Seminar Lokakarya "Penguatan Kelembagaan Partai Politik Sebagai Pilar Demokrasi" dilangsungkan di Gedung Pusat Kebudayaan Prof. Koesnadi Hardjasoemantri (Purna Budaya), Bulaksumur, Yogyakarta, 14 September 2012. Acara yang diselenggarakan berkat kerja sama Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada dengan Direktorat Tata Negara Ditjen Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM RI ini menghadirkan narasumber Politisi PDI-Perjuangan Ganjar Pranowo, Pakar Politik UGM A.A. G.N. Ari Dwipayana, Refly Harun dari Constitutional & Electoral Reform Centre (CORRECT), Lili Romli dari Pusat Penelitian Politik LIPI, dan wakil dari Kemenkum-HAM RI. Politisi PDI-P Daerah Pemilihan Jawa Tengah VII (Banjarnegara, Kebumen, dan Purbalingga) yang siap maju jadi Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo memperkirakan jumlah partai politik yang akan berlaga pada Pemilihan Umum Legislatif 2013 hanya 10 buah saja. Demikian pula dengan Refly memperkirakan jumlah partai politik yang akan berlaga pada Pileg 2012 hanya sekitar 10-15 buah. Asalkan KPU ketat melakukan tahapan-tahapan pemilu. Ganjar dan Refly mengungkapkan adalah hak berserikat bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik. Namun tidak bisa dipungkiri pula bahwa ada pula ide penyederhanaan partai politik. Artinya, jumlah partai politik yang berlaga di pemilu-pemilu mendatang berjumlah lebih sedikit dari pada pemilu-pemilu sebelumnya. Kini, jumlah partai politik yang mempunyai kursi di tingkat pusat pun hanya tujuh (7) partai politik. Sebelumnya 16 partai politik. Oleh karenanya diperlukan persyaratan yang ketat. Salah satunya dengan adanya parliamentary threshold sebesar 3,5% maka kemungkinan partai politik yang memiliki kursi di tingkat pusat tinggal tersisa lima buah saja. Sementara Ari menyatakan bahwa dalam disain dan praktik demokrasi yang diterapkan di berbagai negara, kehadiran partai politik adalah keniscayaan. Tidak ada demokrasi zonder partai. "Walaupun partai memiliki arti penting dalam sistem demokrasi perwakilan tapi ada yang menyebutkan partai sebagai "setan yang diperlukan". Mengapa pendapat itu muncul? Karena di berbagai negara terjadi apa yang disebut paradoks partai politik: antara institusi penting dan diperlukan tapi sekaligus paling tidak disukai," ujarnya. Dalam konteks Indonesia, tambah Ari, dalam tiga belas tahun terakhir, muncul trend ketidakpercayaan (distrust) pada partai politik. Tingkat kepercayaan yang rendah ini tidak berubah dalam lima tahun terakhir. Dari data tahun 2006 menunjukkan bahwa partai politik merupakan institusi yang paling tidak dipercaya (41,9%). Lima tahun kemudian tingkat kepercayaan tidak banyak berubah, masih paling rendah (43%) dibandingkan institusi lain. Namun demikian rakyat tetap memandang partai dan persaingan partai dalam pemilu tidak bisa ditiadakan. Yang harus ditiadakan adalah partai-partai yang kinerjanya buruk. Ari bertanya, dimana akar masalahnya?  Mengapa partai tidak dipercaya? Jawabannya bisa dilihat dari persepsi publik atas partai. Partai identik dengan konflik; partai identik dengan rent seeker/kartel; partai identik dengan patronase; partai identik dengan pragmatisme kekuasaan. Romli menyitir Huntington, bahwa sebuah sistem kepartaian yang kokoh harus memiliki sekurang-kurangnya dua kapasitas. Pertama, melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai, sehingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan kekerasan. Kedua, mencakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok yang baru dimobilisasi, yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar tekanan kuat yang dihadapi oleh sistem politik. +++ Pada kesempatan itu, panitia membagikan buku berjudul: Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa kepada setiap peserta. Buku ini ditulis oleh As’ad Said Ali dengan pengantar oleh K.H. A. Mustofa Bisri, penerbit: LP3ES dengan ketebalan xxxii + 340 halaman, dan cetakan ketiga, 2010. Buku relatif tebal ini tidak hanya merunut dari awal terumuskannya Pancasila hingga perjalannya melalui Demokrasi Terpimpin-nya Bung Karno; Orde Baru-nya Pak Harto; sampai dengan zaman "reformasi" sekarang ini, tetapi juga mencoba meyakinkan akan pentingnya bahkan semakin pentingnya Pancasila dewasa ini. Penulis berusaha keras menjelaskembangkan pengertian Pancasila tidak hanya sebagai ideologi dan Dasar Negara, tetapi juga membahas kaitan di antara Pancasila dengan Agama, menjelasjabarkan sila-silanya, bahkan menjelaskan secara rinci ideologi-ideologi lain yang "mengepung" Pancasila. Pendekat kata, buku ini tidak hanya mencoba mengembalikan "citra Pancasila", tapi juga berusaha membuktikan pentingnya Pancasila bagi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini maupun di masa akan datang (K.H. A. Mustofa Bisri). (dok. http://gentabookstore-bima.blogspot.com/2010/03/negara-pancasila-jalan-kemaslahatan.html) As'ad Said Ali, lahir di Kudus, Jawa Tengah, pada tahun 1949. Dilahirkan dari keluarga pesantren, pasangan H. Said Ali dan Hj. Asyrofah. Ia mengawali pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Ma'arif "Al Huda" Kudus, dan melanjutkan sekolah SMP dan SMA di kota yang sama. Pada masa sekolah ini, ia sudah aktif dalam IPNU. Setelah itu, ia kuliah di Fakultas Sospol UGM jurusan Hubungan Internasional yang diselesaikannya pada tahun 1974. Semasa kuliah, ia aktif di PMII dan HMI, di samping nyantri di Pesantren Krapyak asuhan K.H. Ali Makshum. Pendidikan lainnya yang ditempuh adalah LIPIA, masuk angkatan pertama. Sejak lulus kuliah, As'ad memilih pengabdian pada Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai ibadah. Kariernya dalam lembaga ini cukup cemerlang. Dalam kurun waktu 1983-1990, ia bertugas di berbagai negara Timur Tengah. Selain itu, ia juga bertugas secara singkat di berbagai negara Eropa, Amerika, Afrika, dan Asia. Tidak kurang 50 negara yang telah disinggahi dalam menjalankan tugas ini. Pada tahun 2001 As'ad dipercaya sebagai Wakil Kepala BIN hingga sekarang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H