Mohon tunggu...
BANU PRATOMO
BANU PRATOMO Mohon Tunggu... -

Penderitaan atau ketidak puasan bisa menjadi penghancur atau motivator tergantung persepsi penerimanya. Dia akan menjadi penghancur kalau anda menerima sebagai korban ketidak adilan. Akan jadi motivator kalau itu anda jadikan sebagai ujian mental.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Logika Elite vs Logika Rakyat

13 Agustus 2014   20:18 Diperbarui: 18 Juni 2015   03:38 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam bahasa sehari hari logika bisa diartikan jalan pikiran yang masuk akal. Secara ilmu saya kira artinya juga tidak jauh beda. Tapi dalam suatu perdebatan, jalan pikiran yang masuk akal itu kadang tergantung pada akalnya siapa. Kalau sudah akalnya siapa maka logikanyapun juga tergantung logikanya siapa. Contohnya dalam perdebatan menang-kalah di pilpres kali ini. Logika apa yang membuat kubu Prabowo-Hatta ngotot pilpres ini penuh kecurangan. Berikut ini adalah beberapa fakta yang menurut logika para elite tim Prabowo-Hatta menyebabkan mereka sulit untuk menerima kekalahan ;

Pertama. Prabowo-Hatta didukung parpol besar dengan total perolehan suara pileg kalau digabungkan hampir mencapai 60%. Lha kok waktu pilpres hasilnya jadi kebalik. Logikanya, ini pasti ada yang sengaja membalik dengan cara masif. Pertanyaannya lalu siapa? Apakah para petinggi parpol anggota koalisi ada yang berkhianat, diam-diam nyoblos pasangan lain. Mentang-mentang tidak ketahuan karena nyoblosnya rahasia. Sepertinya tidak mungkin karena para petinggi partai ini sudah teken kontrak dukungan di atas meterai dan diselenggarakan dalam sebuah upacara deklarasi. Jadi tidak mungkin berbohong.

Kedua. Prabowo-Hatta didukung oleh parpol penguasa. Penguasa itu punya aparat dan punya alat yang lengkap. Di masa lalu punya peluang lebih besar untuk berbuat curang. Kalau toh yang sekarang tidak mau curang, paling tidak bisa ikut mengawasi supaya Prabowo-Hatta jangan dicurangi.

Ketiga. Didukung oleh pemilik jaringan media yang cukup luas. Ada ARB yang memiliki stasiun TV terkenal, ada Hary Tanoe yang mengendalikan jaringan VIVA, MNCN,RCTI, MNC TV, dan Global TV dan juga beberapa media yang diantaranya cukup galak seperti Obor Rakyat. Dengan dukungan media yang begitu luas mestinya tim Prabowo-Hatta memiliki kekuatan yang lebih besar dalam upaya membangun opini. Bukan hanya itu, peluang untuk melakukan black campaign pun tentu lebih besar.

Keempat. Lembaga Survey yang menyatakan Prabowo-Hatta menang bukan hanya satu, tapi lebih dari satu lembaga survey yang mungkin sudah meluangkan waktunya untuk melakukan hitung suara dengan sangat cepat. Ditambah lagi salah satu parpol pendukung (PKS) juga memiliki lembaga survey dengan segudang bukti di kantornya yang kalau mau dibawa memerlukan 10 buah truk untuk mengangkutnya.

Sekarang kasusnya sedang disidangkan di MK, dan ini adalah fakta Kelima. Di antara para hakim MK di sana ada Hamdan Zoelva yang menjadi Ketua. Dia adalah politikus PBB dan ada Patrialis Akbar yang adalah orang PAN. Kedua parpol para hakim ini adalah pendukung Prabowo-Hatta.

Berdasarkan fakta di atas sekali lagi, secara logika Prabowo-Hatta mestinya akan sulit untuk dikalahkan. Prabowo-Hatta hanya bisa kalah kalau ada kecurangan, dan kecurangan itu mesti dilakukan oleh penyelenggara pemilu. Bukan oleh pendukung-nya, bukan oleh partai pendukung.

Karena selisih suaranya sampai delapan juta maka tingkat kecurangannya harus bersifat nasional, maka para anggota tim sepakat untuk mengkampanyekan kecurangan itu bersifat Terstruktur Sistematis dan Masif (TSM) biar nampak keren dan terkesan besar.

Begitulah tadi logika dari para elite pendukung Prabowo-Hatta. Logika inilah yang kemudian membimbing tim Prabowo-Hatta untuk memaparkan bukti-bukti yang menurutnya terstruktur,sistematis dan masif di sidang MK.

Lantas bagimana logika rakyat yang sudah meluangkan waktunya untuk mencoblos?

KOMPAS hari Senin 11 Agustus 2014 di halaman satu memberitakan hasil survey yang dirilis oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Hasil survey yang seratus persen tidak bakal diakui oleh tim Prabowo-Hatta ini memaparkan sebanyak 77,9 persen pemilih nasional menilai Pemilu Presiden 2014 berlangsung bebas dan jurdil. Hanya 2,3 persen yang menilai pilpres tidak bebas dan tidak jujur. Itu artinya mayoritas pemilih ini percaya dan mengamini angka 53,15 persen yang ditetapkan KPU untuk memenangkan Jokowi-JK sudah sesuai dengan kenyataan.

Lalu siapa yang punya otoritas untuk memutuskan logika mana yang memenuhi unsur jalan pikiran yang masuk akal itu?

Negara kita sudah memiliki lembaga itu. Rakyat Indonesia mengakui Mahkamah Konstitusi adalah lembaga yang syah menurut hukum dan memiliki otoritas untuk menentukan siapa yang menang siapa yang kalah dengan cara yang seadil-adilnya. Termasuk tim Prabowo-Hatta pun mengakui. Kalau tidak buat apa cape-capemengajukan gugatan. Jadi kalau nanti MK sudah memutuskan, logikanya semua pihak yang mengakui keabsyahan lembaga MK pasti akan bisa menerima. Kalau tidak mau menerima maka logika keadilan menurut orang yang menolak keputusan MK adalah; Adil kalau MK memutuskan sesuai dengan kemauannya

Salam Damai Indonesia....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun