Mohon tunggu...
Ibnu Dawam Aziz
Ibnu Dawam Aziz Mohon Tunggu... lainnya -

pensiunsn PNS hanya ingin selalu dapat berbuat yang dipandang ada manfaatnya , untuk diri,keluarga dan semua

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jokowi Melawan Banjir Jakarta Dibanding KPK Melawan Korupsi

9 Februari 2014   08:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:01 1273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1391910476638500309

Gambar kreasi pribadi dari berbagai sumber.

Jokowimelawan Banjir Jakarta dibandingKPK melawan Korupsi.

Saat ini ada dua hal besar yang sangat menjadi perhatian public. Yang pertama adalah Popularitas Jokowi dalam menangani Banjir Jakarta dan yang kedua adalah Popularitas KPK dalam memberantas Korupsi. Adalah dua hal yang muncul sebagai akibat“ KEBODOHAN” Pemerintah Republik Indonesia dan kepongahan yang terelibat untuk menangani.

Banjir dan Korupsi mempunyai penyebab yang sifatnya sama yaitu alirannya “ kecil” di hulunya akan tetapi menjadi “ PRAHARA”pada hilir berbatasan dengan muaranya. Akan tetapi dari dua hal tersebut mengandung perbedaan bahwa untuk banjir ada campiur tangan Tuhan didalamnya sedangkan untuk Korupsi murni ulah manusia.

Oleh karenanyaBanjir dan Korupsi, harus ditangani pada hulunya. Penanganan banjir dan Korupsi pada hulunya akan menelan biaya yang dapat diprediksi dan relative jauh lebih kecildengan apa bila ditangani pada saat banjir dan korupsi sudah menjadi ancaman bahkan sudah terjadi.

Program bebas banjir Jokowi, hanyalah sebuah retorika pencitraan diri dengan berbagai promosi pemangkasan system agar tampak “ BERBEDA” dengan alur pikir sebuah system yang sudah membosankan. Sedangkan gebrakan KPK hanya letupan-letupan kecil ditengah badai gurun. Seperti seekor singa diantara ratusan Banteng liar.

Tapi jangan salahkan Jokowi juga jangan salahkan KPK. Jokowi dan KPK hanya “KORBAN“ kebijakan Pemerintah yang tidak mempunyai VISI Ideologis dan Missi masa depan bangsa.Kebijakan Pemerintah Pusat yang hanya larut dan hanyut dalam arur Globalisasi tanpa kendali dan tanpa jati diri .

Banjir Jakarta, harus ditangani dari hulunya dan Gubernur DKI tidak mempunyai otoritas yang menjangkau kesana. Harga diri Otonomi Daerah membawa Gubernur Jawa Barat dan Gubernur DKI tak seorangpun yang mau turun gengsi. Siapa yang harus pegang kendali koordinasi? Gubernur Jawa Barat kah atau Gubernur DKI ? baru dalam tahap Koordinasi saja, harga diri telah menjadi penghalang. Tapi sekali lagi bukan salah mereka!

Salah Otonomi ?

Korupsi harus ditangani dari hulunya, dan KPK sama sekali tak akan pernah mampu bahkan sekedar menyentuhnya. KPK hanya akan mampu menyentuh seujung dampak Korupsi, yaitu sebentuk Gratifikasi. Memang hanya seujung kecil Gratifikasi yang dapat ditangkap KPK. Sedangkan Tindak Pidana Pencucian Uang yang sampai ke KPK hanya sisa-sisa, remah makan siangBPK dan PPATK. Begitu garangnya KPK sebagai lembaga Super Body yang diorbitkan oleh Massmedia. Pada kenyataannya KPK hanya singa garang yang terantai di kebun binatang, yang akan mencakar pengunjung yang berani mendekatinya.

Berbekal TPPU, KPK menyongsong arus hukum keluar dari pakem bahwa TPPU adalah TINDAK PIDANA IKUTAN, sebuah tindak pidana yang keberadaannya didahului oleh tindak pidana lain.

Berdasarkan UU No : 8 th 2010 Tentang PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Pasal 69

Untuk dapat dilakukan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak pidana Pencucian Uang tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu tindak pidana asalnya.

Menjadikan penegakkan Hukum menjadi carut marut dan merupakan sumber bencana Hukum di Indonesia. Bak melapaskan seekor singa di Kebun Binatang.

Juga jangan salahkan KPK karena memang system hukumnya yang carut marut. Satu Undang-undang yang dibuat hanya berdasarkan nafsu syahwat kekuasaan semata.

Korupsi harus ditangani dari hulunya, tapi adakah kemauan Presiden ?

Korupsi TIDAK PERLU DITANGANI OLEH SEBUAH LEMBAGA SUPERBODY KPK.Untuk menekan Korupsi sampai ke titik terendah, tidak Perlu ada KPK yang merupakan Lembaga overlapping dalam system penegakkan Hukum di Indonesia, yang diperlukan adalah penyumbatan hulu berbentuk bukan sekedar Lembaga ad Hock, tapi sebuah Lembaga Pemberdayaan Aparatur Negara yang menyeluruh dengan sebuah system pengawasan melekat yang terbaik, kontinyu dan berkesinambungan, dengan melakukan pembatasan hak sipil Aparat Negara.

Pembatasan terhadap Hak Sipil Aparat Negara BUKAN PELANGGARAN HAK AZASI MANUSIA, karena menjadi Aparat Negara itu pilihan, BUKAN KEWAJIBAN.

Beranikah Presiden membatasi hak sipilnya ?

Itulah satu keputusan akan adanya sikap politik pemerintah yang sangat mendasar, yaitu PERUBAHAN PARADIGMA..Mengubah Paradigma yang mendasari pemikiran Menjadi Aparatur Negara untuk kaya harus diubah menjadi Aparat Pemerintah itu panggilan satu pengabdian masyarakat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun