Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Lahir di Metro Lampung. Pendidikan terakhir, lulus Sarjana dan Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kebingungan Sang Laillatul Qadar

20 April 2024   22:39 Diperbarui: 20 April 2024   23:09 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Saat menjelang bulan Ramadhan tiba setiap tahunnya dapat dipastikan orang hiruk pikuk melakukan kegiatan sesuai tradisinya masing -- masing, dengan maksud membersihkan diri. Begitupun mendekati berakhirnya bulan Ramadhan umumnya para penceramah dengan nada sendu mengatakan kita sangat sedih karena akan berpisah dengan bulan Ramadhan, dan berdo'a agar dapat bertemu dengan bulan Ramadhan berikutnya. Berpisahnya bulan dalam 1 tahun kalender sudah pasti terjadi setiap tahunnya, karena bila telah habis waktunya dalam 1 bulan tentu akan berganti ke bulan selanjutnya, jadi ya tidak perlu merasa kehilangan.

Berbeda dengan cara pandang orang pada umumnya justru saya tidak memikirkan perihal pergantian bulan, karena itu memang sudah seharusnya berganti; Tetapi saya tidak memutus puasa saya karena meski Ramadhan telah berakhir, puasa lahir memang sudah tidak saya lakukan tetapi puasa batin tetap saya lanjutkan sampai akhir hayat. Dengan demikian dimana, dan kapanpun saya diwafatkan untuk menghadap Yang Maha Suci tetap dalam kondisi berpuasa, jadi tidak perlu berdo'a agar dapat bertemu dengan bulan Ramadhan berikutnya. 

Mengakhiri puasa bulan Ramadhan umat Islam lalu menyambutnya dengan Hari Raya Idul Fitri yang dimaknai bahwa setiap diri seseorang, telah kembali fitri atau suci layaknya bayi yang baru lahir. Artinya setelah berpuasa sudah terbebas dari segala dosa, kesalahan, keburukan, dan perbuatan tercela lainnya, disertai saling maaf memaafkan diantaranya. Benarkah kondisi seperti ini telah dapat dicapai oleh mereka yang melaksanakan puasa di bulan Ramadhan?

Bulan Ramadhan sudah berlalu pernahkah kita mengevaluasi diri, apakah puasa yang dilaksanakan benar telah dapat meningkatkan derajat takwa kita dari tahun ke tahun atau hanya sekedar mendapat lapar, dan haus saja karena puasa hanya dilakukan seperti mengubah waktu makan belaka; Yang biasanya waktu makan di siang hari, diubah menjadi malam hari. Kalau memang kita ingin meningkatkan derajat takwa hendaklah kita jujur, dan berani melakukan evaluasi diri agar semakin ke depan derajat takwa kita semakin meningkat.

Untuk itu mari kita bersama mencoba mengevaluasi diri dengan mengedepankan kejujuran, dan keberanian; Kalau memang puasa kita sudah dapat meningkatkan derajat takwa alhamdulillah........ ke depan tinggal terus meningkat kembangkan. Tetapi bila dirasa puasa kita boro -- boro dapat meningkatkan derajat takwa, selagi membekas dalam diri saja belum, mari dengan penuh kesadaran, kejujuran, dan keberanian mengakui kekurangan lalu melakukan langkah tindak untuk memperbaikinya.  

Al Qur'an surat Al Baqarah ayat 183. Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.

Agar perintah dan petunjuk Allah atau firman Allah tersebut dapat dilaksanakan dengan baik, dan benar hendaklah kita mengingat bahwa manusia tercipta atas 2 unsur besar yaitu unsur lahiriah, dan unsur batiniah. Unsur lahiriah tercipta dari saripati tanah mempunyai sifat amarah, aluamah, supiah, dan mutmainah yang umumnya disebut sebagai nafsu berkiprah atas kendali iblis, setan, dan sebangsanya. 

Dan unsur batiniah tercipta dari Ruh suci merupakan sebagian, dan bagian tidak terpisahkan dari Yang Maha Suci ditiupkan ke dalam diri manusia, karena itu manusia sesungguhnya memiliki sifat kesucian layaknya sifat Yang Maha Suci.

Atas dasar tersebut mestinya kita memahami dan menyadari bahwa manusia apapun warna kulit dan bahasanya; Apapun suku bangsa, dan bangsanya; Apapun status sosial ekonomi, ras, dan agamanya memiliki 2 sifat antagonis yang sama, yaitu sifat baik dari Yang Maha Suci, dan sifat buruk dari nafsu yang berkiprah atas kendali iblis, setan, dan sebangsanya.

Atas kesadaran tersebut maka dalam melaksanakan puasa hendaklah kedua unsur tersebut dipuasakan, untuk melatih atau menggembleng diri layaknya dalam kawah candradimuka agar kita dapat mengendalikan nafsu;

Dengan muara akhir sifat -- sifat kesucian dalam diri kita dapat tercermin 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun