Masyarakat Indonesia saat ini banyak yang sudah beralih menggunakan berbagai platform media digital sebagai referensi tayangan hiburan mereka. YouTube, Netflix, dan lainnya menjadi pilihan media yang dipilih. Selain dinamis karena bisa ditonton di mana saja, berbagai media tersebut lebih memiliki berbagai tayangan yang menarik dan bermacam-macam.
Televisi sebagai satu-satunya media hiburan -pada masanya- mulai ditinggalkan, umumnya oleh mereka yang mempunyai akses media yang lebih bervariatif. Televisi ditinggalkan karena tayangannya yang tidak menarik dan monoton. Agaknya masyarakat Indonesia mulai jengah menonton berbagai sinetron azab yang di luar nalar, ataupun "reality show" yang sungguh memuakkan.
Lantas, pertanyaan yang kemudian bisa direnungkan adalah akan sampai kapan kiranya tayangan seperti itu bertahan di televisi? Adakah cara untuk memperbaiki itu semua? Bagaimana caranya?
Virus Itu Bernama Rating
Hal mendasar sebuah tayangan tetap dipertahankan oleh televisi adalah rating yang bagus yang dimiliki oleh program tersebut. Rating merupakan data kepemirsaan televisi, yang mana data tersebut merupakan hasil pengukuran kuantitatif.
Sederhananya, rating adalah jumlah orang yang menonton suatu program televisi terhadap populasi televisi yang dipersentasekan. Rating inilah yang digunakan TV sebagai alat untuk memutuskan apakah acara TV bisa diteruskan atau dibungkus saja, ditambah jam tayangnya atau dikurangi, dan dipindahkan hari dan jam tayangnnya atau tidak.
Dalam tinjauan perspektif Ekonomi-Politik (ekopol), media -dalam hal ini adalah televisi- akan selalu berusaha untuk mempertahankan acara dengan rating yang tinggi.
Meski acara tersebut dikatakan jelek, tidak mendidik, bahkan bersebrangan dengan visi misi media, namun memiliki rating tinggi, maka akan tetap dipertahankan. Media beranggapan bahwa acara dengan rating tinggi berbanding lurus dengan kesuksesan untuk menjaring iklan, yang akhirnya menguntungkan media.
Rating tersebutlah yang menyebabkan banyak acara yang sebenernya isinya sama, namun nama acaranya saja yang beda. Di TV A kita lihat kontes dangdut, di TV B, kita lihat kontes dangdut dengan nama yang berbeda, dan seterusnya. Memuakkan sekali bukan?
Konten-konten yang monoton tersebut tidak lain merupakan suatu komodifikasi yang dilakukan oleh pihak televisi. Vincent Mosco (1996:57) menyebut komodifikasi sebagai: the process of transforming use values into exchange values atau proses mengubah nilai guna menjadi nilai tukar. Nilai guna yang ada tersebut diubah menjadi sebuah komoditas, ataupun sesuatu yang dapat ”diuangkan”.
Komodifikasi konten menjadi salah satu contohnya. Media akan memproduksi suatu konten yang sekiranya dapat menjadi komoditas yang menjual. Konten tersebut -walaupun tidak berkualitas- apabila merupakan selera pasar maka akan terus diproduksi dan dipertahankan. Patokan untuk menentukan selera pasar tersebut diambil dari virus bernama rating.