Mohon tunggu...
Ibnu Dawam Aziz
Ibnu Dawam Aziz Mohon Tunggu... lainnya -

pensiunsn PNS hanya ingin selalu dapat berbuat yang dipandang ada manfaatnya , untuk diri,keluarga dan semua

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Jawaban Saya Dizolimi Jokowi! Ada Apa di Balik Lelang Jabatan?

27 Maret 2014   17:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:24 2805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13958898961714127093

Gambar Kreasi dari sumber : nasional.inilah.com  - kompasiana.

Jawaban Saya Dizolimi Jokowi! Ada apa dibalik lelang jabatan ?

Lelang jabatan merupakan satu jalan pintas untuk memutus rangkaian System yang sudah terbentuk berdasarkan undang-undang. Undang –Undang telah mengatur hirarkikepangkatan dan penempatan dalam jabatan seorang Pegawai Negeri Sipil. Sayangnya aturan yang sudah sangat baik itu hampir tidak pernah dijalankan oleh jajaran birokrasi selama ini.

Lebih parah lagi akibat diberlakukannya OtonomiDaerah langsung dimasukkan kedalam UUD 45 hasil amandemen, memberikan kewenangan tak terbatas kepada Kepala Daerah untuk mengatur sendiri tentang penempatan Pegawai Negeri dalam jajaran birokrasi Pemerintah Daerah diwilayahnya.

Hal inilah yang menjadikan profesionalitas jajaran Birokrasi menjadi tidak jelas, penempatan pejabat teras pada jajaran Pemerintah Daerah akan sangat didasarkan pada like and dislike, apa lagi sangat sarat dengan kepentingan politik dan balas jasa.

Lelang Jabatan yang dilakukan oleh Pemda DKI, dimaksudkan sebagai satu inovasi merupakan jalan keluar atas kebuntuan system Penilaian dan Pembinaan karier Pegawai Negeri Sipil. Akan tetapi Lelang Jabatan itu berarti satu rekruitmen ulang terhadap PNS yang berbenturan dengan Norma yang terkandung dalam system pembinaan Pegawai Negeri Sipil yang hanya mengenal satu kali rekruitmen yaitu saat Penerimaan Pegawai Negeri Sipil. Sedang penempatan seorang Pegawai Negeri Sipil dalam jabatan merupakan satu bentuk penghargaan atas prestasi berkelanjutan seorang Pegawai Negeri Sipil.

Lelang Jabatan akan memutus keberlanjutan pembinaan atas Pegawai Negeri Sipil yang akan megorbankan jenjang karier dan prestasi seorang PNS yang sebenarnya mempunyai persyaratan memadai untuk meniti jenjang kariernya pada jabatan yang lebih tinggi, atau dengan kata lain seorang PNS yang bekerja dengan prestasi baik akan kehilangan haknya untuk mendapatkan penghargaan berupa penempatan pada jabatan yang seharusnya diterima hanya karena kalah nilai dalam rekruitmen ulang yang standar penilaiannya ditentukan oleh kekuasaan Kepala Daerah, bukan berdasarkan system pembinaan karier PNS. Hal inilah yang kemudian akan menimbulkan rasa kecewa dan ketidak percayaan atas pola kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur yang akan dinilai sarat dengan kepentingan politik.

Lelang Jabatan memang dilakukan oleh sebuah Tim yang dibentuk oleh Gubernur DKI, walaupun kalau melihat rekam jejak dan kiprahnya selama ini, kebijakan Lelang Jabatan di Pemda DKI tampak sangat diwarnai dengan pola analisa seorang auditor yang melekat pada sosok A Hok. Lelang jabatan dimaksud untuk menghilangkan kesan like and dislike yang selama ini selalu mewarnai perilaku Kepala Daerah dalam menetapkan Pejabat Teras pasca PILKADA dengan mutasi besar besaran sebagai balas jasa. Kesan inilah yang ingin ditunjukkan bahwa mutasi yang dilakukan dalam jajaran birokrasi di DKI berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Kepala Daerah lain yang hanya berdasarkan senang dan tidak senang dan atas sebuah perhitungan balas jasa. Akan tetapi di DKI melakukan satu proses mutasi jabatan dengan nilai yang terukur melalui satu metode Lelang Jabatan.

Kesan yang ingin ditonjolkan Jokowi/A Hok adalah DKI berbeda dengan daerah yang lain, DKI mempunyai sebuah metode yang terukur dalam membenahi Birokrasi, berbeda dengan Kepala Daerah lainnya yang tidak mempunyai pola yang terukur dalam menempatkan seorang PNS dalam jabatan Birokrasi.

Kalau kemudian muncul kontroversi lelang Lurah Susan dan pernyataan didzolimi seorang Bambang Muhadi dalam pelaksanaan lelang jabatan (baca di sini).

Sebenarnya tidak lepas dari satu paradigma yang sekarang sedang dibangun secara massif dan konstruktif yang dimasukan dalam satu system birokrasi adalah program kesetaraan gender dan peranan minoritas. Pembatasan minimal 30% adalah perempuan bagi calon anggota Legislatif yang diusulkan oleh Partai Politik adalah salah satu bentuk nyata yang tampak secara transparant, yang akan berlanjut pada pemberian bobot dua sampai tiga kali lebih besar bagi seorang perempuan dibanding laki-laki setelah melalui seleksi kompetensi pada nilai yang sama.

Sedangkan pemberian kesempatan kepada Minoritas untuk mengimbangai system Demokrasi mayoritas adalah dengan memberi bobot lebih besar pada kalangan minoritas dalam tiap satu seleksi. Besarnya “Bobot” inilah yang tidak akan pernah dibuka secara transparent pada pelaksanaan Lelang Jabatan yang berlaku di DKI. Besarnya bobot inilah yang ditentukan oleh Jokowi /A Hok kedalam TIM lelang jabatan Pemda DKI.

Pemberian Bobot inilah pula yang menjadikan Lurah Susan melampaui calon lain dan yang juga dirasakan menghambat perjalanan karier seorang Bambang Muhadi.

Satu contoh :

Bila ada dua orang yang mempunyai nilai kompetensi seimbang, seperti apa yang diangkat oleh Sdr. Bambang Muhadi dalam tulisannya “ Saya dizolimi Jokowi “ dengan memperbandingkan nilai kompetensi yang diperoleh seperti dibawah ini yaitu :

63

152777

BAMBANG MUHADI

193

MS

112

150537

RETNO LISTYARTI

185.75

CMS

Kemudian bila dalam pembobotan nilai :

Sangat Memenuhi Sarat dengan bobot 3

Memenuhi Sarat dengan bobot 2

Cukup Memenuhi Sarat dengan bobot 1

Yang akan diloloskan pasti adalah Sdr. Bambang Muhadi bukan Retno Listyarti.

Tapi bila ada bobot gender :

Laki-laki bobotnya 1

Perempuan bobotnya 2

Maka yang terjadi adalah nilai imbang sama-sama mempunyai nilai 3

Kemudian bila ada bobot berikutnya, yaitu :

Kalangan mayoritas bobotnya 1

Kalangan Minoritas bobotnya 2

Maka jumlah akhir adalah : Bambang Muhadi nilainya 4 sedangkan Retno Listyarti ( bila ia minoritas seperti Lurah Susan ) maka nilainya menjadi 5.

Nilai bobot yang saya angkat ini bukan yang sebenarnya hanya contoh yang mendasari sebuah penilaian. Yang sudah pasti adalah :

Bobot gender, perempuan sekian kali lebih besar dari Laki-laki. Kemudian minoritas pasti diberi bobot juga sekian kali lebih besar dari mayoritas, dengan alasan untuk kesetaraan. Karena kalau tidak diberi bobot lebih, minoritas selamanya tidak akan pernah dapat berperan dan akan terjadi tyrani mayoritas. Berapa tepatnya tanyakan pada yang membuat kebijakan. Di sinilah letak permainan kepentingan yang sebenarnya. Ini pula yang menjadikan satu nilai subyektivitas masuk ke dalam satu system penilaian secara legal. Kebijakan pemberian bobot inilah merupakan pintu masuk ke arah keberpihakan. Pemberian bobot ini pula akan menunjukkan keberpihakan seorang pengambil keputusan.

Itulah mengapa kekuasaan senantiasa diperebutkan sebagai kuda tunggangan penguasa modal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun