PILPRES 2019 MEMADUKAN NASIONALISME DENGAN ISLAM.
Menyongsong Sosok Pemimpin NKRI 2019 memang dihadapkan pada pilihan yang dilematis, peranan Penguasa Modal yang hampir tidak terlawan oleh kekuatan apapun dengan sangat dominan, menghadang sosok pemimpin yang dalam hati masyarakat Indonesia dianggap sosok yang baik. Ternyata Pemimpin yang baik tidak mendapat jaminan bahwa ia akan memiliki elektabilitas yang tinggi.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Indonesia yang MULTI ETNIS akan membawa pada etnis dominan akan mendapat dukungan paling kuat dalam PILPRES. Sementara mayoritas Umat Islam masih belum menerima dengan ikhlas dipimpin oleh Non Islam. Mencari sosok pemimpin yang layak dipasangkan sebagai pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden 2019 tidak akan pernah bisa diselesaikan dengan bepijak pada satu sudut pandang.
Sebagai Muslim yang baik, mengharapkan sosok pemimpin Muslim yang memenuhi syarat sebagai Pemimpin Islam di Negeri ini akan mendapat tantangan dari lebih 60 % pemilih Negeri ini yang sebagian besar masih Islamophobia bahkan dari kalangan umat Islam sendiri. Akan tetapi dukungan etnis mayoritas telah membuktikan selama beberapa dekade selalu memenangkan pemilihan Presiden di Negeri ini.
Saat kita mencari sosok Nasionalis yang teruji mampu melawan dominasi kekuatan modal, maka hanya akan muncul satu nama yang telah teruji berani melawan kekuatan modal yang dikuasai etnis minoritas pendatang. Adalah Sri Sultan Hamengku Buwono yang secara tegas berani melarang tanah Yogyakarta untuk dimiliki etnis minoritas pendatang. Sekaligus Sultan Yogya ini akan mendapat dukungan mayoritas Etnis Jawa yang menduduki 40,22 % dari seluruh jumlah penduduk yang ada di Indonesia.
Akan tetapi penempatan Sri Sultan yang mempunyai Nasionalisme yang teruji dan dukungan etnis mayoritas melampaui Tokoh Nasional etnis Jawa siapapun juga. Akan mengecewakan kalangan Islam puritan yang masih mempunyai kekuatan 41,09 % dimana 8,08 % masih belum menerima pola pemilihan Pemimpin secara demokratis.Â
Bila kita melihat Sosok Islam yang muncul ke permukaan, maka kita tidak bisa mengabaikan nama Muhammad Zainul Majdi  yang lebih dikenal dengan nama Tuan Guru Bajang. Nama ini cukup melambung tapi sayangnya dia bukan lahir dari Etnis Jawa, sehingga dia hanya akan mendapat dukungan dari Etnis Jawa yang juga bagian dari kalangan Islam militant, sayang angkanya tidak terlalu besar diperhitungkan kurang dari 10 %.
Menakar kekuatan Calon Presiden 2019, maka ada satu calon yang sudah pasti dicalonkan oleh kalangan Penguasa Modal yang berasal dari etnis mayoritas suku Jawa, yaitu calon petahana Presiden Jokowi. Dari sana Calon Petahana ini akan menjadi alat ukur, siapa yang mempunyai kans untuk melampaui elektabilitas calon Petahana dipasangkan dengan siapapun juga.
Maka nama-nama yang mencuat kepermukaan adalah Prabowo Subianto, Gatot Nurmantya, Tuan Guru Bajang. Dari nama-nama tersebut dua nama yaitu Prabowo Subiyanto maupun Gatot Nurmantyo mempunyai latar belakang elektabilitas yang sama dengan calon petahana dimana sudut pandang elektabilitasnya sangat ditentukan oleh tata nilai dalam paradigm Pragmatis Rasional.Â
Artinya, siapa menang siapa kalah akan sangat ditentukan oleh kekuatan kampanye yang juga didukung oleh biaya kampanye. Sedangkan Tuan Guru Bajang adalah satu-satunya yang mencuat keluar dari Pragmatis Rasional masuk kedalam kancah paradigma Idealis Rasional. Sayangnya kalangan Idealis Rasional itu angkanya tinggal dibawah 30% dari jumlah pemilih yang mayoritas Pragmatis materialistic.
Dari hasil survey dukungan fanatic Presiden Jokowi adalah 80 % dari suku Jawa atau sekitar 32 % dari pemilih, untuk menang Calon Petahana tinggal mencari dukungan kalangan pragmatis materialistic sebesar 19 % dan itu sangat mudah dicapai. Siapapun calon yang dihadapi Presiden Jokowi.