Mohon tunggu...
Banyu Wijaya
Banyu Wijaya Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

#nusantaraindonesiatrulyuniversa

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Arya Wirajaya Menek Blimbing

6 Oktober 2012   04:02 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:12 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Girigori, 1409 Hijriyah

08.08 WIB

Balonku ada lima

Rupa-rupa warnanya

Merah kuning ......

Sayu-sayup terdengar lagu “Balonku Ada Lima” di Padhepokan Girigori. Padhepokan Girigori merupakan tempat sekolah kedua anaknya, Woro Kuning dan Arya Wirajaya. Woro Kuning sudah kelas 6 sedangkan Arya Wirajaya baru kelas 3.

Srakkk...srakkk...srakk.....

Dara Kinasih sedang menyapu halaman samping kiri rumah joglonya. Sapu lidi baru buatan suaminya, Jaka Tetulung. Sesekali Dara Kinasih mengencangkan tali kain sapu agar lidi tidak tercerai-berai dari ikatannya.

Srekkkk...srekkk...srekkk....

Terdengar bunyi dari sapuan lidinya yang mengenai daun-daun kering pohon nangka. Lima menit sudah Dara Kinasih menyapu hingga terkumpul setengah keranjang sampah dedaunan. Kemudian sampah itu dibuang ke lubang sampah yang nyaris penuh. Di lubang itulah sampah-sampah akan membusuk jadi kompos penyubur tanaman yang ditanam suaminya.

“Bune....Bune.....”

Suara memanggilnya sementara Dara Kinasih tengah asyik-asyiknya menyapu di pinggir lubang sampah itu. Tahu bahwa itu suara suaminya, Dara Kinasih bergegas menuju sumber suara dan lekas menjawab.

“Iya, Pakne...ada apa?”

Jaka Tetulung tidak menjawab. Setibanya di ruang balai-balai Dara Kinasih tertegun. Suaminya, Jaka Tetulung, sedang menulis sesuatu, entah apa, pada sebuah kertas putih. Lelaki itu tak menghiraukan kedatangan istrinya. Padahal pagi itu, Dara Kinasih berdandan secantik Ken Dedes. Jaka Tetulung terus menulis, seolah ia hanya seorang diri di balai-balai itu. Istrinya, Dara Kinasih, pun tak ingin menggangu kekhusyukan suaminya merangkai kata demi kata. Ia duduk di samping suami tercintanya sembari terus memperhatikan lelaki yang segagah Ken Arok itu.

Jawadvipa, 99 Hijriyah

08.09 WIB

“Hana Caraka Data Sawala Padha Jayanya Maga Bathanga. Ahh...selesai sudah aku menulis aksara ini”

Ajisaka bergumam sembari memandangi goresan aksara di kertas putih itu. Di bolak-balik kertas itu. Dadanya naik-turun mengikuti gerakan nafasnya. Ajisaka tampak sumringah, bangga dengan hasil karyanya. Ia kemudian memandang istrinya, Rara Anteng, yang sedari tadi berada di sampingnya. Istrinya tak sedetik pun mengalihkan pandangan pada suami tercintanya. Ia tengah hamil sembilan bulan sehingga sering duduk, karena sudah kepayahan.

“Dinda Rara, coba bacalah tulisan aksara ini.”

Tangan kanan Ajisaka menyodorkan secarik kertas putih kepada istrinya. Rara Anteng menerimanya dengan senang hati, seuntai senyum indah terbit dari mulutnya. Seketika itu pula Ajisaka melihat kedalaman mulut istrinya. Di dalam sana, ada lapangan sepakbola, tampak anaknya sedang bermain bola bersama teman-temannya.

“Hana Caraka Data Sawala Padha Jayanya Maga Bathanga. Wah....indah sekali, Kakanda. Aksara apa ini namanya? Saya baru kali ini membacanya.”

Rara Anteng penasaran sekali. Ajisaka terhenyak mendengar suara istrinya. Sedetik saja anaknya menghilang dari lapangan sepakbola di mulut istrinya. Ia tersenyum mendengar pujian istrinya. Segerombolan angin semilir seakan menerbangkan tubuh Ajisaka ke angkasa. Ia menerawang tinggi ke angkasa, ke kraton Jonggring Salaka. Di sana, ia bersua dengan Bathara Krishna yang sedari tadi memperhatikan Ajisaka dan Rara Anteng. Sekejap Krishna raib. Ajisaka melihat anaknya  dalam kandungan istrinya tertawa-tawa begitu suka-cita bermain sepakbola. Ajisaka pun turun ke marcapada. Ajisaka duduk di samping istrinya. Ia mengelus-elus perut buncit istrinya.

“Anak kita sudah sangat ingin keluar, Dinda. Tadi di Jonggring Salaka, aku melihat ia sedang bermain bola.”

Girigori, 1409 Hijriyah

08.11 WIB

Lir ilir lir ilir tandure wus similir

Tak ijo royoroyo tak sengguh penganten anyar

Cah angon-cah angon penekno blimbing

Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro

Dodotiro dodotiro kumitir bedhah ing pinggir

Domdomono jumlotono kanggo sebo mengko sore

Surako surak hiyo....

Jaka Tetulung bersenandung Lir-Ilir mahakarya Kanjeng Sunan Kalijaga. Begitu syahdu ia menyanyikan tembang Jawa itu. Lima detik kemudian ia merasakan berada di sebuah kebun miliknya yang ada tepat di pinggir rel kereta api jurusan Jogja-Purwokerto.

Girigori, 1399 Hijriyah

15.51 WIB

Di kebun itu Jaka Tetulung sedang memanjat pohon belimbing berumur 99 tahun yang lagi berbuah. Pohon belimbing itu diyakini sebagai anakan pohon belimbing yang ditanam kali pertama oleh kerabat Kraton Kasalam. Tingginya sekira 9 meter. Besar batangnya sebesar pohon kelapa.

Cabang pohon begitu banyak, total ada 45 cabang. Ada cabang yang besar. Ada pula cabang kecil. Tapi yang berbuah hanya satu cabang saja. Susah payah Jaka Tetulung meraih buah belimbing di pucuk cabang tertinggi itu. Ia membutuhkan waktu selama 36 menit untuk sampai pada jarak 5 cm dari buah belimbing satu-satunya di pohon itu. Maklum, Jaka Tetulung tidak mahir sama sekali memanjat pohon, apalagi pohon belimbing yang batangnya tidak bulat betul. Batang pohon belimbing pada umumnya bergeligi atau berliku, nglingir bahasa Jawanya. Dibutuhkan kemahiran dan ketenangan tinggi untuk bisa memanjat pohon ini. Intinya, tidak sembarang orang berani memanjat pohon, apalagi sekadar bermain-main.

Tapi kali ini, Jaka Tetulung dengan terpaksa memanjat sendiri pohon belimbing berbuah satu itu dengan memanggul satu misi: menunaikan janjinya kepada istrinya, Dara Kinasih, yang sedang hamil putra pamungkasnya.  Dara Kinasih nyidam buah belimbing Kasalam.

Akhirnya, setelah berjuang 45 menit, buah belimbing pun didapatkan melalu tangan kanannya. Hatinya bersorak menang tak karuan, sehingga menggetarkan seluruh tubuhnya. Akibat dari kegembiraan berlebihan atas keberhasilannya itu membuat pegangan tangan kirinya melemah, kedua kakinya serasa lemas. Tak ayal lagi .....

Girigori, 1409 Hijriyah

08.12 WIB

Brukk....

Dara Kinasih terjatuh ke lantai tanah. Sontak Jaka Tetulung mendekati istrinya. Tampak istrinya agak kesakitan. Wajahnya pucat pasi sehingga tampak jelas kedua bola matanya. Sejurus kemudian Jaka Tetulung merasa tersedot ke dalam pusaran bola mata kanan istrinya itu. Sedetik kemudian ia sedang bersepeda di alun-alun Kutabangun. Ia mengitari alun-alun yang pagi itu sangat sepi, ia hanya sendirian bersepeda. Lima menit sudah bersepeda, ia berhenti di sebuah pohon beringin sebelah barat di tengah-tengah alun-alun.

Ia menatap masjid Al-Ikhlash yang tampak gagah. Tampak 18 orang lalu lalang keluar masuk masjid yang sudah berumur 212 tahun itu. Anehnya, mereka saja, 18 orang itu, silih berganti keluar masuk setiap lima menit. Tak ada orang lain. Mereka terus mengucapkan ....

“Asyhadu an laa ilaaha illalaah wa asyhadu anna Muhammadarrasulallaah”.

“Asyhadu an laa ilaaha illalaah wa asyhadu anna Muhammadarrasulallaah”.

“Asyhadu an laa ilaaha illalaah wa asyhadu anna Muhammadarrasulallaah”.

Anehnya lagi, wajah mereka pun sama. Jaka Tetulung mengucek-ucek matanya, benar-benar tidak percaya dengan pandangan matanya. Ternyata, wajah itulah wajahnya sendiri.

Terbit penasaran hebat menyelemutinya. Ia pun berdiri dari duduknya, kemudian tangan kanannya meraih sepeda holden kesayangannya. Ia menuntun sepeda onta itu menuju Masjid Al-Ikhlash.

Tak butuh waktu tiga menit untuk sampai di gerbang Masjid Al-Ikhlash. Jaka Tetulung mengedarkan pandangan ke halaman masjid. Tapi yang dicarinya raib. Masjid sepi. Kemudian ia melangkah ke depan undakan pertama masjid. Kembali, ia mengedarkan pandangan ke seluruh komplek masjid. Tapi yang dicarinya raib tak berbekas. Masjid sepi. Hanya terdengar ....

“Asyhadu an laa ilaaha illalaah wa asyhadu anna Muhammadarrasulallaah”.

“Asyhadu an laa ilaaha illalaah wa asyhadu anna Muhammadarrasulallaah”.

“Asyhadu an laa ilaaha illalaah wa asyhadu anna Muhammadarrasulallaah”.

Rasa penasaran kian meninggi, kemudian ia melangkah ke undakan kesembilan, undakan tertinggi di masjid itu. Kembali, ia mengedarkan pandangan ke seluruh komplek masjid, termasuk ke dalam ruang dalam masjid melalui pintu yang sedikit terbuka. Tapi yang dicarinya raib.

Rasa penasaran sekaligus keingintahuannya kian besar. Ia pun melangkah menuju pintu tengah yang hanya terbuka 7 cm. Pintu pun dibuka. Dan .... betapa terkejutnya ia melihat dirinya sedang bersujud di lantai semen beralas tikar pandan wangi. Ia pun mengucek-ucek matanya beberapa kali. Ia memastikan itulah dirinya. Pakaian yang dipakainya sama. Perawakannya pun sama. Kemudian ia mendekati dirinya sendiri. Dalam sekejap dirinya yang sedang bersujud pun raib. Kini, tinggallah ia sendiri di dalam masjid shaf terdepan itu.

“Sujudlah, Ngger. Aku mencintaimu. Sujudlah, Ngger. Aku mencintaimu. Sujudlah, Ngger. Aku mencintaimu.”

Tiga kali suara itu memerintahkan kepada Jaka Tetulung. Jaka Tetulung hanya bengong tanpa tahu suara siapa itu, suara dari mana itu.

Dalam kebingungan total itu, ia merasakan dirinya tersedot keluar dari Masjid Al-Ikhlash. Tahu-tahu, ia berada di depan istrinya yang wajahnya tak lagi pucat pasi, tapi masih terduduk di lantai. Ia memapah istrinya ke kursi yang didudukinya tadi.

“Kau tidak apa-apa, Bune?” tanya Jaka Tetulung kepada istrinya yang tampak kebingungan.

“Ti .... .dak, Pakne. Tapi ..... saya melihat Pakne ..... bersujud di dalam Masjid Al-Ikhlash, Kutabangun. Benarkah, Pakne?” selidik Dara Kinasih seraya mengamati pakaian suaminya.

“Benarkah, Bune? Aku juga melihat sendiri, diriku bersujud di dalam Masjid Al-Ikhlash. Tapi ..... setelah kudekati, diriku menghilang entah ke mana. Sebelumnya aku melihat 18 orang yang semuanya berwajah mirip aku lalu lalang di halaman Masjid Al-Ikhlash, tapi ..... setelah kudekati mereka hilang semuanya,” cerita Jaka Tetulung.

“Mmm...apakah ini pertanda Pakne sudah waktunya melakukan sembahyang?” tanya istrinya.

“Mungkinkah itu, Bune? Aku juga mendengar suara memerintahkan aku untuk bersujud. Tapi ..... entah suara siapa dan dari mana, aku tak tahu juga,” cerita Jaka Teulung.

Mereka benar-benar dalam kegalauan. Jaka Tetulung bersenandung Lir-ilir kembali.

Lir ilir lir ilir tandure wus similir

Tak ijo royoroyo tak sengguh penganten anyar

Cah angon-cah angon penekno blimbing

Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro

Dodotiro dodotiro kumitir bedhah ing pinggir

Domdomono jumlotono kanggo sebo mengko sore

Surako surak hiyo....

08.15 WIB

Dalam keasyikan bersenandung Lir-ilir, terdengar suara mengagetkan mereka berdua.

“Assalamu ‘alaykum, Bapak, Ibu. Arya pulang .... ,” suara Arya Wirajaya memecah keheningan. Belum sempat dijawab salam itu, Arya Wirajaya sudah masuk ke balai-balai, ia memakai topi merah putih bergambar burung Garuda Pancasila.

“Wa’alaykum salam, Arya. Kok cepat pulang, ada apa?” Dara Kinasih dan Jaka Tetulung bertanya bersamaan.

“Tadi abis upacara. Guru mengumumkan  kelas 3 disuruh pulang, karena kelas 6 mau persiapan ujian, Pak. Kelas Arya dipakai kelas 6 ceritanya, Bu.” Jelas Arya.

“Oh begitu, to? Kirain ada apa. Ya sudah sana ganti baju,” bujuk Dara Kinasih seraya mencium pipi Arya Wirajaya.

09.09 WIB

Segerombolan 13 orang besar-kecil tampak memelototi Arya Wirajaya yang tampak susah payah memanjat pohon belimbing Kasalam tua di kebun ayahnya. Arya Wirajaya tak henti-henti melafalkan.

“Allohu Akbar. Allohu Akbar. Allohu Akbar.”

Kelompok bernama Klobot Ireng itu cukup terkenal sebagai pencuri di Kampung Girigori ini. Klobot artinya kulit pembungkus buah jagung, sedangkan ireng artinya hitam. Mereka diberi nama Klobot Ireng itu karena setiap selesai mencuri mereka selalu meninggalkan jejak berupa klobot ireng. Sepertinya klobot ireng itu semacam rokok buatan mereka sendiri. Klobot jagung itulah yang digunakan untuk membungkus tembakau. Karena terbakar, maka klobotnya menghitam.

Jarak mereka sejauh 250 meter dari Arya Wirajaya berada. Arya Wirajaya sendiri tidak tahu-menahu gerak-geriknya diawasi orang lain, apalagi klompotan Klobot Ireng. Ia terus memanjat dengan sangat hati-hati. Sesekali berhenti pada cabang pohon untuk mengumpulkan tenaga. Sementara dua orang temannya, Badrun dan Sangga, berada di bawah pohon. Mereka apalagi sangat penakut untuk memanjat pohon setinggi 9 meter itu. Mereka hanya memberi semangat saja kepada Arya Wirajaya.

“Ayolah cepat Arya. Kamu pasti bisa! “Allohu Akbar,” teriak Badrun menyemangati Arya Wirajaya yang masih bersantai di cabang pohon ke-42.

“Betul Kamu, Drun. Ayolah Arya cepat. Sudah haus nih! “Allohu Akbar,” teriak Sangga seraya memegangi tenggorokannya.

Tenggorokan Sangga tampak sedikit memerah karena saking kuatnya menahan haus. Mereka berdua terus memandangi Arya Wirajaya memanjat pohon belimbing seraya terus melafalkan Allohu Akbar, sehingga kepala mereka jadi pusing. Mereka pun tidak memaksakan diri berdiri, melainkan duduk di bawah pohon belimbing.

09.10 WIB

Sementara itu, Klobot Ireng sedang berembug.

“Payah sekali anak kecil itu. Aku haus sekali, mau petik  itu belimbing, lah malah dia duluan yang ambil,” kata Sam Ireng, sang pemimpin Klobot Ireng, berumur sekitar 34 tahun. Pendidikan tertingginya di Padhepokan Girigori hanya sampai kelas 1. Selepas sekolah, ia berkelana dari satu terminal ke terminal lain di berbagai kota di Jawa, seperti Pelabuhan Kattu, Jakharta, Caribon, Sumirang, Racikan, Sumelang, hingga Tirtawangi. Kehidupan kerasnya membuatnya bertemperamen keras, sehingga cocok sebagai ketua klompotan.

“Kita rebut saja nanti belimbingnya, Sam. Beres kan?” kata Jekkiro, wakil pimpinan Klobot Ireng sekaligus kakak Sam Ireng, berumur 36 tahun. Sama seperti adiknya, ia hanya sampai kelas 1, tapi sekolahnya di Pandhepokan Bayam. Ia selepas sekolah membantu seorang petani cukup kaya di Kampung Girigori hingga berumur 29 tahun. Tapi karena kelakuannya tidak baik, sempat beberapa kali membawa kabur putri majikannya, akhirnya ia diusir dari Kampung Girigori. Kemudian ia berkelana ke Jakharta, tapi tetap saja kelakuannya tidak mereda, justru bertambah buruk. Sampai ia bertemu adiknya, Sam Ireng, di rumahnya ketika Lebaran tahun 1407 Hijriyah. Mereka pun bersepakat untuk membuat klompotan Klobot Ireng.

“Ya, betul itu, Si Jek. Betuul....” kata Wanipira, anggota termuda Klobot Ireng, berumur 13 tahun. Ia pernah bersekolah di Padhepokan Girigori, tapi hanya sampai kelas 3. Sebenarnya ia sudah SMP kelas 1, tapi karena tinggal kelas terus, ia jadi sekelas dengan Arya Wirajaya. Tapi gara-gara pergaulannya dengan Klobot Ireng, ia lebih suka tidak sekolah. Ternyata, isunya, Wanipira itu masih kerabat, meski kerabat jauh, Jekkiro.

“Okelah, ayo kita serbuuuu.......” ajak Sam Ireng.

Mereka segera menuju pohon belimbing di kebun Jaka Tetulung.

09.11 WIB

Arya Wirajaya, Badrun, dan Sangga tidak mengetahui serbuan Klobot Ireng.

“Hai Badrun. Tolong ambilkan air minum di rumahku, ya. Aku haus banget nih. Aku gak kuat lagi. “Allohu Akbar. Allohu Akbar. Allohu Akbar,” pinta Arya Wirajaya yang bersandar di cabang pohon belimbing ke-44 seraya memegangi dadanya yang berdetak keras. Suara lafal Allohu Akbar melambat. Sampai-sampai ia mendengar jantungnya berdegub. Dug.....dug....

Sebanyak 5 buah belimbing sudah agak ranum berada di pucuk cabang pohon ke-45. Tak ada buah lain di cabang-cabang lainnya. Buah itu menerbitkan rasa haus yang besar. Sehingga memancing Arya dan kedua kawannya untuk mendapatkannya. Walaupun mereka tahu betapa berat untuk mendapatkannya.

“Okelah kalau begitu. Sangga, Kamu di sini saja, temani Arya, ya! Allohu Akbar!” bujuk Badrun, kemudian bergegas berlari menuju rumah Arya Wirajaya, tanpa menunggu jawaban Sangga.

“Tahanlah Arya. Allohu Akbar! Kamu pasti bisa! Kamu tahu sendiri, kan, aku takut panjat pohon” aku Sangga yang merasa sangat bersalah karena tidak bisa menggantikan posisi Ary Wirajaya, sahabatnya.

Arya Wirajaya hanya mengelus dada mendengar pengakuan berulang kali Sangga itu.  Dengan sisa-sisa kekuatannya, Arya Wirajaya memanjat lagi ke pucuk tertinggi pohon belimbing Kasalam itu.

“Allohu Akbar. Allohu Akbar. Allohu Akbar.”

Suara Arya Wirajaya tambah melambat dan menghilang. Sangga hanya bisa terduduk lemas tak bisa berbuat apa-apa. Hanya mulutnya yang bergerak-gerak melafalkan “Allohu Akbar. Allohu Akbar. Allohu Akbar.”

09.13 WIB

Badrun sampai juga ke rumah Arya Wirajaya. Rumah sepi. Tak ada tanda-tanda adanya orang. Hanya terdengar alunan lagu Lir-ilir dari radio tua milik ayahand Arya Wirajaya.

“Assalamu ‘alaykum, Pakdhe Jaka, Budhe Kasih. Ini saya Badrun,” teriak Badrun seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah. Sembilan detik kemudian, tak ada jawaban apa pun. Perasaan takut sekonyong-konyong menyergap Badrun. Hantu mirip Dementor terbayang di kedua  bola matanya. Tak sampai 15 detik ia sudah tersedot ke sebuah hutan belantara mirip hutan Kalimantan yang ia pelajari di sekolah. Di sana, ia berjalan sendirian, tak tahu entah ke mana. Tapi tak lupa ia melafalkan Allohu Akbar. Sampai ada suara menyapanya.

“Badrun, ada apa? Ini Budhe Kasih,” suara cukup keras terdengar. Badrun menundukkan tubuhnya. Seketika itu pula ia tak lagi berada di hutan belantara antah berantah. Kemudian ia berkata.

“Iya, Budhe. Arya minta air minum,” aku Badrun terus terang. Dara Kinasih pun menyelidik.

“Memangnya kenapa kok Arya minta minum? Tadi aja Budhe lihat, ia sudah minum terus pergi entah ke mana. Ternyata main sama kamu, to Drun,” kata Dara Kinasih.

“Iya ... Budhe. Bersama Sangga juga. Kami sedang mengambil buah belimbing di kebun dekat rel kereta api. Tapi Arya kecapekan, karena buahnya ada di pucuk tertinggi, Budhe,” Badrun menjelaskan seraya memperhatikan wajah sangat cemas Ibunda Arya Wirajaya di depannya.

“Astaghfirulloh ... kok sampai ke atas-atas situ, kan bahaya, Drun. Piye to iki, Ngger-ngger?!” Dara Kinasih tak bisa menyembunyikan sebentuk kecemasan yang tinggi. Kemudian Badrun melihat Dara Kinasih tergopoh-gopoh menuju ke dalam rumah. Badrun juga dibuatnya takut, tapi tak tahu harus berbuat apa, tak tahu harus ngomong apa. Badrun sesenggukan, wajahnya sedikit memerah, air matanya meleleh membasahi pipinya. Rasa bersalah merambat ke sekujur tubuhnya. Karena ia yang mengajak Arya Wirajaya dan Sangga untuk memetik buah belimbing Kasalam.

Alunan Lir-ilir mengalun lirih. Tak lama kemudian ayahanda Arya Wirajaya, Jaka Tetulung, keluar dari dalam rumah dengan tergopoh-gopoh diikuti ibunda Arya Wirajaya, Dara Kinasih, yang membawa sebotol air minum bercampur perasan jeruk nipis. Kemudian Dara Kinasih memberikan sebotol air minum itu kepada suaminya itu yang bergegas menuju kebun. Jaka Tetulung tampak biasa saja, tapi tak bisa disebut tidak cemas. Wajahnya menyembunyikan kecemasan hebat. Badrun dengan rasa bersalahnya yang menggunung mengikuti ayahanda Arya Wirajaya.

09.14 WIB

“Allohu Akbar! Allohu Akbar. Allohu Akbar. Hore, aku berhasil. Horeee....!” sorak Arya Wirajaya sambil mengacungkan buah belimbing. Sangga di bawahnya seketika tampak gembira siap menangkap buah belimbing yang dilemparkan Arya Wirajaya. Arya Wirajaya dengan sangat hati-hati memetik buah belimbing satu per satu. Ia yang kehabisan tenaga lupa bahwa ia masih di atas pucuk pohon tertinggi. Pegangan tangan kirinya melemas, keduanya kakinya pun tiba-tiba tidak lekat menempel cabang pohon belimbing. Sedetik kemudian.....

Brukkk .....

Tubuh Arya Wirajaya terjatuh ke bawah menimpa punggung Sangga yang sedang berjongkok. Keduanya bergulingan di tanah. Keduanya pingsan.

09.15 WIB

“Serbuuu .....” seru Sam Ireng diikuti oleh kawanan Klobot Ireng. Mereka segera memunguti belimbing-belimbing Kasalam di tanah. Mereka heran ketika pandangan tertuju pada dua tubuh tergelatk di bawah pohon belimbing. Ternyata, tubuh Arya Wirajaya dan Sangga, kedua anak yang mereka kenal. Jekkiro mendekati tubuh itu. Tubuh Arya Wirajaya hanya lecet-lecet sedikit. Tubuh Sangga tidak ada lecet sedikit pun. Mereka berdua masih pingsan.

Sam Ireng dan Wanipira memandangi pohon belimbing. Beberapa ranting patah. Mereka baru tahu tubuh Arya Wirajaya terjatuh dan menabrak ranting-ranting pohon belimbing sehingga lecet-lecet.

“Jangan sentuh anakku, Sam!” teriak Jaka Tetulung setibanya di tempat itu. Jaka Tetulung lantas membopong anaknya, Arya Wirajaya, kemudian meletakkannya di sebuah dangau di di pinggir kolam ikan, tak jauh dari pohon belimbing. Kelompok Klobot Ireng hanya bisa memandangi tindakan Jaka Tetulung. Kemudian Jaka Tetulung membopong Sangga dan meletakkannya di sebelah Arya Wirajaya. Tak lama kemudian Badrun sampai di dangau, menunggui kedua sahabat terbaiknya.

Kemudian Jaka Tetulung menemui Sam Ireng, ketua Klobot Ireng. Ada perbincangan di antara mereka. Satu menit kemudian klompotan Klobot Ireng pun pergi meninggalkan Jaka Tetulung dengan membawa dua buah belimbing. Tiga buah belimbing lainnya dipegang Jaka Tetulung. Jaka Tetulung memandangi klompotan Klobot Ireng sampai mereka tak lagi menapak di kebun miliknya. Mereka berjalan menuju sungai bernama Kali Resik, tak jauh dari kebun, hanya berjarak 50 meter. Kemudian mereka semua pun menceburkan diri ke Kali Resik.

Jaka Tetulung bergegas menuju dangau. Setibanya di dangau, ia meneliti sekujur tubuh anaknya. Jaka Tetulung memandang pohon belimbing. Ada ranting pohon sebesar tangannya patah. Badrun masih cemas, karena ia jadi tersangka utama peristiwa ini, meskipun tidak secemas ketika berada di rumah Arya Wirajaya tadi.

Jaka Tetulung dengan seksama meneliti kedua tangan Arya Wirajaya. Pada tangan kiri Arya Wirajaya, ia meneliti agak lama. Ternyata, tangan kirinya menghantam ranting pohon belimbing sebesar tangannya sehingga tulang tangan itu memerah dan membengkak. Kemudian ia beralih pada Sangga. Tak terjadi apa-apa dengan Sangga. Hanya saja ia masih pingsan sebagaimana anaknya. Jaka Tetulung beralih memandang Badrun, anak adik kandungnya, Jaka Badaya.

“Drun, tenanglah. Sahabatmu Sangga tidak apa-apa. Ia hanya pingsan,” kata Jaka Tetulung mengusap kepala keponakannya itu. Badrun jadi agak tenang dan tidak cemas seperti sebelumnya.

“Alhamdulillah. Lalu, bagaimana dengan Arya, Pakdhe. Aku yang salah telah mengajak mereka, memetik buah belimbing Kasalam di kebun Pakdhe ini. Maafkan aku, Pakdhe, maafkan...,” aku Badrun dilanda kecemasan lagi meskipun tidak sebesar awalnya. Badrun hanya bisa menunduk. Rasa bersalah menimpanya. Ia hanya berani menatap tubuh dada Sangga dan Arya Wirajaya yang naik-turun bergelombang karena desahan nafasnya, meski sangat pelan.

Alhamdulillah, Arya dan Sangga masih selamat. Batin Badrun. Rasa bersalahnya langsung surut hingga angka 99%. Padahal pada saat kali pertama melihat  tubuh Arya dan Sangga terbujur kaku, rasa bersalahnya pasang setinggi-tingginya.

“Sebentar lagi kamu akan tahu keadaan Arya. Berdoalah untuk kesehatan Arya juga Sangga, Drun,” kata Jaka Tetulung seperti sengaja bermain teka-teki mengenai keadaan sahabatnya, Arya Wirajaya.

Badrun tak kuasa menahan air matanya. Air matanya meleleh menganak sungai ke pipinya, kemudian bertambah deras, meskipun tak bersuara, hingga mencapai mulutnya, bahkan jatuh ke tangan kiri Arya Wirajaya.

Jaka Tetulung kemudian bersemedi di samping anaknya. Suasana jadi hening.

09.17 WIB

Dara Kinasih tak bisa menyembunyikan perasaan takutnya. Pikirannya menerawang jauh ke kebun dekat rel ekerta api.  Ia sangat jarang ke kebun. Ia mondar-mandir di balai-balai. Alunan lagu Lir-ilir masih terus bersenandung lirih.

Lir ilir lir ilir tandure wus similir

Tak ijo royoroyo tak sengguh penganten anyar

Cah angon-cah angon penekno blimbing

Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro

Dodotiro dodotiro kumitir bedhah ing pinggir

Domdomono jumlotono kanggo sebo mengko sore

Surako surak hiyo....

09.18 WIB

Ahhh..... ehhh.....

Mulut Arya Wirajaya mengeluarkan bunyi desahan kecil. Tubuhnya sedikit menggeliat.

Ahhh..... ehhh.....

Mulut Sangga mengeluarkan bunyi desahan lebih keras dari pada desahan nafas Arya Wirajaya. Tubuhnya menggeliat, tangannya menggapai-gapai sesuatu, entah apa yang dicarinya.

Sementara Jaka Tetulung sudah sangat khidmat dengan semedinya, sehingga tak mendengar desahan nafas dan gerakan tubuh anaknya dan Sangga. Sedangkan Badrun sudah terlelap tidur karena saking kuatnya menahan tangisnya, sehingga ia juga tak lagi mendengar desahan nafas dan gerakan tubuh kedua sahabatnya.

“Allohu Akbar. Belimbingku. Mana belimbingku? Mana belimbingku?” desah Arya Wirajaya. Hanya tubuhnya yang menggeliat, itu hanya sedikit, tak sampai 2,5 cm. Tangan dan kakinya tak bergerak sedikit pun. Ternyata, ia teringat akan belimbing yang dipetiknya.

“Allohu Akbar. Belimbingku. Mana belimbingku? Mana belimbingku?” desah Sangga. Tangannya masih menggapai-gapai sesuatu. Ternyata, ia teringat akan belimbing.

09.21 WIB

Dara Kinasih bertambah mondar-mandir di balai-balai. Ia dilanda kecemasan yag tinggi dalam hidupnya. Ia begitu menyayangi putra pamungkasnya, Arya Wirajaya. Terbayang-bayang bagaimana ia harus rela meninggalkannya setahun silam untuk mencari peruntungan di kota Maung dan Jakharta. Tapi demi masa depan Arya Wirajaya dan kakaknya, ia harus mengatasi keraguan hatinya untuk meninggalkan keluarga tercintanya.

Alunan lagu Lir-ilir masih terus bersenandung lirih.

.....

Lunyu-lunyu penekno kanggo mbasuh dodotiro

Dodotiro dodotiro kumitir bedhah ing pinggir

Domdomono jumlotono kanggo sebo mengko sore

Surako surak hiyo....

Begitu sampai bait terakhir, radionya mati, off. Hati Dara Kinasih langsung mengerut. Kecemasannya bertambah meninggi dan meninggi. Lima detik kemudian, kecemasannya jadi kecemasan tertinggi dalam hidupnya.

09.23 WIB

Ahhh.....ahhh.....

Jaka Tetulung terbangun dari semedinya karena erangan suara di dekatnya. Kemudian Jaka Tetulung memegang dahi anaknya. Tak lama kemudian pun Badrun terbangun. Kemudian ia memandangi Arya dan Sangga secara bergantian.

“Badrun, di mana Kamu?” kata Sangga seraya tangannya menggapai-gapai sesuatu. “Di manakah aku? Kok aku tiduran di dangau ini? Ada apa, ya?” Matanya kini terbuka. Tangannya masih menggapai-gapai sesuatu. Ia berusaha bangun dari tidurnya.

”Alhamdulillah ... Sangga, Kamu sudah siuman,” Badrun memeluk tubuh Sangga. Jaka Tetulung memandangi mereka berpelukan. Kemudian ia memandang anaknya.

“Badrun, di mana Kamu?” kata Arya Wirajaya seraya tangannya menggapai-gapai sesuatu. “Di manakah aku? Kenapa aku tiduran di dangau ini? Ada apa, ya?” Matanya kini terbuka. Tangannya masih menggapai-gapai sesuatu. Ia berusaha bangun dari tidurnya.

”Alhamdulillah ... Arya, Kamu sudah sadar,” Badrun memeluk tubuh Arya dengan hati-hati. Jaka Tetulung memandangi mereka berpelukan.

09.25 WIB

Dara Kinasih masih tertidur, lelap sekali. Sepanjang penantiannya itu ia terus-menerus berdoa memohon keselamatan kepada Sang Hyang Maha Kuasa. Tak terasa tubuhnya melemas, sehingga tertidur pulas.

Sleman, 29 September 2012 & 6 Oktober 2012

Bersambung .....

Baca juga: http://fiksi.kompasiana.com/novel/2012/08/16/serial-arya-wirajaya/

http://fiksi.kompasiana.com/novel/2012/09/26/arya-wirajaya-sang-antimurtad/

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun