Mohon tunggu...
banu mohammad noor
banu mohammad noor Mohon Tunggu... -

penikmat seni, pemerhati sosial, anti mainstream, No fanatism yes Logic !!!

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

The Media's Puppets

3 Juni 2013   04:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:37 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13702326021705581139

[caption id="attachment_265210" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Indonesia, sebagai salah satu negara terdemokratis di dunia, sedang menikmati keran kebebasan pers yang terbuka luas. Pasca reformasi, pembredelan media menjadi hal terlarang di negeri ini. Media-media bebas bersuara tanpa takut dibungkam gagang senjata lagi. Tapi, kebebasan itu kemudian berubah menjadi kebablasan hanya dalam waktu 15 tahun setelah reformasi.  Keran informasi yang deras  dengan mudahnya diplintir untuk kepentingan golongan tertentu.

Tentu bukan lagi rahasia umum jika media-media mainstream di Indonesia dikuasai oleh kekuatan-kekuatan politik dibelakangnya. Tidak hanya media elektronik, media cetak dan online pun tidak luput dari jerat-jerat keberpihakan. Sebutlah sebuah media online yang terus-menerus memberitakan sosok gubernur secara “overdosis”, yang bahkan berita gubernur itu bertepuk tangan saja dimuat menjadi sebuah artikel.  Bagi pembaca yang cerdas, jelas terlihat media ini pastilah salah satu tim sukses sang gubernur. Namun  sayang beribu sayang, jumlah pembaca cerdas di Indonesia tampaknya tidak terlalu banyak.

Shanto Inyengar, seorang professor di bidang political science and communication  di UCLA, mengungkapkan bahwa saat ini pemberitaan di media  sudah terlebih dahulu disaring sehingga hasil pemberitaan saat ini lebih terletak pada titik tekan subjektif dari sang jurnalis atau pesan-pesan “sponsor” dibelakangnya.

Persoalan keberpihakan media terhadap salah satu parpol atau tokoh politik ini semakin  kompleks ketika memasuki masa-masa tahun politik seperti tahun ini.  Saling serang kepada lawan dan pujian-pujian overdosis kepada diri sendiri menjadi makanan sehari-hari dalam berita-berita politik di Indonesia, sehingga tak heran jika kemudian kita melihat salah satu TV nasional yang memuji sang ketua parpolnya dengan berita-berita “lebay” padahal sebenarnya pimpinannya biasa-biasa saja.

Kemudian berita pujian ini diikuti oleh serangan-serangan ganas kepada lawan politiknya. Serangan-serangan ini dilakukan terkadang dengan cara yang kasar seperti mengulang-ngulang berita buruk tentang lawan politiknya seolah-olah lawan politiknya melakukan kejahatan yang luar biasa jahatnya dan terkadang berita-berita itu ditambah dengan bumbu-bumbu kebohongan tanpa malu. Tayangan-tayangan seperti ini seperti menjadi trademark  siaran politik di TV atau media online di Indonesia.

Scott London dalam essaynya “ how the media frames political issues” yang ditulis tahun 1993  menilai  media  mempengaruhi objektivitas audiens nya dengan menggunakan cara-cara subjektif dari media itu sendiri yang terkadang didasari oleh kepentingan politik tertentu.  Bahkan seorang professor dibidang jurnalisme, Theodore Glasser, menulis :

First ... objectivity in journalism is biased in favor of the status quo; it is inherently conservative to the extent that it encourages reporters to rely on what sociologist Alvin Gouldner so appropriately describes as the "managers of the status quo" — the prominent and the elite. Second, objective reporting is biased against independent thinking; it emasculates the intellect by treating it as a disinterested spectator. Finally, objective reporting is biased against the very idea of responsibility; the day's news is viewed as something journalists are compelled to report, not something they are responsible for creating. . . . What objectivity has brought about, in short, is a disregard for the consequences of newsmaking.

Disisi lain, Prof. Shinto Inyengar mengatakan, media punya cara tersendiri dalam membentuk opini publik, yaitu dengan menampilkan sebuah berita secara episodik dan thematik. Episodik adalah mengangkat satu tema umum secara terus-menerus dan thematic adalah mengaitkan berita-berita itu kemudian kepada salah satu pihak. Dalam prakteknya bisa sangat jelas terlihat bahwa media-media berkepentingan ini memberitakan hal-hal yang baik secara terus menerus dan mengaitkannya dengan pihak “sponsor” (walaupun mungkin pihak sponsor tidak melakukannya) dan media juga memberitakan hal yang buruk terus-menerus dan mengaitkannya dengan pihak lawan “sponsor” (walaupun pihak lawan politik “sponsor” tidak melakukannya).

Celakanya pola penyebaran berita dikuasai oleh media-media mainstream yang notabene punya afiliasi tertentu, baik afiliasi parpol, tokoh politik maupun ideologi. Akibatnya media-media kelas menengah dan kelas teri yang masih independent hanya bisa manut-manut saja jika tidak ingin jatuh ratingnya karena memberitakan sesuatu diluar trend yang ditentukan media mainstream.

Dunia perpolitikan pun menjadi tidak sehat, karena pemberitaan yang tidak berimbang. Jika parpol yang terkena masalah adalah parpol pemilik media, maka media itu akan habis-habisan melakukan pembelaan diri, dan sebaliknya media parpol yang lain habis-habisan menyerang. Yang naas adalah ketika yang terkena kasus adalah parpol yang tidak memiliki media sama sekali atau parpol yang menjadi musuh bersama parpol-parpol pemilik media, tentu partai itu akan di bully habis-habisan disemua media, belum lagi ditambah media kelas teri yang juga mau-tidak mau harus memberitakan karena tuntutan rating.

Jika kondisi seperti ini dibiarkan berlanjut, boleh jadi pemilu kedepan akan menjadi pemilu terburuk sejak era reformasi.  Para pemilih akan dibuat bingung dengan atraksi-atraksi media yang saling serang dan gemar memuji diri sendiri. Nilai-nilai objektifitas pun hilang dari demokrasi. Mungkin masih ada pembaca, penonton, pendengar yang cerdas dan objektif dalam melihat berita. Mereka tidak melihat hanya dari sekedar judul dan mereka juga mampu memisahkan mana konten berita dan mana penggiringan opini oleh reporter berita.

Tapi sepertinya jumlah audiens genre ini masih sangatlah langka. Kebanyakan audiens hanyalah penikmat buta media, mereka menerima berita seolah-olah media itu berasal dari orang yang netral dan objektif. Audiens-audiens seperti ini yang kita takutkan akan menjadi zombie-zombie yang menerima perintah dari media yang dibaca ataupun ditonton. Walaupun mereka mengklaim dirinya adalah bagian dari intelektual yang setiap hari meng-upgrade informasi, namun mereka tak ubahnya seperti media’s puppets, boneka-boneka media, yang bergerak sesuai dengan opini yang diarahkan media. Menjadi audiens media di negeri ini berarti menjadi pemulung fakta ditengah timbunan opini yang mengerubunginya. Karena itu mari kita menjadi pembaca yang cerdas menjelang pemilu ini.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun