Mohon tunggu...
banyu mili
banyu mili Mohon Tunggu... -

all is well

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Spirit of Bronjong

6 Juli 2013   14:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:55 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13730948651969764196

[caption id="attachment_253235" align="alignleft" width="300" caption="Bronjong, simbolisasi wadah kehidupan yang mulai dipinggirkan"][/caption] Bronjong namanya. Sebuah kotak persegi dengan dua ruang sisi, kanan dan kiri, yang dianyam dari bambu dan kayu. Umumnya, bronjong diletakkan di belakang sadel sepeda. Belasan tahun lalu, hampir seluruh aktivitas jual beli kebutuhan hidup rumah tangga, terutama sayur mayur dan bumbu dapur, diwadahi dengan menggunakan bronjong. Untuk itu, meski sederhana, fungsi bronjong sangatlah vital bagi penggunanya. Di dalam bronjong itulah benih kehidupan, bahkan kehidupan itu sendiri, diletakkan. Seluruh harapan hidup satu keluarga berada di antara dua kotak persegi, yang saling berhubungan tersebut. Keindahan, kebahagiaan, kecantikan, keelokan, dan lain-lain, semua terwadahi apik di sana. Seiring perjalanan waktu, bronjong pun tersisih. Terpinggirkan. Bahkan, terbuang. Fungsinya perlahan namun pasti tergantikan oleh sarana lain yang konon lebih efektif dan efisien. Filosofi dan essensi bronjong sebagai jembatan syukur seolah berlalu begitu saja. Linear dengan essensi bronjong, setidaknya berdasar pembatinan penulis, seperti itulah apa yang diperjuangkan Romo Gregorius Utomo, Pr sampai saat ini. Sepanjang karyanya, hingga ke-50 tahun imamat, Romo Utomo selalu setia menjadi “wadah kehidupan” umat dan masyarakat di sekitarnya. Kini, di perayaan imamatnya yang ke-50 tahun, 2 juli 2013, Romo Utomo mesti mengalah untuk tidak merayakannya di rumahnya sendiri, Desa Rejoso, Kecamatan Jogonalan, Klaten, Jawa Tengah. Atas kekuatan kemapanan dan kenyamanan, “bronjong” ini pun harus tersingkir dari keberadaan yang telah menghidupi dan dihidupinya lama. Meski tersisih dan tersingkir, selalu ada syukur yang terjulur. Pengalaman Romo Utomo semoga menjadi api yang tak pernah padam bagi umat dan masyarakat. Jiwa dan esseni bronjong yang mampu menjadi wadah (entitas apa pun) tentu tak bisa begitu saja mati, hanya karena desakan untuk terganti.

Jauh belasan tahun, bahkan sudah sejak puluhan tahun lalu, Romo Utomo telah menjadi “bronjong” yang hidup bagi umat dan masyarakat di sekitarnya. Perjuangannya menjaga jiwa kebangsaan warga negara Indonesia di masa penjajahan. Kesetiaannya memelihara benih-benih padi organik, sebagai upaya menegakkan kemandirian pangan. Ketulusannya menjadi sahabat dan saudara saat bencana alam melanda. Dan, keikhlasannya menjadi perantara berkat untuk siapa pun yang membutuhkan uluran kasihNya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun