Pentingnya Sertifikasi Buku
Oleh: A. Rifqi Amin
Beberapa hari yang lalu kita memperingati hari buku nasional. Tepatnya jatuh pada 17 Mei. Mungkin tidak banyak orang yang selalu ingat ada hari spesial bagi “buku” di bulan Mei ini. Bahkan tidak ada yang antusias untuk menyambut HARBUKNAS kecuali hanya para “kutu buku” dan penulis buku.
Di satu sisi RUU tentang Sistem Perbukuan Nasional “belum” ditetapkan menjadi Undang-undang. Padahal Undang-undang tersebut sangat dibutuhkan sebagai landasan hukum dalam memanajemen “pengadaan” dan penyebaran buku. Baik bagi pemerintah, penulis, penerbit, distributor, toko buku, perpustakaan, dan taman bacaan.
Untuk memeriahkan hari itu, berbagai agenda dilakukan oleh Event Organizer dan institusi tertentu, salah satunya dengan pameran buku. Tak ketinggalan sebagai identitas diri, diperingati pula oleh komunitas penulis dan komunitas “aktif membaca”. Kita patut apresiasi upaya itu. Semua dilakukan sebagai “kampanye,” agar masyarakat menjadi gemar membaca.
Tapi mengajak gemar membaca saja tidak cukup. Jauh lebih penting, bila masyarakat mau membaca buku yang beraneka ragam. Serta buku yang lebih mencerdaskan dan bermutu. Baik dalam taraf bahasa, isi, dan nilai manfaatnya. Artinya masyarakat tidak hanya diajak membaca satu jenis bacaan, misalnya “digiring” untuk membaca buku fiksi saja.
Di sisi lain, mungkin jarang ditemui anak didik di negeri ini yang bercita-cita untuk menjadi seorang penulis buku. Kalau toh ada itu karena “kecelakaan” dan ketidak sengajaan (coba-coba). Hanya sebagai pekerjaan sampingan.
Menurut catatan yang ada, lebih dari 40% buku yang terjual di masyarakat adalah buku karya sastra. Misalnya novel, kumpulan cerpen dan puisi. Sedang urutan buku selanjutnya, yaitu tentang kiat dan pedoman atau panduan (motivasi) untuk menjadi atau melakukan “sesuatu.”
Begitulah, selama ini penulis buku masih dipaksa untuk takluk pada mayoritas “kegemaran” bidang bacaan masyarakat. Ujung-ujungnya adalah untuk mengejar popularitas, uang, dan bukunya bisa berlabel best seller. Atau dengan cara yang paling “santun”. Misalnya agar bukunya bisa diterima oleh masyarakat banyak, maka di halaman sampul ditulis “100% royalti akan disumbangkan.”
Di lain pihak, para penerbit enggan untuk menerbitkan buku yang penuh “resiko.” Yakni, dikawatirkan labanya sangat minim. Meski bila diterbitkan buku tersebut kedepannya sangat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Memang, hal itu tidak serta merta bisa kita salahkan. Pihak penerbit juga realistis, butuh uang untuk memberi makan pegawainya.
Dampaknya, tidak hanya ideologi dan idealisme penulis maupun calon penulis yang luntur. Tapi juga dalam segi penulisan terjadi pergesaran, dari tulisan yang baku menjadi tidak baku. Dari yang tujuan awalnya ingin mendidik masyarakat “menjelma” ingin menjadi penghibur. Semuanya akan dilakukan agar bukunya bisa disukai dan dibeli masyarakat.
Guyonan-nya seandainya cerpen dan novel porno, yang bercerita mesum dilegalkan di negeri ini. Saya yakin, buku-bukunya akan menjadi best seller. Laris manis bak kacang goreng di pasar malam. Jika tanpa kontrol dengan diimbangi kehadiran jenis dan tema buku lain, maka lambat laun akibatnya bangsa ini akan menjadi bangsa yang “seragam,” yaitu bangsa mesum.
Kita memang sadar, menurut kacamata hukum ekonomi fenomena itu sungguh wajar. Jika ada permintaan yang lebih maka akan ada peningkatan penawaran. Namun lebih arifnya bila penulis peduli dan empati pada mutu bacaan anak bangsa ini. Intinya, buku adalah sebagai sumber ilmu tidak berfungsi untuk “penghibur” saja.
Memang tidak selalu salah bila menghibur masyarakat. Namun untuk seterusnya masyarakat kita tidak akan hanya butuh hiburan saja. Mereka juga butuh ilmu dan “ideologi” untuk eksistensi kehidupan yang lebih baik bagi bangsa ini.
Bila kenyataannya demikian, pemerintah harus mengontrol penyebaran dan pencetakan buku. Bukan hanya dalam bentuk melarang dan membatasi peredaran buku yang ngawur. Namun juga menerbitkan sertifikat untuk buku yang memenuhi standar kaidah keilmuan. Serta buku tersebut dinilai punya manfaat banyak bagi pembangunan bangsa ini.
Dengan sertifikat itu, selain untuk memberikan penghargaan bagi penulisnya, juga bisa menjadi motivasi generasi muda untuk menjadi penulis. Terlebih jika buku yang bersertifikat mendapat imbalan sejumlah uang yang pantas dari pemerintah. Sedang bagi penulis yang belum mendapatkan penerbit, tapi karyanya layak bersertifikat maka tulisannya bisa diterbitkan oleh penerbit “BUMN.”
Sepertinya dengan buku bersertifikat sebuah bahasa bisa kita “kunci” agar tidak dirubah-rubah seenak perut. Yakni, menggunakan bahasa yang berpanduan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Lebih konkrit, buku berkualitas dapat menjadi alat menstransfer bahasa, budaya, dan ilmu dari generasi “tua” kepada generasi penerusnya.
Pada akhirnya, dengan sertifikasi buku diharapkan bisa menjadi angin segar bagi para calon penulis yang “idealis”. Yakin yang kekeh menggunakan kalimat bahasa baku. Terpaku pada kaidah keilmuan. Isinya pun menuntun masyarakat menjadi masyarakat berilmu.
Jadi, mari kita beli buku yang berkualitas. Kita buat bangga para penulis berkualitas. Kita baca buku yang beranekaragam. Agar tradisi menulis dan membaca di negeri ini tumbuh pesat dan menjadi kebutuhan hidup. Dengan bertambahnya buku yang beranekaragam maka peradaban bangsa ini akan jauh lebih baik. (Banjirembun/25/05/14)
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H