Sepanjang hari ini, entah mengapa aku memikirkanmu Pak,.rasa takut, bangga, malu, senang, semuanya menjadi satu dalam ruwetnya pikiranku. Aku takut kehilanganmu, Pak. Bagaimana tidak, rambutmu yang dulu hitam pekat sekarang kian memutih, gigimu yang dulu putih bersinar, sekarang tinggal sedikit, entah berapa itu, aku tak tahu,,yang jelas,,gigi depanmu tampak sudah banyak yang tumbang, bisepmu yang dulu tampak gempal, sekarang mulai mengerut. Padahal, kau masih muda, Pak. Belum juga 60 tahun, tapi sudah banyak orang yang memanggilmu, mbah, nang, atau kung. Lagipula, kau juga belum punya cucu kandung, Pak. Aku bertambah takut ketika tiba-tiba orang rumah sakit menelepon emak-sore itu-kalau kau harus dioperasi di rumah sakit karena penyakit hernia. Kata temanku yang seorang dokter, itu operasi ringan, sih..tapi ya jujur itu sangat membuatku khawatir, meskipun kalau di rumah, aku jarang memperlihatkan kekhawataran yang seperti itu.
Aku malu, Pak. Sampai umurku yang sudah hampir 23 tahun ini, aku belum bisa memberikan sesuatu yang berarti kepada engkau, Pak. Ya.,paling-paling ya prestasi akademis yang sering hanya menguntungkanku, tanpa banyak memberikan banyak manfaat kepada keluarga. Sementara itu, sudah banyak teman-teman seumuranku yang sudah banyak memberikan kontribusi bagi keluarganya,entah itu ikut meyumbang tabungan bapak atau hanya sekedar mengganti tegel rumah dengan keramik yang tentu akan membuat rumah terlihat lebih kinclong. Ketika banyak anak bekerja langsung setelah lulus dari program S-1nya, aku malah bersikeras ingin melanjutkan sekolahku ke S-2 dulu. Entah apa yang aku pikirkan saat ini, Pak. Aku masih ingin sekolah. Untungnya, kau sungguh ayah yang sangat baik. Pikirku,kau tidak langsung menyetujui keputusanku, tapi ternyata dengan sepenuhnya kau mendukungku untuk melanjutkan sekolahku. Dalam hati,aku hanya berpikir,sabar ya Pak. Insya Allah, kesuksesan akan datang padaku,dan kau akan melihat betapa besar pengorbananmu kepada anakmu ini tidak sia-sia.
Pak, aku bangga padamu. Kau sungguh pandai besi yang hebat. Di sini kadang aku menceritakan pekerjaanmu dengan bangga kepada teman-temanku, bahwa sekarang sudah jarang ada pandai besi di daerah-daerah, sedangkan kau mungkin adalah satu dari beberapa gelintir pandai besi yang masih ada di dunia ini. (he..he...). Meskipun badanmu kecil dan layu, tetapi dengan sekali gepukan palumu yang 5 kg itu, mampu membuat lancip cangkul-cangkul para petani itu.
Pak, terima kasih atas segala motivasi dan pelajaran yang telah kau ajarkan kepadaku. Ingin sekali aku nanti pulang bisa ”meninjak-injak punggungmu” kembali seperti yang biasa aku lakukan ketika kau lelah seharian bekerja. Pak, doakan aku terus seperti emak yang juga selalu mendoakanku. Saksikanlah aku akan menjadi orang sukses yang akan selalu membanggakanmu kelak. Amiin..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H