Mohon tunggu...
Bantors Sihombing
Bantors Sihombing Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Tinggal di Medan, dengan satu isteri dan dua anak.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Maaf ya, Lain Kali Aku Tak Bisa Lagi

21 Oktober 2014   20:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:14 7
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tettt………..tet…..Bel panjang disambut wajah lega siswa SMA yang sudah penat belajar sejak pagi. Semua ingin bergegas pulang ke rumah dengan mengangkat setumpuk buku yang rasanya makin berat. Setelah kurikulum 2013 diterapkan, beban terasa makin banyak dan tugas-tugas menggunung.
Lumongga, gadis jangkung itu berjalan gontai melewati dua sahabatnya, Uli dan Arta. “Duluan ya!” Dia langsung naik ke angkot yang ngetem persis depan sekolahnya. Gadis dengan rambut dikuncir ini memilih duduk di pojokan karena rumahnya memang di ujung trayek angkot tersebut.
“Huuh…hari yang sial,” keluh Lumongga dalam hati. “Malu-malu, gimana bilangnya ke mama, aku dapat nilai 0 saat ulangan Matematika?” Lumongga berulang kali menghela nafas mengingat peristiwa memalukan dirinya di kelas.

“Hari ini ulangan! Harap semua masukkan buku ke laci. Ingat jangan nyontek!” sergah Pak Musa yang terkenal galak. Lumongga tahu kebiasaan gurunya sering mendadak bikin ulangan. Jadi, dia sudah mempersiapkan dirinya dengan belajar sehingga kapan pun dibuat ujian, tak masalah.
Lumongga menoleh ke belakang mendengar sobatnya Uli mengomel kecil. “Ulangan kok ngak bilang-bilang. Emangnya kita ini superman, siap tempur kapan saja,” desis Uli.
“Sst….,” bisik Lumongga.
“Apa itu,” sergah Pak Musa. “Makanya jangan hanya main game, nonton sinetron dan nongkrong aja kerjaan kalian. Ingat, kalian ke sini sekolah, belajar kewajiban,” tegasnya.
Lumongga melirik ke sebelah kanannya, raut wajah temannya Arta juga gelisah. “Tadi malam aku lembur, nonton film Korea,” bisiknya kepada Lumongga, sambil membuka kertas ujian dibagikan.
“Waktunya satu jam,” terdengar suara Pak Musa dari mejanya. Hening lalu menguasai kelas XI IPA. Lumongga dengan tenang menjawab soal-soal yang ternyata mirip dengan yang biasa dikerjakannya ketika belajar di rumah.
“Terima kasih Tuhan Yesus,” ucap Lumongga berulang-ulang dalam hatinya. Dari lima soal cerita tersebut, semua bisa dikerjakannya.
“Ga..Ga,” panggil Uli dari belakang. Lumongga melirik Pak Musa di mejanya yang sedang menulis.
“Ada ada apa?”2
‘Nomor tiga gimana, kasih jawabannya dong!”
“Aku takut, nanti ketahuan.”
“Satu aja, tolonglah….tega amat sih sama kawan sendiri.”
Lumongga menghela nafas. Ada perang dalam batinnya, antara mengasih jawabannya atau tidak. Dia tahu meski dia tak menyontek, membantu teman saat ulangan juga salah. Wajah mamanya muncul di benaknya yang sering menasihatinya agar tak curang dalam ujian.
“Ga…kita ini anak Tuhan Yesus. Jaga kesaksian ya nak di sekolah. Tunjukkan kasihmu dengan menolong temanmu di sekolah. Tapi, jangan tolong mereka saat ujian, itu salah. Kalau saat belajar kamu tolong, bisa,” ucapan mamanya terngiang di telinga Lumongga.
“Ssst…Ga…mana,” desak Uli lagi. Lumongga tak tega ketika menoleh ke belakang, kawan baiknya itu menunjukan kertas jawabannya yang masih banyak kosong. Dia lalu menuliskan jawaban nomor tiga di sobekan kertas dan melemparnya ke Uli, setelah melihat Pak Musa lagi lengah.
“Kok hanya Uli dikasih. Samaku mana,”desisArta dari samping.
“Itu sama Uli, nanti minta sama dia. Li kasih sama Arta ya,” bisik Lumongga sambil melirik Pak Musa yang melotot ke arah mereka. Pandangan mata mereka bertabrakan.
“Eh…jangan ribut!Masih ada waktu sepuluh menit lagi,” hardiknya.
Lumongga tunduk, pura-pura memeriksa kembali jawabannnya yang memang sudah selesai dikerjakannya. Begitu juga Artha kembali mencoret-coret kertas buramnya seolah masih mencari jawaban.
Pletok….! Terdengar pulpen Artha jatuh ke arah belakang. Rupanya hanya taktiknya agar bisa bicara dengan Uli. Sembari mengambilnya, dia berbisik ke Uli agar mengoper jawaban nomor tiga. “Ta…cepat, udah mau habis waktu nih,”omelnya dengan suara pelan.
Uli lalu melempar kertas buram berisi jawaban ke meja Artha.
“Hei…apa itu Artha?” Terdengar suara langkah Pak Musa mendekat.
“Tak ada pak,” jawabnya sambil menggemgam kertas buram yang dilempar Uli.
“Buka tanganmu, apa itu,” hardiknya. Artha gemetar membuka tangannya dan menyerahkan kertasnya ke Pak Musa. Kelas tiba-tiba riuh.
“Hmmm….kalian curang ya. Dari siapa ini? Kau ya,” kata Pak Musa ke Uli.
Lumongga merasa jantungnya akan copot, keringat dingin muncul di ujung dahinya. Dia menyesal telah membantu temannya saat ujian. Dia merasa bersalah tak bisa menunjukkan kesaksian yang bagus. “Tuhan, tolong aku, jangan sampai ketahuan, aku yang kasih contekannya,”doanya dalam batin.
“Kalian berdua ke kantor guru,” kata Pak Musa kepada Uli dan Artha. “Hasil ujian kalian dibatalkan. Yang lain, kumpulkan!” tegasnya.
“Huuh….” sekelas menyoraki keduanya yang setengah berlari mengikuti langkah Pak Musa ke ruang guru. Lumongga merasa tangannya dingin dan jantungnya berdegub kencang.
Saat les berikutnya, pelajaran bahasa Indonesia bersama Bu Mira. Saat asyik membahas kalimat majemuk, terlihat Pak Parto pegawai sekolah mengetuk pintu. Dia berbicara pelan dengan Bu Mira.
“Lumongga dipanggil ke ruang guru,” kata Bu Mira.
Dunia terasa kiamat bagi Lumongga. Diiringi tatapan tanda tanya dari teman sekelasnya, dia bergegas ke ruang guru.
Tiba di ruang guru, dia melihat kedua sahabatnya berdiri lunglai dengan kepalatunduk. Skak mat! Ternyata keduanya mengaku sumber contekan itu dari Lumongga. Dia hanya bisa pasrah hasil ujiannya dibatalkan. Kepalanya mumet mendengar segudang nasihat yang rasanya ditumpahkan di kepalanya.
“Padahal kamu yang paling bapak banggakan di kelas. Ujianmu bagus, sikapmu sopan. Kok mau curang dalam ujian. Kamu kan tau membantu kawan pun curang,” semprot Pak Musa. Lumongga hanya mengiyakan.
“Bawa kertas ujian ini ke orangtua dan tanda tangani. Biar mereka tahu apa yang terjadi. Besok serahkan samaku,” kata Pak Musa sambil menyodorkan kertas ujian ke Lumongga, Artha dan Uli.
“Gasrp…,” Lumongga menelan ludahnya. “Gawat, mama bisa murka.” Dia hanya bisa menyesal dan menyesal. Gara-gara dirinya, kedua kawannya juga menjadi korban. “Coba tadi aku tak maui permintaan mereka,” sesalnya.
“Hei dek….turun di mana? Udah mau nyampe pangkalan,” seru sopir, menyadarkan Lumongga dari lamunan panjangnya. Dia tersadar tinggal dirinya dalam angkot. Untung rumahnya dekat pangkalan angkot.
“Kiri bang….!” Dia lalu masuk rumah, hanya adeknya Tamia yang di rumah. “Mama mana?” serunya ke adeknya yang sedang main PS.
“Ke pesta. Makan siang udah ada di meja kak,” jawabnya tak menoleh ke kakaknya.
Lumongga memilih masuk kamar. Peristiwa di sekolah kembali menari-nari di kepalanya.
“Uh…..aku harus jelaskan ke mama.” Dia ingat kasih Tuhan yang begitu baik baginya. Dia yang mengampuni anak-anaknya yang melakukan dosa, asal mau mengaku dan bertobat.
Lumongga duduk dan mulai berdoa. Dia minta ampun kepada Tuhan atas perbuatannya berbuat curang saat ulangan dan meminta diberi keberanian menjelaskannya ke mama dan papanya.
“Maafkan aku Uli, Artha. Jangan lagi merasa kalian menghianatiku, aku yang salah, aku tak marah sama kalian. Hanya, lain aku tak bisa lagi membantu kalian saat ujian!”Lumongga ganti baju seragamnya dan bergegas ke meja makan. Wajahnya kembali sumringah dan lega setelah berdoa. Kini dia sudah siap menjelaskan nilai 0-nya ke orangtuanya.(***)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun