Mohon tunggu...
Bani Mansyur
Bani Mansyur Mohon Tunggu... -

Butuh terus memperbaiki diri

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Fatin Hanya Ingin Bernyanyi

9 Juni 2013   18:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:18 1752
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Siap-siap agan, tulisan ini agak panjang. Semoga gak keburu bosen sebelum selesai mebaca krn saya kesulitan memperpendek mengingat isinya yg menurut saya penting hehehe……

Semua pemerhati Fatin Shidqia Lubis mestinya masih ingat betul apa yang dikatakan gadis kecil ini. Di berbagai kesempatan ia mengatakan bahwa motivasi ingin ikut XFI adalah kepo. Ternyata arti kata ‘kepo’ itu ‘ingin tahu’, Fatin hanya ingin tahu dan membuktikan apakah suaranya yang sejak dulu dibilang ‘aneh’ oleh sebagian orang, dan kemudian mulai ada beberapa orang yang menyebut suaranya ‘unik’ itu pantas ikut ajang XFI. Buat orang seumuran saya yang rada kurang bergaul dan nonton TV, kata-kata ini terdengar aneh. Mungkin disamping ini bhs gaul khas anak ABG, ini juga hanya dimengerti oleh anak-anak sekitar Jakarta.

Uforia Fenomena Fatin ini luar biasa, bahkan seingat saya di beberapa tulisan kompasianer menyebut lebih heboh dibandingkan dengan fenomena Jokowi. Sejauh yang saya tahu alasan orang menyukai Fatin itu sangat beragam. Meskipun ini adalah kontes bernyanyi, tak dapat dipungkiri ini adalah juga aksi ‘teatrikal’ karena ditayangkan TV. Disamping itu, dalam perkembangan dunia menyanyi, kesuksesan seorang penyanyi memang sangat dipengaruhi aksi panggungnya. Dan mungkin kita masih sangat ingat bahwa raja dari kombinasi unsur bernyanyi dan aksi panggung adalah sang legenda ‘Michel Jackson’.

Dalam kontek XFI, semua penyanyi berusaha memadukan itu semua. Disamping diolah teknik vokalnya, mereka juga mempersiapkan dengan baik koreografinya. Kita mesti gak akan lupa dengan aksi panggung para ‘rocker’ seperti Isa Raja dan Alex Rudiyat. Maklum, rasanya garing saja mendengar lagu rock tanpa aksi panggung yang heboh, meskipun terkadang sebagian orang merasa aksinya ‘berlebihan’.

Inilah salah satu kata kuncinya, ‘berlebihan’. Berlebihan menurut siapa? Tentu saja menurut pemirsa TV, khususnya yang mau mengimkan sms. Kenyataannya apresiasi orang memang sangat beragam. Mungkin sebagian besar pemirsa menganggap ‘penampilan fisik’ Agus Hafiluddin dan Gede bagus dalam sebagian besar penampilan kita bisa anggap sebagai ‘penampilan’ yang baik dan bisa diterima, tetapi bukan ‘showbiz’ kalau tdk ‘nyeneh’. Ini kita temukan pada diri Isa Raja Lubis yang menggunakan ‘berkilo-kilo’ anting ditelinganya (maaf biar sedikit agak berlebihan hehehe).

Meskipun bukan hanya monopoli penyanyi wanita, tetapi sudah bukan menjadi rahasia lagi bagi kita bahwa rasanya sangat sulit menjadi terkenal bagi penyanyi wanita kalau tidak dibarengi dengan hal-hal yang berbau ‘kontroversi’. Untuk kontek XFI, hal ini bisa kita lihat dari ditampilkannya cerita-cerita individual sekitar peserta dengan tujuan apalagi kalau bukan untuk mendapatkan dukungan pemirsa.

Fatin, adalah fenomena unik di dunia showbiz. ‘Kok ada ya penyanyi pakai jilbab’? itu mungkin yang menggelayuti pikiran semua pemirsa, meskipun itu tidak sampai terucap dan hanya ada di bawah alam sadarnya. Yang kita tahu kan kalau penyanyi itu biasanya menggunakan pakaian-pakaian minim atau kalaupun ada kelebihan bahan, penggunaannya tidak umum seperti biasanya. Pokoknya pakaian mereka pastinya tidak layak digunakan saat belanja ke pasar, apalagi pasar tradisional hehehe. Jadi krn kiblat industry music itu memang bukan negara kita, maka meskipun kita ubek-ubek, mustahil menemukan penyanyi menggunakan jilbab sebagai contoh, ya normal saja hehehe.

Rupanya, inilah yang digunakan oleh sebagian besar ‘hater’ untuk ‘mencoba merebut’ keberhasilan Fatin menjuarai ajang XFI ini. Meskipun memang tidak salah bahwa sebagian pendukung dia memang menggunakan alasan ini sebagai factor tambahan untuk memilihnya, disamping factor-faktor yang lain.

Buat saya ‘motif’ para hater ini berlebihan. Penyanyi menggunakan aksesoris keyakinannya kok diprotes dan dijadikan alasan untuk degradasi keberhasilan juaranya. Bukankan pada lomba-lomba nyanyi sebelumnya semisal Idol dan XFI masyarakat kita ini sangat dewasa dan tidak pernah mempermasalhkan peserta lain menggunakan ‘salib’ sebagai aksesoris keagamaannya? Maaf agan-agan jangan ini dianggap soal sara, karena setahu saya, yang memprotes soal semacam ini juga datang dari kalangan orang islam juga kok.

Setiap kita penduduk negeri ini pasti ingin negeri ini menjadi lebih baik. Tidak hanya dari segi ekonomi dan pembangunan fisik lainnya, melainkan dari segi budaya, social dan tentu saja keagamaan. (kecuali kalau ada yang gak ingin hehehehe). Itulah sebabnya setidaknya tidak sedikit fans musisi besar sekelar Ahmad Dhani yang ‘lari setelah tahu dari media bagaimana sifat dan sikap yang dia pilih dalam kehidupannya. Demikian juga semakin banyak fans-nya grup band wali setelah mengetahui latar belakang mereka adalah ‘para santri lulusan IAIN’. Hal seperti sah-sah saja, wong gak ada yang maksa kok.

Jadi saya malah bergembira ketika tahu banyak orang semakin mengidolakan Fatin karena bernyanyi itu tidak harus meninggalkan identitas pribadi apalagi kebangsaan. Lebih bangga lagi saya saat mengetahui ketika sebelum tampil di salah satu acara yang ditayangkan TV, dia sempat protes karena mengganggap pakaian yang disediakan penyelenggara ‘terlalu mewah.. Buat saya, untuk ukuran anak umur 16 dan mulai menikmati kehudupan sebagai artis, sikap sederhana inilah yang saya sebut ‘MEWAH’. Yang bahkan sepengetahuan saya sikap seperti ini tidak dimiliki sebagian petinggi partai yang berasaskan Islam sekalipun.

Seperti yang saya pernah ramalkan hehehehe. Ini mungkin bukan ‘ujian’ terberat yang akan diterima Fatin, keluarga dan para fatinistic. Ujian itu muncul bak petir menyambar ketika kompasianer beken sekaliber agan Mukti Ali membuat artikel dengan judul yang ‘Megah’. Terus terang, saya sangat senang dengan tulisan ini. Bukan karena saya setuju isinya, tetapi karena hal ini memang mesti dipahami terutama oleh bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama islam.

Tidak hanya yang mendukung fatin, tetapi siapapun orang islam yang pernah mendengarkan / nonton baik langsung maupun lewat TV. Apalagi bagi penyanyi wanita atau bahkan muslimah yang pernah menyanyi (meskipun hanya di kamar mandi). Bukankah kita juga pernah mendengar bahwa bernyanyi itu haram, apalagi menggunakan alat-alat music semacam gitar, seruling dsb. Itulah sebabnya kemudian di kalangan ummat islam berkembang seni bernyanyi ‘akapela’ alias tanpa alat music. Bukankah pada awal kemunculannya, grup music Bimbo dianggap sebagian kalangan sebagai grup ‘haram’ karena menggunakan gitar dan kalau kita jeli menyimak model musiknya tidak lazim di kalangan ummat islam? Tetapi itu dulu, seiring berjalannya waktu, grup ini bisa membuktikan bahwa music mereka bisa diterima.

Saya sangat senang karena perkiraan saya agan Mukti Ali yang menulis artikel tadi adalah orang yang kapabilitasnya mumpuni. Setidaknya MA adalah alumni pesantren karena mengenal dengan baik kitab-kitab wajib mereka semacam kitab ‘jurumiyah’ dsb. Saya sebenarnya sangat berharap ada banyak orang pesantren yang mengupas soal ini biar menjadi lebih jelas. Saya yang tidak pernah belajar di pesantren mencoba menyumbang pikiran sepengetahuan saya. Meskipun begitu, saya tidak akan mengharapkan hal yang berlebihan soal ini. Kalaupun ‘orang-orang’ terbaik era keemasan kebangitan pemikiran islam di Indonesia semisal Nur Cholis Majid, Gus Dus hidup kembali dan disatukan dengan Cak Nun. Kang Jalal, Prof Dawam Raharjo dll membahas ini, saya pesimis akan dapat memuaskan semua penikmat music Indonesia yang mayoritas beragama Islam.

Dalam tulisannya agan Mukti Ali mengatakan ‘apakah ajaran agama Islam memperbolehkan seorang muslimah bernyanyi dan berjoget di depan jutaan pasang mata? Pertanyaan ini sepengetuhan saya  agak terbalik, bukankan dalam hal-hal yang berkaitan dengan muamalah kaidah yang seharusnya digunakan adalah ‘semuanya dibolehkan kecuali yang dilarang’? Meskipun dalam komennya agan MA menyertakan salah satu hadits tentang salah satu tanda-tanda akhir zaman adalah adanya ‘biduanita yg merajalela, tetapi hadits ini di’ralat sendiri’ atau paling tidak ‘dibatasi’ oleh beliau dengan mengutip pendapat ulama’ kharismatik’ Yusuf Qardawi yang membolehkan laki-laki dan perempuan bernyanyi dengan beberapa syarat, meskipun pendapat beliau ini tidak dihadirkan landasannya.

Itulah khasanah pemikiran dan pendapat di kalangan ummat islam. Mengenai hal ini, khususnya tentang music, saya ingat ketika Cak Nun menceritakan ada seorang santri ‘bertanya apakah music itu boleh? Sang kiyai menjawab ‘musik itu haram’, tetapi sang santri melihat kaki kiyainya mengetuk-ketuk mengikuti suara music yang terdengar sayup-sayup dari kejauhan. Hehehe.

Saya sepakat mengenai kehawatiran agan MA tentang beratnya pengaruh budaya yang tidak baik yang sedang mempengaruhi pergaulan pemuda-pemudi sekarang, memang menghawatirkan. Tetapi pendapat MA yang mempersoalkan Fatin yg bernyanyi di tengah-tengah penonton yang campur baur laki-perempuan’, membuat saya jadi bertanya-tanya, apa memang di tempat umum (kerumunan) laki dan perempuan memang ‘harus’ dipisahkan? Agan MA yang pernah ke kota Makkah Al-Mukarramah selama sebulan mesti tahu bahwa saat orang-orang melakukan Tawaf mengelingi Ka’bah, bukankah jama’ah laki dan perempuan tidak ada penyekatnya aliar campur baur. Saya tentu saja tidak hendak membenarkan campur baurnya penonton itu diikuti dengan interaksi yang yg dilarang syariat.

Fatin seorang memang mustahil bisa mengubah semua ‘kerusakan’ pergaulan akibat derasnya pengaruh industry hiburan ini. Buat saya paling tidak dia adalah pembeda dan memberi alternative lain bahwa menjadi penyanyi itu tidak harus meninggalkan prinsip-prinsip yang dianutnya. Seperti argument yang mempolehkan mencium tangan orang, setidaknya mereka mencium orang-orang ‘alim yang terpelihara dibandingkan mengidolakan artis yang secara moral tidak bisa dijadikan contoh.

Soal komentar agan MA tentang Fatin yang bermanja-manja di depan kamera dan berjoget, mungkin ini seperti argument ketua MUI Ust Makruf Amin saat mendukung pemberlakuan larangan wanita membonceng motor dengan duduk seperti laki-laki di Aceh. Memang dalam hal seperti ini batasan boleh tidaknya akan sangat bergantung pada persepsi yang dipengaruhi pengalaman pribadi masing-masing.

Akhirnya Fatin memilih bernyanyi dengan tanpa meninggalkan jilbab dan sederet kesederhanaan yang dia miliki. Semoga tetap istiqomah selamanya. Buat saya, apa yang terjadi dan telah menjadi pilihan Fatin, menjadi momen buat anak bangsa untuk ikut menikmati dan berkiprah di dunia music tanpa harus kehilangan identitas sendiri. Seperti imam kalijogo yang mengadopsi wayang sebagai alat untuk memperbaiki masyarakat dan juga seperti kebiasaan ummat NU mengadakan kegiatan tahlilan dengan mengubah esensi kegiatannya. Tentu saja pekerjaan semacam ini umurnya sepanjang umur generasi anak bangsa ini.

Pasti Fatin seorang mustahil melakukan itu semua tanpa adanya perubahan di tengah masyarakat itu sendiri. Trimakasih agan Mukti Ali atas pencerahannya. Dan maaf saya memang harus melihat profil agan sebelum membuat tulisan ini. Bukankan tabayyun (mencari info yg benar) itu tuntunan mulia yang diajarkan kepada kita? #Ting

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun