Reorientasi Pilpres 2014
Oleh: A. Rifqi Amin
Prolog
Pilihan Presiden merupakan ajang pesta demorkasi bagi rakyat. Dinamakan “pesta” karena yang didaulat menjadi raja dan penikmatnya adalah rakyat. Tidak hanya menikmati saat prosesnya saja, tapi yang lebih utama adalah menikmati hasil dari pilpres itu sendiri. Yakni, terpilihnya pasangan Presiden-Wakil Presiden yang berkomitmen, memenuhi janji, dewasa atau bijaksana dalam berpolitik-berdemokrasi, dan yang terpenting bisa membangun Indonesia menjadi negara yang sejahtera serta lebih maju.
Dari hal itu, bisa dikatakan pilpres bukanlah tujuan utama, tapi hanyalah salah satu cara atau alat untuk mendapatkan sesuatu yang berkualitas. Tidak lain untuk “menemukan” (mencari) kesejahteraan, kemakmuran, dan kemajuan dalam segala bidang bagi masyarakat Indonesia. Konsekuensinya, Presiden terpilih yang diberi mandat nanti dalam kacamata moral dan hukum berkewajiban menjadi pelayan bagi masyarakat. Itulah hal terpenting yang tak boleh dilupakan oleh Presiden terpilih.
Lebih lanjut, negara ini membutuhkan kedewasaan dan keberanian berpolitik Presiden, tidak hanya di dalam kandang saja tapi juga dalam lingkup pergaulan dunia Internasional. Pemimpin yang mampu mengantarkan negara Indonesia bersuara, berperan serta, dan berpengaruh secara strategis dalam kancah Internasional. Mengingat era globalisasi dengan beberapa turunannya sudah berada di depan mata. Misalnya perdagangan bebas, ancaman kejahatan cyber, dan koneksifitas antar negara yang semakin tinggi.
Dari kenyataan tersebut, Pilpres sebagai alat demokrasi harus dibuat, digunakan, dan dimanfaatkan secara benar. Sesuai dengan jargon yang diusung oleh KPU yakni pilpres 2014 yang “berintegritas dan damai.” Dari itu diharapkan akan diperoleh “proses dan hasil” Pilpres yang berkualitas, sehingga pelaksanaan pilpres tidak menyia-nyiakan anggaran negara, tenaga, harapan rakyat, dan pikiran yang dikeluarkan.
Dalam tinjauan apapun, menghemat atau menggunakan anggaran negara secara tepat adalah bentuk kepedulian pada rakyat. Bagaimanapun, anggaran tersebut adalah hak penuh rakyat, serta sebagian besar berasal dari rakyat. Oleh karena itu, wajar bila setelah pilpres 2014 yang dilaksanakan satu kali putaran ini, rakyat sangat berharap akan bernasib menjadi lebih baik.
Kesimpulannya, seharusnya kita sebagai rakyat tidak terlalu fokus pada siapa yang akan memenangkan pilpres tahun ini. Namun lebih fokus “menyusun” cara mengawal yang cerdas dan elegan terhadap pasangan Presiden dan Wakil Presiden terpilih bisa memenuhi janji-janjinya. Segera menyadarkan mereka dari uforia kemenangan untuk langsung membuat gebrakan, kebijakan, dan perubahan mendasar. Tidak lain demi mengeluarkan Indonesia dari “tradisi” lama yang buruk.
Tantangan dan Peluang Pilpres 2014
Pada pilpres kali ini memunculkan wajah calon presiden yang baru. Dengan itu harapan baru dari mereka mulai mengembang, bahkan over estimate (cara pandang yang berlebihan). Seiring banyaknya janji-janji yang telah disemaikan, terutama sesumbar akan membuat kebijakan baru yang lebih “menantang” dan wah.
Tak mengherankan bila ada dukungan secara membabi buta, loyalis, dan fanatis terhadap sosok calon presiden tertentu. Walaupun tak dapat dipungkiri ada loyalis yang sudah ancang-ancang sejak lama. Mendukung secara bulat dan kekeh pada capres tertentu, bahkan sebelum calon presiden tersebut dideklarasikan.
Di sisi lain, banyak masyarakat tidak peduli siapa yang akan memenangkan pilpres. Mereka mencoblos bukan karena fanatisme terhadap calon tertentu, tapi dengan rasionalitasnya ingin memberikan suara demi perubahan Indonesia. Bagi mereka siapapun yang terpilih bukan sebuah masalah, tidak akan membuat mereka kecewa, dan bersedih hati. Kehidupan yang aman, sejahtera, bahagia, dan bermartabat adalah keinginan mereka.
Sikap mereka tersebut bukan menandakan keegoisan, tapi mereka berusaha berbuat realistis. Bila perbuatan itu terpaksa harus dikatakan sebuah keegoisan, maka masih jauh lebih pantas untuk disematkan bagi mereka yang tidak mencoblos (golput). Tentu juga bagi mereka yang berbuat “nekat” dan sembrono demi mencapai keuntungan pribadi dan golongan. Misalnya melakukan kampanye hitam, melakukan tindakan anarkis, dan mengadu domba antar pendukung Capres-Cawapres.
Selain harapan baru, kekawatiran baru juga muncul. Betapa tidak, potensi disintegrasi bangsa terbuka lebar yang bermula dari pilpres tahun ini. Bila salah satu pasangan pilpres menang, sanggupkah pesaingnya untuk legowo bahkan mendukung secara moral pilpres yang terpilih. Alasannya, sampai sekarang belum ada satupun pasangan capres yang mau berjanji bila mereka kalah akan tetap membuat suasan bangsa ini damai dan aman.
Bagaimanapun, rasa kawatir masyarakat akan terjadi “kegagalan” pilpres adalah wajar. Bukan hanya gagal dari segi proses tapi juga hasilnya. Yakni, pilpres yang tidak menghasilkan Presiden handal dalam kepemimpin. Salah satu cirinya tidak mampu merangkul dan memperhatikan seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Mereoke, tak terkecuali satupun. Dengan kata lain, Pilpres kali ini jangan sampai mengasilkan suasana “horor” dan terkesan penuh ketegangan di mata masyarakat. Baik pada saat kampanye berlangsung sampai dengan proses kepemimpinan lima tahun kedepan.
Implikasi
Pilpres adalah wadah untuk menyeleksi figur pemimpin yang terbaik bagi bangsa. Bila cara penyeleksiannya baik dan cerdas maka akan diperloleh seorang pemimpin yang baik, begitu pula sebaiknya. Oleh karena itu, senyampang pilpres kali ini berkualitas maka siapapun yang memenangkannya semua masyarakat termasuk elite politik harus mendukung, paling tidak secara moral.
Sebaliknya bila pelaksanaan pilpres tidak berkualitas, ancaman terjadinya konflik tinggal menunggu waktu. Tidak hanya saat masa kampanye atau setelah pengumuman hasilnya saja, tapi juga dalam jangka panjang. Oleh karena itu, semua anak bangsa harus berkomitmen menjaga kedamaian Pilpres. Tentu terlebih dahulu harus dimulai dari pasangan Capres-Cawapresnya.
Dengan memilih Capres-Cawapres secara rasional dan menjaga suasana damai adalah salah satu cara bijak untuk menyukseskan pilpres kali ini. Yakni memilih pasangan sekiranya dipandang mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat dan setia pada kepentingan rakyat. Bukan memilih sosok pasangan yang pragmatis-oportunis, yaitu sebelum terpilih (masa kampanye) menjilat dan memuliakan masyarakat tapi setelah terpilih malah menjauh dari rakyat dan menjadikan dirinya sebagai raja.
Sedang untuk jangkauan jauh ke depan, momen pilpres kali ini diharapkan menjadi ajang pengkaderan dan pembelajaran yang cerdas bagi politisi muda. Bagaimanapun seorang pemimpin baik dan bijak adalah yang memberi kesempatan kepada generasi penerusnya untuk memimpin bangsa ini dengan lebih baik. Oleh karena itu, jangan didik genarasi muda untuk menggunakan cara yang kotor, mengajari mereka membenci pesaing politik secara subjektif, dan menciptakan suasana politik yang tidak kondusif.
Dengan itu diharapkan stigma baru dalam dunia politik akan muncul, yaitu politikus yang hebat bukanlah yang mampu membangun kekuatan untuk melanggengkan kekuasaan. Namun, sosok yang mampu menelurkan generasi unggul dan mampu membuat perubahan yang menggembirakan bagi masyarakat luas. Pada akhirnya, King Maker tersebut akan merelakan politisi yang lagi naik daun tersebut menjadi lebih baik dari pada dirinya. (Banjirembun/07/06/14).
Terjadikah dalam Pilpres 2014 ini kedua pasangan Capres-Cawapres saling merangkul, bersalaman, saling memuji, dan akan mendukung secara moral siapapun yang terpilih? Agar menjadi teladan bagi para masyarakat....
Semua dilakukan Demi Indonesia lebih baik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H