Mohon tunggu...
Banyu Wijaya
Banyu Wijaya Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

#nusantaraindonesiatrulyuniversa

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Ayo Berbahasa Indonesia yang Baik dan Benar

7 September 2012   04:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:49 955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

3) Sebagaimana kaidah bahasa Indonesia, maka penulisan Allah yang benar adalah Allah, sedangkan membacanya (saya mengembalikannya menurut bahasa Arab, karena kata Allah itu berasal dari bahasa Arab) Alloh. Demikian juga dengan rasulullah yang benar adalah rasulullah, sedangkan membacanya rosululloh. Namun bila untuk menambahkan di depan nama seseorang, misalnya Muhammad SAW, maka penulisan yang benar adalah Rasulullah Muhammad SAW.  Demikian pula dengan penulisan Syekh Abdul Qadir Jaelani, Imam Al-Ghazali, dan Ramadhan yang benar adalah Syekh Abdul Qadir Jaelani, Imam Al-Ghazali, dan Ramadhan, sedangkan membacanya Syekh Abdul Qodir Jaelani, Imam Al-Ghozali, dan Romadhon.

*) Penulisan kata aku pada umumnya, dan bisa jadi lebih tepat (baik dan benar = bener tur pener), dipakai pada tulisan fiksi, seperti cerpen, novel, dan sejenisnya, cenderung non ilmiah. Sementara penulisan kata saya pada galibnya dipakai pada tulisan non fiksi, cenderung ilmiah, meskipun yang non fiksi bisa saja ilmiah juga, bahkan bisa saja fiksi justru malah lebih ilmiah dari pada yang non fiksi. Oleh karenanya, penulisan, juga penyebutan/pernyataan, seyogyanya dipakai dengan baik dan benar alias bener tur pener. Sebagai contoh, sebuah kalimat yang tersusun dari kata-kata, bisa saja baik (bener) secara gagasan dan benar (pener) secara kaidah pemilihan kata (diksi) atau SPOK. Namun ada pula sebuah kalimat yang tersusun dari kata-kata, bisa saja baik (bener) secara gagasan, tetapi tidak benar (pener) secara kaidah pemilihan kata (diksi) atau SPOK.

*) Terus terang saya mencontohkan lebih banyak kata atau nama-nama "berbau" Jawa, karena memang saya memfokuskan penulisan mengenai sejarah Jawa. Namun Jawa di sini bermakna luas, artinya Jawa sebagai sebuah bangsa atau orang/manusia, bukan hanya suku atau pulau Jawa, dan makna-makna sempit lain. Pasalnya, bangsa Jawa adalah leluhur mayoritas bangsa Indonesia, bangsa  Nusantara, artinya bangsa yang mendiami Dataran Sunda.

Menurut Wikipedia, secara geologi Dataran (Paparan) Sunda adalah landas kontinen perpanjangan lempeng benua Eurasia di Asia Tenggara. Massa daratan utama antara lain Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa, Madura, Bali, dan pulau-pulau kecil di sekitarya. Area ini meliputi kawasan seluas 1,85 juta km2. Kedalaman laut dangkal yang membenam paparan ini jarang sekali melebihi 50 meter, dan kebanyakan hanya sedalam kurang dari 20 meter, hal ini mengakibatkan kuatnya erosi dasar laut akibat gelombang laut. Tebing curam bawah laut memisahkan Paparan Sunda dari kepulauan Filipina, Sulawesi, dan Kepulauan Sunda Kecil.

Hal itu karena yang disebut orang Jawa adalah keturunan bangsa Atlantis, bahkan lebih tua lagi yaitu bangsa Lemuria. Oleh karena "kesimpangsiuran" sejarah itulah yang menggelitik saya untuk "bertualang" menelusurinya. Penelusuran berfokus pada siapakah orang pertama yang disebut Jawa, baik secara karakter (sifat) maupun secara geologi berada di pulau Jawa, atau kepulauan Indonesia, atau Atlantis itu. Pasalnya sudah tersiar kabar ilmiah dari dua peneliti Oppenheimer dan Prof. Arysio Santos (2005) sebagaimana kalimat ini: Kontroversi terbesar sepanjang sejarah peradaban manusia,  tampaknya kini mulai terungkap. Benua Atlantis seperti disebutkan Plato, Filosof Yunani, dalam bukunya Timaeus dan Critias sekitar 2500 tahun silam, dari sudut pandang geologi dan spekulasi ilmiah dewasa ini, sangat mungkin adalah Sunda Land, yang sekarang kita kenal dengan Indonesia Barat (Jawa, Sumatera dan Kalimantan) hingga semenanjung Malaysia dan Thailand.

*) Kaidah bahasa tersebut berlaku akan saya aplikasikan untuk tulisan-tulisan selanjutnya. Mohon do'anya semoga saya bisa. Mohon do'anya semoga aku mampu.

Mohon maaf pada tulisan-tulisan sebelumnya saya masih mencampuradukkan antara kaidah Bahasa Indonesia dengan kaidah kerasa benar. Namun sebagai manusia yang sering kali khilaf, sangat mungkin tulisan saya selanjutnya pun belum memenuhi kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Oleh karenanya bagi Kompasioner, seperti Bapak Johan Wahyudi dan Pembaca yang ahli atau pakar Bahasa Indonesia sumonggo membenarkannya. Terima kasih sebelumnya.

Mari berbahasa Indonesia yang baik dan benar! Salam Indonesia Kita!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun