Mohon tunggu...
Ibnu Dawam Aziz
Ibnu Dawam Aziz Mohon Tunggu... lainnya -

pensiunsn PNS hanya ingin selalu dapat berbuat yang dipandang ada manfaatnya , untuk diri,keluarga dan semua

Selanjutnya

Tutup

Politik

KIH - Demokrat - KMP, Pilkada Langsung Versus Pilkada Tak Langsung, Semua Inkonstitusional

12 Oktober 2014   17:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:21 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar kreasi dari sumber yang  jelas.

KIH - Demokrat - KMP, PILKADA Langsung Versus PILKADA Tak Langsung, ternyata semua inkonstitusional.

Ulasan kali ini kita akan mencoba membahas dengan mengembalikan posisi Konstitusi sebagai ukuran tata nilai sebuah Undang-Undang. Manakah yang lebih sesuai dengan Konstitusi NKRI ?

Pembukaan UUD 45 dengan tegas mengamanatkan dalam alinea empat …………………. maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat

Yang kemudian bentuk Kedaulatan Rakyat dimaksud dijelaskan secara rinci melalui Sila ke empat dari Pancasila yang berbunyi : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Koalisi Indonesia Hebat dengan tanpa kompromi berargumentasi bahwa, mengembalikan PILKADA ketangan DPRD adalah merampas Hak Rakyat untuk memilih pemimpinnya. Sedangkan Koalisi Merah Putih setelah menunjukkan berbagai dampak negative dari PILKADA secara langsung kemudian berargumentasi Konstitusi mengamanatkan Permusyawaratan Perwakilan maka menyerahkan PILKADA ketangan DPRD selain mengurangi dampak Negative PILKADA secara langsung juga dianggap lebih Konstitusional.

PERPPU yang dikeluarkan Presiden SBY beralasan Demokrasi tidak boleh mundur PILKADA harus tetap ditangan Rakyat sedangkan dampak negative dari PLKADA Langsung diatasi dengan sepuluh perbaikan yang kemudian melekat dengan PERPPU yang menetapkan PILKADA secara langsung.

Pijakan pemikiran kaum Demokrat yang utama adalah mengedepankan NKRI sebagai sebuah Negara Demokrasi. Berpijak pada kalimat;

……….. maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu
Undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu
susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.

Kaum Demokrat menafsirkan Kedaulatan Rakyat adalah identik dengan Demokrasi yang berasal dari DEMOS dan Kratos ( Kreatein ), yang kemudian diartikan dengan Kekuasaan ditangan Rakyat, sehingga memasukkan nilai-nilai demokrasi secara mutlak dalam menafsirkan KEDAULATAN RAKYAT. Sedangkan sila ke empat yang berbunyi; Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan tidak lebih hanya masalah teknis dalam mewujudkan Kedaulatan Rakyat/Demokrasi.

Benarkah ?

Ada pertanyaan yang harus dijawab, mengapa kata Demokrasi tidak pernah muncul dalam Pembukaan UUD 45 maupun Batang Tubuh UUD 45 tgl 18 Agustus 1945 ?

Benarkah PILKADA tak langsung yang diusung oleh Koalisi Merah Putih lebih mencerminkan amanah Konstitusi berdasarkan sila ke empat Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan ?

Demos – Kratos yang menyuarakan Kebebasan - Kesetaraan – Persaudaraan ( Liberty - Egality – Fraternity ) yang kemudian memunculkan semboyan “ Suara Rakyat Suara Tuhan ”, ( Revolusi Perancis 1789–1799)sebenarnya adalah sebuah anti tesa terhadap tyrani kekuasaan Gereja bersama Kaum Bangsawan yang menempatkan Gereja dan Kaum Bangsawan adalah “Wakil Tuhan ” di Dunia dimana Rakyat harus tunduk secara totalitas. Pembangkangan terhadap Bangsawan dan Gereja diawali sejak Kekaisaran Romawi Suci. Pembangkangan atas Paus sebagai Wakil Tuhan oleh Martin Luther 1483 – 1546.

Demokrasi yang berkembang saat ini adalah yang diawali oleh Ravolusi Perancis dimana kaum BORJUIS menggunakan kaum Proletar untuk menggulingkan kekuasaan kaum Bangsawan bersama Gereja dengan mengembangkan niliai-nilai Kebebasan, Kesetaraan dan Persaudaraan yang sifatnya individualistic.

Bagaimana yang dimaksud dengan Kedaulatan Rakyat dalam Pembukaan UUD 45 ?

Alinea satu :

Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Alinea ini jelas mengedepankan Kemerdekan segala Bangsa atas penjajahan Bangsa lain. Bukan kemerdekaan individu atas kekuasaan individu atau kelompok individu yang lain seperti yang terjadi dalam Revolusi Perancis.

Rakyat Indonesia sebagai satu kesatuan Bangsa Indonesia menduduki tempat yang paling utama dan pertama diatas semua kepentingan. Bangsa Indonesia yang menyatu dalam satu sumpah persatuan yang dijiwai oleh semangat Sumpah Pemuda 1928 yang mencerminkan Persatuan dalam berbagai kebhinnekaan Suku, adat Budaya, Agama dan kepercayaan.

Secara tegas Konstitusi NKRI adalah Penganut faham Persatuan Kebangsaan dengan azaz Kekeluargaan. Dimana kebebasan individu ada didalam wadah dan naungan sebuah institusi sejak dari institusi keluarga, Keluarga besar, Suku, budaya adat, kepercayaan dan agama yang bersifat primordialistic. BUKAN INDIVIDUALISTIC yang menjadi azaz paling dasar dari nilai-nilai Demokrasi.

Maka terjawablah mengapa kata “Demokrasi” sama sekali tidak tertuang baik dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 45. Karena “Kedaulatan Rakyat” yang dimaksud dalam UUD 45 memang bukan dan tidak searti dengan DEMOKRASI.

Pengertian ini dijelaskan pula pada Sila ke empat yang berbunyi : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.

Dalam sila ini menunjukkan adanya Kedaulatan Rakyat yang tercermin melalui sebuah hikmat kebijaksanaan yang dilakukan melalui sebuah musyawarah antara para pemimpin yang mewakili / merepresentasikan kepentingan keluarga, keluarga besar, suku, budaya adat, agama dan kepercayaan merupakan Lembaga Tertinggi Negara.

Sekaligus membuktikan bahwa Konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia bukan penganut Trias Politica secara absolut. Akan tetapi menempatkan Kekuasaan Eksekutif, Legislatif dan Judikatif berada dibawah sebuah Lembaga Tertinggi yang merepresentasikan Kedaulatan Rakyat secara penuh melalui sebuah kebijaksanaan perwakilan.

Dari uraian diatas maka jelaslah bahwa Kedaulatan Rakyat yang dianut Konstitusi NKRI bukanlah identik dengan Demokrasi, maka pemilihan langsung oleh Rakyat baik itu Pemilihan Presiden apa lagi PILKADA termasuk amandemen UUD 45 yang menghapuskan Kedaulatan Rakyat melaui kebijaksanaan Perwakilan adalah memang bertentangan dengan konstitusi.

Kalau begitu apakah benar PILKADA tak langsung yang diusung Koalisi Merah Putih lebih Konstitusional ?

Sudah dijelaskan diatas bahwa Konstitusi NKRI yang tertuang dalam Pembukaan UUD 45 tidak menganut Trias Politica secara absolut. Akan tetapi ada LEMBAGA TERTINGGI yang menyatukan EKSEKUTIF, LEGISLATIF DAN YUDIKATIF, dimana LEMBAGA TERTINGGI itu harus merepresentasikan Kedaulatan Rakyat. Yang kemudian dijabarkan kedalam Batang Tubuh UUD 45 ( sebelum diamandemen ) dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Dengan menghapus kedudukan MPR sebagai Lembaga Tertinggi Negara melaui amandemen, maka tercabiklah Kedaulatan Raklyat oleh sebuah “PENGKHIANATAN“ terhadap Konstitusi yang merupakan Landasan Fundamental sebuah kesepakatan luhur Bangsa Indonesia dimana NKRI didirikan.

Sejak RUNTUHNYA Kedaulatan Rakyat oleh sebuah pengkhianatan Reformasi melalui amanden UUD 45, maka tidak ada lagi KEDAULATAN RAKYAT yang posisinya telah dikudeta oleh kepentingan demokrasi liberalistic. Seperti di Perancis bahwa Demokrasi sebenarnya hanyalah alat bagi kaum BORJUIS untuk menguasai Pemerintahan dengan membeli suara kaum PROLETAR kemudian mengatasnamakan suara rakyat sebagai suara Tuhan.

Bila Majelis Permusyawaratan Rakyat yang kekuasaannya telah dikudeta, bahkan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang beranggotakan DPR dan DPD saja belum mencerminkan Kedaulatan Rakyat karena sama sekali belum merepresentasikan suara rakyat, apa lagi hanya DPRD yang hanya beranggotakan elit politik Partai secara terbatas ( ingat ada parliamentary threshold ) berani mengatas namakan kepentingan Rakyat untuk memilih Kepala Daerah ?

Maka Pilkada secara tak langsung yang dilakukan oleh DPRD yang diusung Koalisi Merah Putih sebenarnya hanyalah sebuah arogansi Politik yang juga bertentangan dengan Konstitusi.

Seperti apa yang disampaikan oleh Bung Karno sang Proklamator bahwa Konstitusi tidak bisa diamandir maupun dimodulir, karena sebuah konstitusi merupakan satu perjanjian luhur para pendiri Negara yang merupakan satu kesatuan utuh atas latar belakang, alasan dan tujuan Berbangsa dan Bernegara. Maka melalukan amandemen, menambah maupun mengurangi maksud dari sebuah konstitusi adalah pengkhianatan terhadap konstitusi itu.

Pembukaan UUD 45 mengamanatkan Kedaulatan ada ditangan Rakyat dengan sila ke empat yang berbunyi : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, maka konsekuensinya adalah dibentuknya Lembaga Tertinggi Negara yang diwakili oleh para pemimpin yang betul-betul mewakili dan mereperesentasikan kepentingan Rakyat Indonesia seperti apa yang terjadi pada Sumpah Pemuda 1928, bukan hanya oleh Partai Politik.

Hanya Lembaga Tertinggi Negara yang mampu mencerminkan /merepresentasikan kepentingan Rakyat Indonesia yang pantas menetapkan Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan yang tidak akan melanggar konstitgusi. Begitu juga pada saat pemberian kekuasaan otonom kepada Daerah harus diikuti dengan adanya Lembaga Tertinggi Daerah yang mencerminkan /merepresentasikan kepentingan rakyat secara utuh. Lembaga ini pula yang layak menentukan Kepala Daerah, bukan hanya Lembaga Legislatif yang sama sekali tidak mewakili kepentingan Rakyat melainkan hanya mewakili kepentingan Politik sebagian dari rakyat.

Konstitusi memang tidak bisa diamandir maupun dimodulir akan tetapi justru bisa diganti bila dianggap perlu melalui satu kesepakatan luhur yang baru, yaitu saat kesepakatan Bangsa yang tercermin dalam Konstitusi dinyatakan tidak relevan lagi, seperti apa yang pernah terjadi di Afrika Selatan. Yang karena perjuangan Nelson Mandela Konstitusi Apartheid diganti dengan Konstitusi baru yang menghapuskan Apartheid.

Konstitusi NKRI juga bisa diganti bahkan bila akhirnya tidak terjadi kesepakatan baru yang mampu menyatukan NKRI dan membawa NKRI terpecah-pecah dalam banyak Kekuasaan Negara bila itu telah menjadi pilihan Rakyat Indonesia.

Salam Prihatin terhadap Konstitusi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun