Mohon tunggu...
Kelompok 2B Aksesibilitas
Kelompok 2B Aksesibilitas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

"Education is kindling a fire, not filling a vessel." - Socrates. Hi! We are Sociology students from Jember University.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Difabel dan Aksesibilitas: Kesulitan Difabel dalam Mengekspresikan Diri

24 November 2022   06:36 Diperbarui: 24 November 2022   06:48 151
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setiap manusia memiliki hak atas kebebasan berekspresi, berpikir, dan bersuara di ruang publik. Ruang publik merupakan tempat terbuka yang dapat diakses oleh setiap orang tanpa terkecuali. Namun berbeda dengan apa yang dialami oleh penyandang difabel. Mereka sering kali tidak memiliki kepercayaan diri untuk berekspresi di ruang publik. Sampai saat ini pun para penyandang difabel masih mengalami diskriminasi terutama secara mental, sehingga eksistensi mereka di ruang publik masih kurang terlihat.

Hos (32) merupakan salah seorang penyandang difabel (tuna daksa), yang kesehariannya berprofesi sebagai ibu rumah tangga dan berjualan makanan ringan di SDN Sumbersalak 2 selama lima tahun terakhir. Hos mengatakan bahwa alasannya berjualan ialah karena ia beranggapan bahwa melihat kondisinya tersebut satu-satunya pekerjaan yang dapat dikerjakan adalah dengan cara berjualan. Hos bahkan tidak berani untuk mencoba mencari pekerjaan lainnya, sebab ia takut tidak akan diterima karena dirinya merupakan seorang penyandang difabel. Pemikiran tersebut tidak semata-mata hadir begitu saja dalam pikirannya. Pasalnya terdapat faktor eksternal yang menyebabkan ia memiliki pemikiran yang demikian, yakni faktor lingkungannya. Ia mengungkapkan bahwa telah beberapa kali mendapat perlakuan yang tidak baik dari beberapa tetangganya yang tidak suka terhadapnya.

“Ya ada beberapa tetangga yang nggak suka sama saya, bahkan sampai membenci saya karena keadaan saya ini. Bahkan kalo ada bantuan saya itu juga nggak dapat, padahal tetangga samping saya ini dapat.” terang Hos.

Permasalahan yang dialami oleh Hos dapat kita analisis menggunakan pandangan Berger dan Luckman dalam Teori Konstruksi Sosial. Berger dan Luckman dalam bukunya yang berjudul The Social Construction of Reality, mengatakan bahwa suatu realitas sosial adalah suatu konstruksi yang tercipta karena adanya proses interaksi individu. Dalam teori ini individu tidak diposisikan sebagai korban dari fakta sosial, akan tetapi menjadi media yang memproduksi dan juga mereproduksi konstruksi sosial berdasarkan kehendaknya. Terdapat 3 momen dalam teori ini, yakni eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi adalah momen dimana individu berusaha mengekspresikan dirinya ke dalam masyarakat. Kemudian melalui momen tersebut terjadilah sebuah interaksi sosial. Selanjutnya, terjadi momen internalisasi yakni proses dimana individu memahami dan memaknai peristiwa yang terjadi sebagai sebuah realitas. Melalui proses internalisasi inilah dikatakan bahwa individu menjadi produk dari masyarakat.

Jika dikaitkan dengan permasalahan yang dialami oleh Hos, kita dapat melihat bahwa telah terjadi interaksi antara Hos dengan lingkungan sekitar tempat tinggalnya baik dengan pemerintah maupun individu dalam masyarakat. Kemudian berdasarkan interaksi tersebut membentuk suatu realitas yang ia yakini. Hingga pada akhirnya hal tersebut lah yang membatasi atau menghalangi Hos untuk bisa mengakses dan mengekspresikan dirinya di ruang publik. Ia akhirnya tumbuh menjadi pribadi yang tidak percaya diri dan cenderung menutup diri dari ruang publik. Bahkan parahnya, ia akan menerima segala perlakuan diskriminatif tersebut tanpa berani melakukan perlawanan dan menyuarakan haknya.

Seperti yang kita ketahui, bagi penyandang difabel menerima keadaan diri mereka merupakan hal yang tidak mudah. Maka dari itu perlu adanya dukungan dari lingkungan sekitar. Namun bila lingkungan sekitar bertindak sebaliknya, yakni tidak mendukung dan justru malah mengucilkan, maka akan menjadikan pribadi yang rendah diri dan tidak percaya diri. Hal tersebut lah yang menjadi penghalang bagi para penyandang difabel untuk bisa lebih mudah mengakses dan terbuka untuk mengekspresikan dirinya di ruang publik.

Oleh sebab itu, dari kondisi yang dialami oleh Hos diperlukan adanya kesadaran dari individu-individu di masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang positif. Agar penyandang difabel mampu untuk mengekspresikan diri mereka di ruang publik. Hal ini juga perlu adanya dukungan dari pemerintah untuk memberikan edukasi serta pemahaman kepada masyarakat mengenai hal tersebut.

Penulis: Nasywa Natania Paramitha, Yehezkiel Christoper, Eka Winda Muchlisah Putri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun