Mohon tunggu...
Ibnu Dawam Aziz
Ibnu Dawam Aziz Mohon Tunggu... lainnya -

pensiunsn PNS hanya ingin selalu dapat berbuat yang dipandang ada manfaatnya , untuk diri,keluarga dan semua

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Manajemen Main-main (Playfulness Management) Presiden Jokowi

14 Februari 2015   15:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:12 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gambar kreasi dari sumber-sumber yang jelas.

Manajemen main-main ( playfulness management ) Presiden Jokowi.

Kalau Manajemen Konflik yang dikembangkan Presiden Saddam Husein dalam konflik perang Irak- Iran mampu membawa pemerintahan Presiden Saddam bertahan sampai berpuluh tahun yang kemudian juga dilaksanakan oleh Presiden Soekarno dengan slogan Ganyang Malaysia, adalah satu kenyataan bahwa berperang melawan musuh dapat menyatukan emosi rakyat untuk bersatu mendukung Pemerintah.

Dalam masa Rezim Soeharto, “ Manajemen Konflik” tetap dikembangkan denganmengubah konflik eksternal kedalam konflik internal yang kemudian penulis namakan “Management Mafioso” yang mampu membawa Rezim Soeharto bertahan sampai lebih dari tiga dasa warsa.

Managemen konflik yang oleh Soeharto telah dikembangkan menjadi Managemen yang saya namakan managemen mafioso, merupakan satu kekuatan sentral pengendalian system pemerintahan yang berbasiskan informasi intelijen. Soeharto sebagai seorang ahli strategi tidak akan pernah menaruh kepercayaan penuh, bahkan terhadap orang yang paling dipercaya sekalipun. Soeharto selalu menempatkan orang lain yang bisa langsung berhubungan dengan dirinya untuk mengamati orang kepercayaannya tersebut.

Dipetik dari :

http://birokrasi.kompasiana.com/2011/02/10/bom-waktu-yang-ditanam-soeharto-meledak-di-pangkuan-sby-2-managemen-mafioso-yang-ditanamkan-soeharto-membelenggu-sby-341098.html

Bila kemudian Gus Dur juga mengembangkan manajemen konflik dalam bentuk yang lain, akan tetapi kemudian gagal dan terpaksa harus lengser ditengah jalan ditikam dari belakang oleh kawan seiring. Konflik yang diciptakan justru membawa pada konflik internal yang tidak bisa dikendalikannya.

Berbeda dengan system manajemen yang berhasil dekembangkan oleh Rezim SBY, dalam ujud Manajemen Keseimbangan (manajemen anti konflik) yang juga mampu membawa pemerintahannya bertahan sampai dua periode, keseimbangan yang tidak pernah bisa mencapai pada satu pilihan memihak, selalu menempatkan diri pada tengah-tengah kepentingan sampai menimbulkan opini sebagai Presiden Peragu yang akhirnya dikenal dengan manajemen “auto pilot “ yang memang hanya bertujuan ingin memuaskan kepentingan berbagai pihak yang tidak mungkin terpuaskan. Akan tetapi bagaimanapun, Presiden SBY memang telah berhasil mengembangkan sebuah system manajemen “ anti konflik “ dalam pemerintahannya yang merupakan antitessa dari manajemen konflik, para pendahulunya.

Bagaimana dengan Presiden Jokowi ?

Manajemen Pemerintahan Jokowi semula dipersiapkan oleh para “pemikirnya” sebagai anti tessa dari system manajemen anti konflik SBY.

Revolusi mental, Kabinet Ramping Professional dan tidak bagi-bagi kekuasaan adalah slogan yang dikumandangkan sebagai landasan kerja Rezim Jokowi.

Dalam seratus hari pemerintahan Rezim Jokowi, semula sangat susah melihat pola manajeman apa yang dicoba untuk dikembangkan, akan tetapi dari berbagai perilaku yang tampak tidak mengenal sebuah system manajemen, selain semangat kerja yang dipompakan tanpa arah, baru kemudian dapat dilihat adanya keinginan untuk keluar dari tekanan berbagai kekuatan pendukung, memunculkan sebuah bentuk “Khas Manajeman Jokowi “ dengan berbagai tindakan yang sangat tidak lazim dilakukan antara lain :

Bahwa ternyata “Revolusi Mental” yang didengungkan adalah Revolusi Mental tanpa konsep. Tidak jelas sama sekali, “Revolusi Mental” macam apa yang dikehendaki. Kalau dibandingkan dengan jaman Bung Karno ada satu konsep yang jelas berdasar pada Manipol Usdek yang dijabarkan dalam berbagai tulisan secara jelas, kemudian dalam masa Rezim Soeharto, walaupun merupakan sebuah pelanggaran terhadap Konstitusi, akan tetapi konsepnya adalah sangat jelas menjadikan Pancasila sebagai azaz tunggal dan dijabarkan dalam bentuk butir-butir Pancasila, maka “Revolusi Mental” Presiden Jokowi tanpa konsep sama sekali.

Kabinet Ramping Professional tanpa bagi-bagi jatah kekuasaan ternyata juga hanya slogan kosong belaka, Presiden Jokowi sama sekali tidak mampu mempertahankan apa yang pernah dikatakan dan hanyut dalam tekanan kekuatan Partai Politik Pendukung.

Kekuatan “Trio Macan” telah mampu mengatur segalanya yang berakhir pada sebuah konflik internal karena bagi-bagi kekuasaan yang dirasa kurang memuaskan bagi kepentingan Ibu Suri. Setelah PT Surya Energi Raya mendapatkan Cina Sanangol disusul oleh PT Adiperkasa Citra Lestari mendapatkan jatah Mobil Nasional bekerja sama dengan Proton Malaysia, maka tampak nyata kepentingan dibalik bagi-bagi kekuasaan yang sesunggunya.

Konflik yang sesungguhnya menyeruak akibat manajemen main-main Jokowi dalam upaya melibatkan KPK untuk keluar dari tekanan. Hak prerogative seorang Presiden dikorbankan, dimana Calon Menteri harus mendapat restu dari KPK lebih dulu. Inilah awal blunder yang dilakukan Presiden Jokowi, bahwa ternyata Presiden Jokowi tidak mampu mempertahankan kepercayaan KPK dengantetap mengangkat Calon Menteri yang sudah ditandai oleh KPK. Kepercayaan “main-main” terhadap KPK oleh Presiden Jokowi telah menyinggung martabat KPK, adalah lain apa bila permintaan rekomendasi terhadap KPK dilakukan Presiden Jokowi dibalik layar.

Konflik sampai puncaknya saat Presiden Jokowi bermain-main dengan hukum dan keluar dari rel konstitusi. Pemberhentian Kapolri secara terpisah dengan penunjukan Kapolri pengganti, dengan membiarkan Wakapolri sebagai PLT, yang seharusnya tidak dilakukan, akhirnya berbuntut panjang saat kemudian Kapolri pengganti yang ditunjuk mendapatkan status hukum sebagai tersangka oleh KPK.

Masalah Kapolri sebenarnya tidak akan berbuntut panjang, bila Presiden Jokowi mengerti dan punya keberanian. Presiden Jokowi seharusnya segera malantik Kapolri setelah lolos fit and propertest DPR, maka masalah konstitusi telah selesai. Bila kemudian Presiden Jokowi memberhentikan sementara Kapolri karena kasus hukum yang dihadapi, kemudian baru menetapkan Wakapolri sebagai PLT, itu adalah hak prerogative seorang Presiden. Bahkan bila dengan alasan yang sama Presiden Jokowi kembali memberhentikan Kapolri dan mengganti dengan Kapolri yang baru sesuai prosedur yang ada.

Dari serentetan kejadian yang terekam selama seratus hari Pemerintahan Presiden Jokowi, tampak bahwa Presiden Jokowi tidak sedang dengan serius menangani semua permasalahan melainkan tampak sedang bermain-main dengan permasalahan yang dihadapi. Apakah permasalahan yang ada akan dapat diselesaikan dengan bermain-main ?

Adalah bermain loncat-loncat itu yang sedang dilakukan Presiden Jokowi. Berloncatan memilih potongan puzzle yang tepat sebagai jawaban persoalan yang dihadapi, itu yang dapat dan telah dilakukan Presiden Jokowi selama ini. Satu tindakan yang sangat tidak lazim dilakukan oleh seorang Kepala Negara.

Semoga playfulness management ( manajemen main-main ) Presiden Jokowi dapat mengantarkan Presiden Jokowi bertahan dalam lima tahun masa pemerintahanya atau main-main itu selesai karena tidak menemukan potongan puzzle yang tepat sebagai jawaban permasalahan yang dihadapi.

Salam prihatin untuk playfulness management ala Presiden Jokowi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun