Mengejutkan dan berani! Tiba tiba muncul gagasan koalisi tanpa bagi-bagi kursi dari Jokowi dan PDIP. Ini adalah sebuah langkah yang berani. Saya katakan berani karena kalau sendirian saja PDIP juga tidak memenuhi syarat untuk dapat mengajukan calon presidennya. Itu berarti PDIP juga butuh partai lain untuk bersedia bergabung. Tidak biasanya orang butuh tapi mengajukan syarat. Berbeda dengan porosnya Gerinda yang sejak awal pembentukan koalisi sudah maen sodor sodoran kader. PAN punya calon, PKS punya kader, PPP juga punya kader masing masing buat pendamping Prabowo.
Tidak sedikit tentunya yang meragukan gagasan koalisi tanpa syaratnya Jokowi ini. Ada yang mengatakan ini hanya lips service, ada yang menyebutnya kebohongan publik. Keraguan banyak pihak saya kira bisa dipahami. Dimana saja yang namanya kerjasama itu lumrah ada timbal baliknya. Ada take and give-nya. Pertanyaannya ; Di jaman berpolitik serba transaksional ini bisakah koalisi dibangun semata mata berdasarkan kesamaan ideologi, kesamaan platform, kesamaan pandangan dan seterusnya pokoknya ada kesamaan supaya jalannya enak?
Belajar dari model koalisi partai terutama yang terjadi sepuluh tahun terakhir ini kita dapat melihat dengan jelas perilaku partai dalam membangun koalisisi sangatkentara motif transaksionalnya. Karena dilatarbelakangi adanya motif bertransaksi maka akan selalu ada tawar menawar di dalamnya. Tidak sepenuhnya salah sebenarnya karena by nature-nya koalisi itu memang tujuannya pooling suara supaya bisa menang di pilpres, supaya bisa mayoritas di parlemen. Faktanya pihak pendukung biarpun suaranya lebih kecil tapi memiliki posisi tawar yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Disitulah tawar menawar “wani piro” biasa terjadi. Kalau sudah demikian maka segala macam kesamaan yang awalnya dijadikan sebagai dasar membangun koalisi menjadi tidak ada harganya lagi. Sebagai gantinya adalah kesamaan pandangan dan kecocokan “wani piro” itu yang lebih dikedepankan.
Saya tak berpikir positif saja. Sebagai rakyat pemilih hanya bisa nitip pesan. Bagi parpol yang tetap percaya pada mazhab koalisi tanpa bagi-bagi kursi itu mustahil sebaiknya tetap waspada karena praktek koalisi dengan tawaran wani piro ini rawan dengan isu-isu yang bisa menimbulkan perpecahan ketika ada ketidak cocokan di tengah perjalanan. Apalagi kalau koalisi ini dibangun dengan kesamaan yang dipaksakan demi tawaran wani piro itu. SBY saya kira punya banyak cerita soal ini.
Untuk gagasan Jokowi yang sepertinya melawan arus ini. Anggap saja ini sebagai upaya koreksi oleh Jokowi atas apa yang pernah dialami SBY ketika membangun koalisinya. Kerjasama “murni” seperti yang diistilahkan Jokowi ini semoga bisa menjadi wujud yang nyata sebagai landasan bagi pemerintah yang kuat dan efektif sehingga bisa lebih fokus pada pembangunan untuk kepentingan rakyat. Tulus tidaknya PKB dan NASDEM yang bersedia gabung di koalisi tanpa syaratnya Jokowi akan kita lihat nanti ketika Jokowi benar-benar jadi presiden dan mulai menyusun kabinetnya. Untuk saat ini paling tidak langkah PKB dan NASDEM patut diapresiasi?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H