[caption id="attachment_339013" align="aligncenter" width="620" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kompas.com)"][/caption]
Oleh: A. Rifqi Amin
Prolog
Suatu ketika saya sedang chatting (sekitar tahun 2009) pada salah satu aplikasi chatting dengan siswa SMP. Beberapa hari setelah berkenalan dan sudah sedikit akrab, maka kami mulai membicarakan masalah terkait aktivitas sehari-hari. Singkat kata, suatu hari dia mengeluhkan (atau yang lebih tepat “mencurigai”) kepala sekolahnya telah memakan uang haram.
Entah provokasi dari mana, atau memang sebagai akibat kecanggihan teknologi zaman sekarang. Tak ayal, anak seumuran SMP sudah mulai kritis dan melek informasi yang diterima dari berbagai sumber. Dengan meyakinkan dia menjelaskan tentang isu “perampokan” dana proyek pembangunan pagar sekolah. Banyak siswa merasa resah dengan adanya "isu" santer tentang oknum kepala sekolah tempat ia belajar dicurigai menjadi dalang penggelapan uang.
Wajar saja isu itu merebak, menurutnya kualitas pagar yang baru saja dibangun dengan total anggaran yang ada menurutnya tidak sebanding. Anggaran dari bantuan pemerintah, dana sekolah, donatur, dan anggaran hasil penarikan pada orang tua murid dicampur aduk menjadi satu, seakan semuanya sama. Setelah saya cek di lapangan ternyata memang kualitas bangunan secara kasat mata (maaf saya bukan ahli bangunan) tidak “semenarik” bangunan lain yang usianya sama. Warna cat sudah pudar dan terlihat ada keretakan di sana-sini.
“Paling yo dikoropsi kepseke!” (Red: paling ya dikorupsi Kepala sekolahnya) begitu salah satu isi chatting-nya. Beberapa menit setelah membaca rentetan curhatannya saya merasa miris dan kaget. Ternyata anak kelas VIII SMP sudah bisa mengoreksi atau mengkritisi kebijakan dari kepseksnya secara rinci dan “hampir” ilmiah. Walaupun mungkin pada saat itu ia tidak mampu memberikan solusi. Kejadian inilah yang selalu membuat saya terngiang sampai sekarang.
Pentingnya Transparansi
Dari peristiwa itu saya berpikir, memang siswa termasuk orang tuanya serta masyarakat luas berhak untuk mengetahui proses penggunaan dana sekolah secara detail. Bahkan masyarakat berhak untuk tahu sumber dana yang didapat sekolah dari mana saja asalnya.
Caranya simpel, hasil perekapan seluruh rincian penggunaan dan pendapatan dicetak lalu ditempelkan di papan pengumuman. Atau dengan cara lain senyampang siswa, orang tua, dan masyarakat luas bisa mengakses informasi tersebut dengan mudah dan nyaman.
Mekanisme transparansi tersebut berfungsi memberikan rasa percaya siswa terhadap sekolahnya dalam pengelolaan sumber dana yang ada. Sekaligus mendidik dan memberi keteladan kepada para siswa tentang sangat tabunya menyembunyikan informasi terkait mekanisme pengelolaan dana. Bahkan bisa menjadi media pembelajaran yang faktual dan aktual bagi siswa tentang pentingnya akuntabilitas publik sebagai salah satu pilar demokrasi.
Pada praktiknya, untuk efektivitas dan efisiensi penggunaan dana maka dibutuhkan perumusan Rancangan Anggaran Belanja dan Pendapatan (Rancangan Anggaran Tahunan) yang disetujui oleh seluruh elemen pendidikan. Konsekuensinya, guna mempertanggungjawabkan rancangan tersebut, seharusnya ada Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) secara detail (tidak ada pembulatan angka) atau apa adanya. Pembuatan LPJ itu dilaksanakan ketika ada proyek atau kegiatan yang memerlukan dana.
Hasil Temuan
Berdasarkan temuan dari penelitian mini saya, banyak “pembukuan” atau laporan anggaran dari beberapa lembaga pendidikan yang serba simpel dan formal-administratif. Hasil tersebut saya dapat dari proses pengamatan di lapangan, ngobrol, dan penafsiran dokumen. Beberapa informasi tersebut, salah satunya saya dapat dari teman semasa kuliah dulu dan teman guru di lembaga lain.