Mohon tunggu...
Banyu Wijaya
Banyu Wijaya Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

#nusantaraindonesiatrulyuniversa

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"Bersahabat" dengan Gempa

25 September 2012   04:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:45 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya terkaget-kaget begitu melihat dua ilustrasi di bawah ini. Ilustrasi tersebut ada pada halaman 48 buku "Gempa Bumi. Ciri dan Cara Menanggulanginya" karya Tim Relawan Gitanagari, penerbit Gitanagari, Yogyakarta.

13485459111975959056
13485459111975959056
Walaupun tidak persis dengan gambar Monumen Nasional atau Monas, tetapi gedung menjulang tinggi berpuncak runcing kuning keemasan itu mirip sekali dengan Monas yang ada di Jakarta, ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kekagetan saya karena gedung pertama itu tampak rusak. Hal itu untuk mengilustrasikan kerusakan akibat gempa bumi berskala IX MMI (Modified Mercalli Intensity). Kemudian gedung yang sama pada gambar kedua tampak patah dan sebongkah kuning keemasan itu terlepas dari tempatnya. Hal itu untuk mengilustrasikan kerusakan akibat gempa bumi berskala X MMI. Pertanyaan saya, mengapa ilustrasinya gedung yang mirip dengan Monas? Mengapa bukan ilustrasi yang lain? Memang peristiwa apa pun itu merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Termasuk peristiwa kerusakan atas gedung yang mirip Monas itu pada suatu saat kelak, yang bisa saja tidak selalu karena gempa, juga bisa saja karena dimakan usia, juga bisa saja karena terabaikan perawatannya. Namun adanya ilustrasi itu, saya langsung menghubungkan dengan adanya penjelasan mengenai Selat Sunda pada halaman sebelumnya, yakni halaman 21. Halam 21 menuliskan bahwa seperti Pulau Sumatera, Pulau Jawa juga terletak di tepi Lempeng Indo-Australia. Selat Sunda juga berada di zona subduksi Lempeng Indo-Australia dan Eurasia serta zona transisi subduksi miring yang memanjang di sebelah barat Pulau Sumatera dengan subduksi tegak di sebelah selatan Pulau Jawa. Gempa di Selat Sunda bisa terjadi karena pelepasan energi dari penunjaman Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara dengan kecepatan 7 centmeter per tahun di bawah Selat Sunda atau dari aktivitas patahan Semangko yang masih sangat aktif sampai sekarang. Dengan letak yang telah dijelaskan di atas, Pulau Jawa merupakan kawasan yang labil terhadap bencana. Selain pesisir selatan Jawa, Selat Sunda juga merupakan pusat terjadinya gempa bumi. Gempa tektonik dalam skala besar pernah terjadi di Selat Sunda pada 4 dan 5 November 1699. Gempa tersebut menyebabkan kerusakan gedung-gedung, mengacaukan persediaan air, dan memporakporandakan sistem persediaan air bersih. Gempa besar lainnya terjadi pada 27 Februari 1903. Gempa tersebut diperkirakan berkekuatan 8 skala Richter jika dilihat bentuk kerusakannya. Setelah kedua gempa besar itu, Selat Sunda tidak pernah dilanda gempa yang cukup besar. +++ Ilustrasi tersebut tentu tidak tepat bila menggambarkan gempa yang terjadi pada tahun 1699 dan 1903. Sebabnya, pada tahun tersebut, Jakarta belum mempunyai Monas. Monas baru dibangun pada tahun 1961. Oleh karenanya, saya tidak terlarut dalam buruk sangka dengan penulis sekaligus penerbit Gitanagari mengenai persoalan ilustrasi gedung yang mirip Monas itu. Buku ini sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia agar melek dengan gempa bumi. Oleh karenanya, kita harus selalu waspada dengan salah satunya memahami kegempaan dan cara menanggulanginya. Terima kasih atas karyanya, Saudara-saudara. Kita memang "bersahabat" dengan gempa bumi. +++ Judul: Gempa Bumi. Ciri dan Cara Menanggulanginya Penulis: Tim Relawan Gitanagari Editor/Pengantar: Tiar Prasetya, S.Si. (Kasi Data dan Informasi BMKG Jogja) Penerbit: Gitanagari, Yogyakarta, 2006. Gempa bumi terjadi bertubi-tubi, dan tidak tahu kapan berhenti. Wajar karena Indonesia berada di jalur tiga lempeng tektonik dunia. Meski wilayah Indonesia berada di jalur rawan gempa, sayangnya kita tidak memiliki pemahaman yang memadai mengenai kegempaan. Buku kecil ini mencoba memberikan gambaran yang utuh mengenai kegempaan, dari mulai penyebab gempa, ukuran dan kekuatan gempa, serta tips lengkap cara mengantisipasi agar gempa bumi tidak menelan banyak korban jiwa maupun harta benda. Juga dilengkapi daftar gempa bumi besar selama 600 tahun terakhir. Buku ini wajib dijadikan pegangan bagi seluruh keluarga dan menjadi bahan kepustakaan di sekolah-sekolah. Selamat membaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun