Gambar Kreasi dari berbagai sumber.
Kasus – kasus tangkap tangan yang dilakukan KPK merupakan babak baru pembuktian dalam khasanah masyarakat Hukum di Indonesia. Langkah–langkah yang dilakukan untuk membendung maraknya tindak pidana Korupsi, suap dan gratifikasi yang berlindung dibalik benteng pertahanan Hukum Acara yang dijaga ketat oleh para pengacara brilian itulah yang harus ditembus.
Kasus “Tangkap-Tangan”- pun dirancang bermodalkan penelusuran arus transaksi keuangan mencurigakan melalui PPATK kemudian ditindak lanjuti dengan penyadapan pembicaraan telepon maupun BB. Harus diakui begitu sulitnya menyelamatkan barang bukti adanya suap/gratifikasibila tidak disaksikan langsung atau barang bukti dalam hitungan detik sudah berada ditangan penerima suap, itu artinya KPK sudah kehilangan hak untuk melakukan penggeledahan, untuk mencari barang bukti sebagai persyaratan TANGKAP TANGAN. Artinya pintu masuk telah tertutup. Begitu kuat tembok pertahanan pelaku suap/gratifikasi yang dijaga oleh Pengacara Handal.
Itulah mengapa setiap kasus tangkap tangan selalu dibantah, bahwa itu bukan peristiwa tangkap tangan. Tertangkapnya barang bukti yang masih berada ditangan pemberi dikaitkan dengan janji yang terekam bahwa pemberi akan meyerahkan senilai uang pada calon penerima pada waktu dan tempat yang dijanjikan dijadikan dalil baru untuk mencukupi syarat tangkap tangan.
Hal ini pula yang membedakan antara tidak Pidana Korupsi yang informasinya didapat dari AUDIT BPK yang tidak ada peristiwa tangkap tangan, maka penahanan terhadap tersangka harus melalui prosedur Hukum Acara TIPIKOR. Bahwa terhadap tersangka Tindak Pidana Korupsi maupun Tindak Pidana Suap/Gratifikasi dikaitkan pula dalam TPPU adalah salah satu hal yang harus diapresiasi, selama dilakukan melalui prosedur hukum yang jelas. TPPU selamanya tidak akan pernah bisa berjalan sendiri, karena TPPU adalah Tindak Pidana yang pasti didahului oleh tindak pidana yang menyebabkan munculnya TPPU. ( Predicate Crime )
Lolosnya kriteria baru tentang “ tangkap tangan “ yang membingungkan masyarakat peduli hukum menjadi kewajiban KPK untuk menjelaskannya. Memasukkan janji yang terekam dan menyatukan dengan sesuatu yang dijanjikan menjadi bukti hukum, mempunyai banyak kelamahan. Akan tetapi merupakan satu lompatan Hukum yang diharapkan mampu meredam perkembangan modus pelaku TIPIKOR itu sendiri.
Masalah yang sebenarnya muncul adalah, apa yang dilakukan KPKbaik dalam Kasus tangkap Tangan Suap/Gratifikasi maupun sangkaan Tindak Pidana Korupsi, keduanya hanya bisa terjadi dengan menggantungkan pada informasi awal tentang adanya transaksi mencurigakan yang disampaikan PPATK mupun hasil temuan BPK. KPK yang nyaris SUPER BODY ternyata hanya tergantung pada pembawa informasi. Mengingatkan kita pada seokor anjing pelacak yang terbaik.
Anjing pelacak yang terlatih akan menemukan jejak dari apa yang tercium, yang merupakan perintah dari si pawang untuk menemukan bau yang sama dengan bau yang disentuhkan kemoncongnya. Anjing Pelacak akan menelusuri bau yang diciumkan di TKP awal untuk dikejar kearah mana bau itu bersembunyi. Jangan harap sipelaku dapat lolos, karena anjing pelacak yang baik mempunyai kemampuan untuk mencium bau si pelaku walaupun bersembunyi dengan mengubur diri, atau memanjat pohon tinggi. Anjing pelacak akan dengan garang berusaha menerkamnya.
Keselamatan pelaku sangat tergantung pada “ maunya “ si Pawang. Hanya dengan menyentuhkan bau lainnya, kemoncong si Anjing Pelacak, maka anjing pelacak sudah akan berganti sasaran. Sang pawang hanya butuh seekor kambing hitam untuk mengalihkan perintah kepada anjingnya. Siapa si “PAWANG”, yang mampu mengendalikan Anjing Pelacak ?
Si Pawang, adalah sekumpulan pawang yang bertengger pada kursi kekuasaan kerajaan politik yang memutuskan berdasarkan deal-deal melalui berbagai transaksi jual-beli dan kekuatan tawar (Bargaining Power) untuk menentukan siapa yang harus dikorbankandan batas-batas yang boleh dilakukan oleh si pawang pelaksana.
Kenyataan inilah yang akan membawa rakyat Indonesia menjadi frustrasi ( Frustasi ) ternyata KPK sebuah lembaga yang nyaris SUPER BODY dan yang menjadi tumpuan terakhir kepercayaan rakyat tehadap penegakkan Hukum di Indonesia ini tinggal impian. Ternyata tak satupun kasus Korupsi / Suap / Gratifikasi sejak kasus Gayus, Nazaruddin, Century, Hambalang, LHI dan kini Akil Moehtar akan selesai sampai tuntas. Karena peradilan TIPIKOR sendiri telah membatasi gerakan KPK sesuai dengan hasil kesepakatan yang dicapai DALAM DEAL-DEAL KERAJAAN POLITIK tentang siapa yang boleh dilacak, ditindak dan sampai batas mana si “PAWANG “ harus menghentikannya. Itulah mengapa setiap yang tertangkap merasa di “KORBANKAN “ dijadikan pemutus rangkaian jaringan yang menghubungkan dirinya selaku pelaku tindak pidana menjadi semakin kusut dengan kekuatan yang bertengger dalam kerajaan Politik, sampai tidak bisa terurai.
Kita harus sadar bahwa selama system kekuasaan tidak diubah, kita tidak bisa berharap banyak terhadap KPK.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H