Mohon tunggu...
banyu bening
banyu bening Mohon Tunggu... wiraswasta -

saya hanya ingin menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kabar dari Minang

25 Januari 2014   14:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:29 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KABAR DARI MINANG

Oleh: Banyu Bening

Gustiku

Dalam debar yang bergemuruh

Entah mengapa aku dapat memanggilmu dengan sebutan yang terkasih, meski kita buta akan paras dan lumpuh akan sentuhan. Berulang kali kau tanya padaku, mengapa pada akhirnya aku menerima uluran rasamu yang asing namun tak asing. Dan berulang kali pula aku menjawab bahwa aku tak tahu, sama tak tahunya dengan pohon beringin, mengapa akarnya tumbuh di batang atau ranting bahkan terus memanjang.

Wahai kekasihku, lukisan parasmu serasa nyata di pelupuk mata di tiap malamku yang nyaris tanpa mimpi. Karena nyata terasa mimpi dan mimpi serasa nyata. Entah angin apa yang membelaiku hingga pada kedalaman yang nyaris menyentuh dasar, memporak-porakkan kesombongan dan meruntuhkan puing-puing luka yang sesungguhnya memang rapuh. Kasih yang kau tawarkan menggantinya, bukan dengan bunga-bunga dengan sejuta wangi, bukan pula dengan tunas-tunas daun yang segar. Tapi dengan daun-daun yang kuning nyaris coklat, daun-daun kering nyaris busuk supaya menjelma pupuk.

Kasih, ini kali pertama purnama kita. Melebur dalam suara yang diikat dengan sinyal-sinyal malaikat. Ikatannya menguat bukan karena derai tawa, tapi tetes air mata. Angin malam habis kita hirup, mengisi tiap rongga yang ada. Meski di sela-selanya masih saja tanya yang sama kau lemparkan: mengapa akhirnya kau terima cintaku sayang? Dan kembali maaf kuhaturkan, bahwa aku tak tahu jawabnya. Dan dengan nakalnya kukembalikan tanya itu padamu lagi. Sudah kupastikan bahka kaupun juga tak tahu jawabnya, dan ternyata benar bukan?

Kekasihku, kita punya tantangan dari dunia. Dunia berkata bahwa cinta pada manusia hanya emosi, cinta pada sesama hanya birahi, cinta yang jauh hanya materi (walau memang ternyata kita sudah menghabiskan setidaknya tujuh nol di belakang angka yang berjejer dalam lembaran, tanpa sua tanpa sentuh), cinta sejati hanya puisi. Dan kita telah tawarkan satu lagi, yaitu cinta yang suci itu abadi.

Keyakinanku berkata bahwa kita mampu, karna kita mencintai hati. Katakan padaku bahwa aku benar, aku benar karena memupuk keyakinan itu bersamamu. Meski mengenalmu lewat derik ranting disentuh angin, lewat imajinasi tanpa tepi, lewat melodi yang mendenting di dinding jiwa kita yang hening.

Kasih, ada ratusan purnama yang menanti kita dalam kebersamaan yang nyata. Namun mungkin puluhan diantaranya menarik kita di kutub yang senama hingga harus terus menolak dan menjauh. Tak perlu menguji setia, usah menantang kesabaran karena kemurnian dan ketulusan rasa yang kita punya akan menuju atmosfernya dengan sendirinya.

Duhai kekasihku, kapan aku bisa belajar dari lembutnya isi dada dan kepalamu?  Supaya orang-orang “suci”

itu berhenti menganggapku hanya peduli pada isi celanamu. Kau mampu menghela hujat dengan senyuman, abaikan aktifis yang mugkin malah membuatmu jumawa. Dengan kerendahan hati kau akui  kita memang salah, dan tak perlu sibuk mencari  legitimasi. Yang perlu kita tekankan dan yakini adalah: tak ada manusia yang tak berdosa, jika kita tak mampu , benar-benar tak mampu menghindari dosa yang ini, maka akan kita genapi di kebaikan yang lainnya. Sangat sederhana.

Duhai kekasihku, kapan aku bisa belajar ilmu termahal itu? Kapan aku bisa mereguk nikmatnya kesabaran? Kau bilang ini adalah tabungan kita saat menghadap persidangan di hadapan Tuhan. Sayangku, aku mencintaimu tanpa keaslian, karena bumbu kagumpun tak mau luput.  Tiap kali rintik datang di awal senja, ketakutan itu kian nyata. Dan  kutanya pada hujan, ada kabar apa dari langit? Apa Tuhan telah bertaring? Atau tanduknya telah tumbuh? Atau Ia telah berubah jadi iblis yang nyata? Yang menyeramkan? Yang siap menyiksa karena kesalahan ciptaannya, siap tinggal landas dari keagungan namanya: Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun dan Maha dari segala kebaikan.

Ah kapan aku bisa berpikir sederhana sepertimu? Yang memandang senja kelabu itu indah, menelan caci itu anugrah,  merangkul maki itu berkah. Angin nampaknya belum mau menjawab. Sedang kebencian mereka pada cinta kita kian membengkak. Tapi bukankah Tuhan saja ada yang membenci? Ketika mereka yang sibuk membela Tuhannya, bukankah akan membenci Tuhan lainnya? Apa lagi kita yang katanya dibenci Tuhan. Pengecut, yah itulah satu-satunya yang kuakui tentang diriku. Bukan takut akan diriku sendiri ataupun engkau, tapi pada orang-orang yang menyayangi kita, pada orang-orang yang ada sebelum aku ada padamu dan engkau ada padaku. Ketakutan yang menurutku dan pasti juga menurutmu lumrah, namun sulit untuk tak tumbuh subur.

Kekasihku, di batas ketidak normalan ini, ketika kusendiri di tepi jalan memandangi tanah basah oleh sisa hujan semalam. Macam-macam roda kendara, namun tak ada satupun yang mengantarmu ke sini. Begitupun langkah-langkah kaki, juga tak ada satupun langkah kakimu. Rupa-rupa senyum bak lembayung, namun tak kutemukan milikkmu. Sedu sedan alunan nada berlomba ingin didengar, aroma yang berjejalpun ikut menjejal. Tetap saja hanya merindui bau mulutmu. Dunia apa yang sedang kuhuni ini? dunia apa yang sedang kau huni itu? Dunia apa yang sedang memisahkan kita?

Menoleh aku ke kanan, banyak orang yang bersiap menghujat pada kedatangan kita di lobi pertama. Siapkah kita? Melihat taring-taring yang serupa taring Tuhan. Melempar kita pada tembok-tembok moral dan religi berpayung hukum. Sebelum akhirnya mungkin akan meninggalkan kita dalam kotak hitam keabnormalan. Lalu akan menyusul sabda-sabda suci.

Walau semua ini pada akhirnya akan kembali mentah. Matahari tatap menjadi penguasa bhimasakti, apa gunanya melawan atmosfer jika pada akhirnya kita akan kembali pada tanah-tanah bumi meski dengan permadani beton. Lambang kekerasan hati manusia.

Duhai belahan jiwaku, tak banyak kata yang dapat kutitipkan pada sayap-sayap merpati yang lembut di bawah sinar purnama kali pertama ini. Aku berharap secarik kertas ini mampu makin mendekatkan jiwa kita, agar sentuhanku dapat kau rasa, rona maluku dapat kau baca dan nyayian rinduku mampu kau dengar. Sampai jumpa di purnama berikutnya, selalu nantikan kabar kekasihmu ini dari Minang.



Kecupku di paruh merpati

Reyna

Dalam rindu yang menunggu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun