Mohon tunggu...
Asep Wijaya
Asep Wijaya Mohon Tunggu... Jurnalis - Pengajar bahasa

Penikmat buku, film, dan perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Tuts

22 Maret 2014   15:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:37 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Aku tuts. Tepatnya tuts ponsel. Lebih akurat lagi tuts ponsel pintar Blackberry. Ratusan bahkan ribuan kali aku didera tekanan. Pelakunya seringkali ibu jari. Ya, jari tergemuk manusia ini menubrukku bertubi-tubi. Dalam hitungan menit, eh tidak, bahkan dalam separuh atau seperempat menit, si jempol menumbukku puluhan bahkan ratusan kali.

Bisa kupastikan, sehari saja sang jempol tak menindasku, agaknya malapetaka segera datang menimpa. Kuberi pemisalan. Sang kekasih bisa kesal karena tak ada kabar dari pasangannya. Kabar itu tak perlu dalam rupa suara. Kata dalam pesan pendek yang berasal dari tekanan ibu jari kepada tuts juga cukup.

Apalagi sang istri yang belum mendapat kabar siang hari dari suaminya yang berada di kantor. Hendaknya di waktu rehat itu, sang suami mengabarkan istrinya ihwal aktivitas yang dilakukan. "Ini kan waktu senggang, masa SMS atau BBM aja nggak bisa, kan tinggal ketik doang," gerutu istri yang belum mendapat kabar sang suami.

Malapetaka lain boleh jadi begini: Seorang manusia tentu pernah mencipta salah. Keliru barangkali lebih tepat. Di tengah amarah yang meluap atau tekanan yang mendera, seseorang kerap silap dalam mengetik kalimat. Tekanan cepat yang menimpaku bertubi-tubi acapkali berbuah salah kata.

Benar saja, seorang sahabat yang merasa tertekan dengan kata-kata kawannya khilaf dalam menera frasa. "Dia seks pacarku". Melihat frasa itu menempel pada layar ponsel, si kawan jelas murka. Padahal, maksud frasa tersebut adalah "Dia eks pacarku". Namun, amarah seringkali menyimpangkan kebenaran. Kebenaran maksud kata yang hendak disampaikan seorang sahabat kepada kawannya.

Bagaimana aku tahu? Jelas aku tahu karena akulah tuts. Akulah yang pertama kali mengetahui apa yang dipesankan manusia kepada rekannya yang jauh di sana. Aku yang senantiasa ditekan untuk setiap kata yang terlempar dalam bentuk pesan singkat.

Semua ini berkat aku. Tuts. Tanpaku, ponsel pintar bukan apa-apa. Kini, penampilanku juga bermacam aneka. Selain dalam bentuk fisik yang teksturnya dapat langsung terasa indera pencerap ibu jari, aku juga bisa menyatu dalam layar. Orang menyebutnya "touch screen". Kendati begitu. Aku tetap saja ditekan. Namun tidak hanya oleh ibu jari. Telunjuk pun dapat turut serta menimpaku.

Tapi jujur. Tekanan itu tak lantas membuatku lemah. Deraan jari itu tak membuatku jera. Bahkan aku menjadi berguna. Lihat saja aksara yang kucipta dari tekanan sang ibu jari. Aku mencipta kata, kalimat, alinea hingga wacana. Semua itu bisa menjadi buah bibir. Atau setidaknya menimbulkan dampak. Dampak komunikasi. Meski tak harus berujung kesalingpengertian. Komunikasi itu juga bisa melahirkan pertikaian. Namun begitu, aku tetap berguna dalam dera tekanan. Menyampaikan ekspresi setidaknya.

Memang tidak semua tekanan yang kualami itu keras. Seringkali hantaman ibu jari itu biasa saja. Namun ada juga suatu masa ketika aku mendapat tumbukan yang hebat. Kala itu sang empunya ibu jari sedang geram. Sang kekasih mencampakkannya dan menyemburkan kata-kata kasar untuknya. Sontak si pemilik ibu jari itu murka. Telepon yang ia layangkan tak direspon, seketika ia tekan tuts demi tuts dalam ponselnya. Keras sekali ia menekan sembari menyusun umpatan untuk sang kekasih.

Sakit? Tidak bagiku. Tapi mungkin sakit bagi si manusia pemilik ibu jari. Akulah tuts yang senantiasa mendapat tekanan. Tapi tekanan yang menderaku justru mencipta kebergunaan. Tak percaya? Lihat saja bagaimana seorang anak usia balita menekanku. Ia tekan satu demi satu tuts ponsel. Tidak ada kata atau kalimat bermakna di sana. Tapi bukankah kata tak harus dibebani makna?

Tampak pada layar ponsel: aaaab aaaac aaaad. Tak jelas. Tapi itu barangkali yang disebut puisi mantra. Sang balita berhasil mencipta puisi mantra. Kata berhasil lepas dari makna. Toh, makna dan kata dicipta manusia. Kalau tak sepakat, maka kata dan makna juga hanya untai aksara saja. Itu karena aku, tuts.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun