Mohon tunggu...
jonathan eko nugroho
jonathan eko nugroho Mohon Tunggu... -

saya lahir di purworejo, pendidikan dasar saya selesaikan di kota yang sama dan untuk pendidikan menengah dan akhir saya tempuh di wates....kemudian saya menjalani masa-masa pencarian spiritual di magelang dan salatiga...saat ini saya sedang menjalani studi d3 refraksi-optisi di jakarta sekaligus bekerja di salah satu optik terbesar di negeri ini sesuai bidang keahlian saya...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Mea Culpa, Mea Culpa, Mea Maxima Culpa

1 September 2010   15:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:32 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah melakukan hal bodoh yang berdampak besar dalam hidup saya. Berawal dari pelanggaran yang kerap saya perbuat dan terus saja saya perbuat. Saya tahu dan mengerti bahwa yang saya lakukan itu salah namun terus saja saya perbuat hingga hati nurani saya menjadi tumpul. Akhirnya tiba juga "hari penghakiman", melalui teguran keras seseorang mata hati saya kembali terbuka bahwa apa yang saya lakukan memang salah. Buah dari kesalahan tersebut adalah sebuah konsekuensi yang amat menyesakkan bagi saya. Cukup lama saya menyesali diri hingga akhirnya saya menemukan titik terang, ini adalah sebuah proses pendewasaan diri. Realitanya cukup menyakitkan namun inilah mekanismenya.

Belajar dari kesalahan tersebut dan juga kesalahan-kesalahan lain, saya menemukan bahwa kesalahan merupakan cara pandang hati yang keliru - kelainan refraksi mata hati. Ya, kesalahan yang dibuat ternyata hampir serupa dengan macam-macam kelainan refraksi yang saya pelajari: myopia, hypermetropia, dan astigmatisme. Pada kelainan tersebut yang perlu dikoreksi adalah mata fisik sedang pada kelainan refraksi mata hati yang perlu dikoreksi sudah jelas yaitu mata hati.

Seseorang dengan keluhan penglihatan yang kabur akan berkonsultasi ke dokter spesialis mata atau refraksionis optisien untuk mengembalikan penglihatannya. Di sini, seseorang dengan suara hati yang masih peka akan merasa tak nyaman saat melakukan kesalahan. Ia akan digerakkan oleh hati nuraninya untuk mencari seseorang yang ia anggap mampu untuk membimbingnya atau sekurang-kurangnya ia akan kembali pada Yang Agung sekedar untuk menemukan sebuah kebenaran demi penglihatan hati yang lebih jelas dan rasa nyaman pada hati nuraninya. Namun, kadang hati nurani menjadi tumpul hingga pada titik tertentu penglihatan hati yang buram dianggap jelas seperti yang pernah saya alami dulu. Saya beruntung karena seseorang mau membimbing dan bersedia mengoreksi penglihatan hati saya yang buram hingga akhirnya mata hati saya mencapai tajam penglihatan yang optimal kembali.

Pada pemeriksaan refraksi subjektif terjadi komunikasi yang intensif antara pemeriksa (katakanlah refraksionis optisien) dengan pasien. Komunikasi tersebut akan membantu pemeriksa untuk memperoleh informasi penting dari pasien untuk selanjutnya dilakukan koreksi yang tepat. Informasi yang jujur dan keterbukaan pasien akan menghasilkan koreksi yang tepat. Saya berusaha jujur dan terbuka pada saat seseorang mengoreksi kesalahan saya. Saya masih ingat betul perasaan saya saat itu. Saya merasa menelanjangi diri saya sendiri di depan orang tersebut dan ini membuat saya ingin lari darinya. Pelan-pelan saya selami proses tersebut dan sedikit demi sedikit menerimanya dengan bersikap lepas-bebas. Saya bersyukur karena akhirnya saya memperoleh visi yang lebih baik karena mata hati saya telah dikoreksi dan mendapatkan lensa koreksi dengan ukuran yang tepat. Pada proses tersebut bisa saja saya berbohong dan tidak terbuka tetapi kemungkinan yang saya dapatkan jauh lebih mengerikan. Saya mendapat koreksi yang salah dan ini akan memperparah kondisi mata hati saya yang sudah tidak benar.

Saya merasa bahwa berbuat salah itu wajar dan justru inilah yang membuat sisi manusiawi seorang manusia akan tampak jelas. Pilihan yang disediakan adalah bagaimana mengolah kesalahan tersebut sehingga kesalahan yang dibuat tidak destruktif melainkan konstruktif. Sikap ksatria untuk mengakui kesalahan yang dibuat dan bertekad untuk memperbaikinya merupakan salah satu cara untuk mengubah sisi destruktif sebuah kesalahan menjadi lebih konstruktif bagi hidup selanjutnya.

13 November 2009

saat Jakarta diguyur hujan

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun