Sejarah
Mathla’ul Anwar merupakan organisasi yang bergerak di bidang da’wah, pendidikan dan sosial yang berdiri pada tahun 1916 Masehi. Kelahiran Mathla’ul Anwar, didorong oleh gerakan para ulama yang mempunyai kepedulian dan dedikasi tinggi terhadap perkembangan pendidikan umat islam di menes, yang ketika itu sangat memprihatinkan. Maka berawal dari perkumpulan pengajian kecil Ustadz dan santri, secara bertahap mendapat tempat di hati masyarakat dan para pemuka agama menes untuk diteruskan dan dikembangkan. Selanjutnya untuk mengeksistensikan gerakan pengajian tersebut, para ulama Menes berkumpul untuk mendirikan satu lembaga pendidikan yang mempedulikan konsep ilmu dan agama dalam satu wadah pendidikan formal, dan di setujuilah satu nama “Mathla’ul Anwar” yang dideklarasikan pada 10 Syawal 1418 Hijriyah/1916 Masehi. Tokoh perintis pendiri Mathla’ul Anwar diantaranya:
Moh. Yasin
Moh. Soleh
Mustagfiri
Kiyai Tegal
Mas Abdurahman
Di Mathla’ul Anwar inilah, para ustadz menularkan ilmu agama dan pengetahuan umum ditularkan para santrinya. Sedikit demi sedikit Menes bergeliat dengan kemajuan pendidikan ilmu agamanya, sehingga banyak santri dari luar Menes ikut berlomba menimba ilmu. Proses yang cukup panjang Mathla’ul Anwar di mata masyarakat umum dan pemerintah kolonial lebih dikenal sebagai organisasi masa islam yang terbesar ketiga setelah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah.
Saat ini organisasi Mathla’ul Anwar memiliki lebih dari 6000 sekolah mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi, yang tersebar di 33 Propinsi di seluruh Indonesia.
Kondisi Umum Masyarakat Banten
Sejak dihancurkannya kesultanan Banten pada tahun 1813 oleh Gubernur Jenderal Deandeles, praktis Banten dinyatakan daerah jajahan Belanda. Kekuatan Belanda di Banten memaksa perubahan, dan sejak itu seluruh daeah di Banten mengalami guncangan. Sebab ketika penetrasi kolonial secara intensif menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat melalui pajak yang berat, pengerahan tenaga buruh yang berlebihan, dan peraturan yang menindas, serta tekanan militer yang represif, jelas realitas sosial-politik di Banten dirasakan sebagai kenyataan yang jauh dari apa yang mereka harapkan.
Kolonialisme sebagai bentuk penguasaan wilyah memiliki system administrasi yang sistematis dengan mengatur segala kewenangan organisasi sosial-politik di kawasan kolonial sesuai dengan keperluan negara jajahan. Sistem itu bertentangan dengan apa yang diharapkan dalam bentuk harmoni sosial.
Lebih dari itu kehadiran kolonialisme Belanda bukan hanya menghancurkan tata-niaga masyarakat pribumi, system ekonomi dan politik tradisional, tetapi juga menghancurkan system idiologi negara sebagai pemersatu bangsa, sehingga kesatuan rakyat di negara jajahan bercerai berai, yang juga mengakibatkan terjadinya koflik dan peperangan antar golongan dalam kebangkrutan politik tersebut. Demikianlah politik adu domba yang dilancarkan Belanda menyebabkan terjadinya perselisihan dan sengketa politik antar elite dan pewaris kesultanan yang tak jarang melahirkan peperangan local.
Perpecahan politik ini melengkapi kemunduran structural sosial masyarakat Banten. Kekacauan politik yang juga diikuti oleh kemerosotan ekonomi, sekaligus disertai dengan marginalisasi masyarakat. Sebagian penduduk kembali ke daerah-daerah pelosok pedesaan dan di sinilah pendidikan agama Islam dikembangkan dengan fasilitas yang seadanya dan dengan orientasi yang teramat anti-kolonialisme.
Ketika tata kehidupan tradisional yang membentuk harmoni sosial masyarakat mengalami penghancuran, sebagian mereka membentuk pandangan-pandangan baru dan tumbuhnya mitologi keagamaan yang kian mengental dalam kehidupan masyarakat. Demikian ini sebagian besar yang mayoritas petani kembali ke alam pikiran masa lalunya, semacam restorasi tradisi, dengan mencari tulang punggung ketenangan dan ketenteraman teologis yang pernah dirasakan sebelumnya.
Idiolegi keagamaan semacam itu menimbulkan rasa kebencian yang dalam terhadap kolonialisme. Sehingga sebagian dari elte agama membentuk fron perlawanan terhadap penjajahan Belanda tanpa henti. Guru agama/kyai tidak hanya mengambil jarak dengan pemerintah kolonial, tapi juga menjadikan kegiatan-kegiatan sosial-keagamaan itu dinyatakan sebagai jalan jihad melawan kolonialisme Belanda. Mereka memilih menjadi buronan yang selalu diawasi dan dikejar-kejar oleh pemerintah. Karena itu sering terjadi pemberontakan dan perlawanan walau banyak di antara para tokoh dan pimpinan agama Islam di Banten yang tertangkap dan kemudian dibuang ke negeri orang.
Juga tak sedikit para kyai/Guru Agama yang ‘uzlah meninggalkan keramaian kota dan masuk ke pedalaman. Kelompok ini membuka lembaran baru dengan cara bertani sambil mengajarkan ilmu agama Islam secara mandiri. Dengan demikian bahkan mereka tetap mempunyai akar yang kuat dan mendapat tempat terhormat di kalangan masyarakat.