Tanggal 21 Mei BTN akan menyelenggarakan RUPS. Agenda akuisisi yang sempat menghebohkan sepertinya sudah tidak diacarakan lagi. Namun demikian agaknya posisi BTN masih belum sepenuhnya aman karena rencana akuisisi yang digagas Menteri BUMN Dahlan Iskan itu hanya ditunda tidak dibatalkan. Hal menarik untuk dipertanyakan seputar kontroversi akuisisi BTN ini adalah : mengapa aksi korporasi yang menurut menteri BUMN Dahlan Iskan sudah melalui kajian mendalam bahkan dibantu oleh konsultan keuangan terbaik ini seakan akan menjadi mentah dan menimbulkan kegaduhan sampai Presiden turun tangan untuk menghentikannya? Tulisan ini mencoba memberikan tanggapan bukan dari sisi analisis bisnis seperti kajiannya Dahlan Iskan tapi dari sisi peran BTN dibalik susahnya rakyat berpenghasilan pas pasan memiliki rumah sebagai tempat tinggal sendiri
BTN itu identik dengan rumah rakyat. Eksistensi BTN sudah sangat lekat dengan program pemerintah untuk memenuhikebutuhan rumah bagi kelompok rakyat kurang mampu yang sekarang istilahnya Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR).
Maka itu ketika ada aksi korporasi yang dikawatirkan akan mengganggu eksistensi BTN reaksipun bermunculan. Bukan hanya dari karyawan BTN melainkan juga daripara pengembang, asosiasi pengembang (REI,APERSI), dan para pihak yang memiliki perhatian pada program perumahan rakyat. Bahkan tidak kurang Menteri Perumahan Rakyat, Djan Faridz, koleganya menteri BUMN Dahlan Iskan juga telah mengirim surat ke Presiden agar rencana akuisisi BTN tidak hanya ditunda tapi dibatalkan.
Saya yakin, mereka yang menolak akuisisi itu bukan tidak setuju Indonesia memiliki Bank besar dan masuk ke jajaran tiga besar perbankan di Asia Tenggara, atau tidak menginginkan BTN menjadi besar dan kuat. Mereka yang menolak akuisisi itu umumnya meragukan atau kuatir program untuk memenuhi kebutuhan rumah rakyat bagi MBR menjadi semakin tidak jelas.
Simak saja komentar dari para pendukung Akuisisi. Semua yang pro memandang akuisisi BTN sebagai aksi korporasi dengan nilai ekonomis dan bisnis seperti menjadi Bank besar berskala internasional, berdaya saing kuat dikawasan Asia,memperkuat modal, memperbesarkan kemampuan pembiayaan dan seterusnya. Lalu bagaimana dengan kelanjutan program rumah rakyat? Logika dari mereka yang pro akuisisi ini cukup simple, khas orang berduit ; begitu modal BTN kuat maka kemampuan untuk menyalurkan KPR bersubsidi otomatis menjadi lebih besar lagi. Benarkan penyaluran KPR subsidi ini tergantung besarnya modal Bank?
Pengalaman BTN yang sudah 37 tahun menyalurkan KPR bersubsidi menampilkan logika yang berbeda. Realisasi KPR bersubsidi tidak semata mata tergantung kepada ketersediaan dana dari Bank. Ini berbeda dengan KPR Komersial.
Seberapapun tersedianya dana untuk KPR kalau dari sisi supply - pengembang tidak sanggup membangun,KPR Subsidi tidak akan pernah mengucur. BANK sebagai lembaga pembiayaan hanya salah satu dari empat pilar pembangunan perumahan rakyat yaitu ; Pemasok (Pengembang), Regulator, Kelompok sasaran (MBR) dan lembaga pendukung pembiayaan. Sayangnya ke empat pilar itu selama ini berjalan sendiri-sendiri.
Sejak diluncurkannya skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk KPR Subsidi tahun 2010 lalu misalnya, penyerapan dana FLPP selalu di bawah target padahal sejak skema FLPP ini sudah banyak Bank di luar BTN ikut terlibat.
Anjloknya volume realisasi KPR subsidi tahun 2012 terjadi karena munculnya kebijakan (regulator) yang menyebabkan pengembang (pemasok) rumah subsidi sulit membangun akibat adanya pembatasan harga jual, pembatasan tipe/luas bangunan lalu berlanjut ke tahun berikutnya sampai awal tahun 2014 ini pasokan rumah subsidi juga masih tersendat sebagai dampak dari belum adanya ketentuan Kementerian Keuangan(regulator) terkait penyesuaian harga patokan rumah bersubsidi yang bebas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) seperti yang di kemukakan oleh Deputi Bidang Pembiayaan Kemenpera Sri Hartoyo.(KOMPAS 16/04/14) Sekali lagi ini bukan karena rendahnya kemampuan BTN untuk membiayai KPR Subsidi.
Akuisisi BTN vs Keinginan memiliki Bank berskala Internasional
Alasan Dahlan Iskan supaya Indonesia memiliki Bank besar melebihi Malaysia dan masuk ke jajaran tiga besar perbankan di Asia Tenggara dengan menganak perusahankan BTN ke Bank Mandiri menurut saya ini alasan yang dipaksakan. Kalau tujuannya memiliki Bank besar bukankan akan lebih cocok gabungan antara Bank Mandiri dengan Bank BNI.Aset Bank BNI yang mencapai angka Rp 386 triliun saya kira jauh lebih memiliki nilai strategis dibanding BTN yang masih dikisaran Rp 131 triliun. Dari ke empat Bank BUMN, fokus usaha BRI nampak lebih jelas yaitu lebih diarahkan kepada retail Banking dan di pedesaan, BTN jelas disektor perumahan sedangkan Bank Mandiri dan BNI berebut di lahan yang tidak jauh beda.
Backlog rumah rakyat
Pemerintah saat ini sedang menghadapi ketertinggalan (Backlog) dalam memenuhi kebutuhan rumah rakyat, yang sampai dengan saat ini telah mencapai 15 juta unit. Kehadiran BTN selalu identik dengan program pemenuhan kebutuhan rumah rakyat. Maklum saja karena lebih dari 96% KPR Subsidi disalurkan melalui Bank BTN.Mengingat peran dan pengalaman panjang BTN dalam mendukung program penyediaan rumah rakyat ini maka ke depannya akan lebih bermanfaat membuat kajian kemungkinan BTN menjadi Bank Mortgage ketimbang kajian akuisisi dan dengan menyandang status ini BTN dapat diberikan akses yang lebih luas pada sumber sumber dana murah berjangka panjang.?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H