kemudian naiklah Megawati, Ketua Umum PDI-P, jadi RI-1. Kemudian pada Pemilu 2004, lagi-lagi Santri kecelik karena Amien Rais yang identik dengan Santri kalah dari SBY-JK yang lebih pas disebut mewakili kaum Abangan, meskipun tidaklah se-Abangan PDI-P.
Padahal bertolak dari kerumitan-kerumitan yang ada dengan multipartai, sedianya Indonesia memikirkan untuk hanya mempunyai dua partai politik saja. Bisa saja namanyaPartai Merah dan Partai Putihatau nama lain.
Mengaca dari dominasi orang Jawa dengan menempatkan 5 presiden dari 6 presiden yang pernah memimpin NKRI, maka ada empat formulasi yang saling berkaitan dan tidak terpisahkan agar mampu menjadi pemimpin tertinggi di Republik ini.
1) Agama
Islam merupakan agama mayoritas, 88% penduduk Indonesia adalah Muslim, pemeluk agama Islam. Fakta, seluruh presiden Indonesia adalah muslim.
2) Etnis
Walaupun tidak benar 100% tetapi mayoritas orang Jawa masih mempunyai pandangan bahwa presiden Indonesia harus orang Jawa.
3) Program
Program-program yang dilaksanakan selama memerintah baik sebagai bupati, menteri atau gubernur yang memang itu sangat dirasakan oleh masyarakat, itulah yang membuat rakyat kepincut untuk menjatuhkan pilihan kepada si pelaksana program tersebut.
4) Wilayah
Wilayah yang dimaksud adalah wilayah Jawa dan luar Jawa. Sebagaimana etnis, 5 dari 6 presiden Indonesia pun berasal dari Jawa. Pulau Jawa memang memiliki jumlah penduduk terbanyak dibandingkan dengan pulau-pula lainnya.
Bersambung ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H