Saya diminta Ketua PWI Sumatra Selatan, Firdaus Komar, untuk menjadi salah satu nararumber dalam Ngobrol Pintar di Kantor PWI Sumsel, di Palembang, hari Minggu 10 November lalu. Â Narsum lain Andreas Lionardo, doktor yang juga Ketua Prodi Komunikasi di Universitas Sriwijaya, dan Ketua Penasehat PWI Sumsel, Kurnati Abdullah. Audiensnya anggota PWI, baik pengelola media maupun wartawan biasa.
Saya disuruh bicara soal tantangan masa depan media dan nasib wartawan. Saya mengatakan, dilihat dari perkembangan masa depan media cetak makin suram terutama karena pendapatan perusahaan akan makin kecil, tidak sebanding dengan pengeluaran untuk operasional seperti gaji pegawai, sewa kantor, bayar listrik, membeli barang, dsb.
Untuk media siber akan seperti balita stunting, hidup tapi sulit berkembang, kecuali market leader, katakanlah 5 besar nasional atau 3 besar daerah. Artinya media siber yang konon jumlahnya sekitar 40.000, sebagian besar sekali atau sekitar 99 akan ngos-ngosan, atau hidup tidak sehat.Â
Kondisi akan mempengaruhi kesejahteraan wartawan. Â Makin sulit perusahaan memberi gaji memadai, yang cukup untuk hidup layak, mulai dari memberi makan dan pendidikan keluarga, mencicil rumah, sampai mendapatkan cuti libur. Sebagian besar bahkan akan menggaji di bawah Upah Minimum Provinsi, sehingga wartawan mencari makan dengan caranya sendiri.
Paling gampang, ya meminta duit atau mengharapkan bantuan dari narasumber atau acara-acara narasumber. Sisanya mungkin dengan mencari iklan dan mendapat komisi jasa dari perusahaan media. Atau bahkan yang lebih mengerikan, memanfaatkan status wartawannya untuk mencari keuntungan langsung, menggunakan berita untuk mengintimidasi atau memeras pihak tertentu.
Di sisi lain wartawan menjadi pembentuk opini publik, karena itu dia harus bermutu, profesional, memiliki  kesadaran etik, berkesadaran hukum, berwawasan, lalu memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehingga karya jurnalistiknya  mencerahkan, memberi inspirasi, dan sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik. Dan ini hanya bisa diperoleh melalui pendidikan dan diakhiri dengan uji kompetensi.Â
Dengan sertifikat UKW akan terbukti dia wartawan profesional. Namanya terdaftar di situs Dewan Pers, sehingga apabila ada persoalan dengan karya jurnalistiknya, dia masuk dalam perlindungan Undang-Undang No 40/1999 tentang Pers. Tidak dikriminalkan. Itulah makanya selalu saya sampaikan, silakan kalau tidak mau ikut UKW, tetapi kalau ada risiko tanggung sendiri. Penegak hukum menginterpretasikan, wartawan akan dilindungi dalam bekerja apabila dia berstatus wartawan profesional, yaitu wartawan yang bersertifikat.
Sudah ada beberapa kasus, wartawan yang belum bersertifikat diarahkana penyelesaikan kasusnya ke UU ITE apabila medianya adalah media online, atau media siber. Tetapi Dewan Pers selalu memberi pembelaan, menyatakan dia wartawan dan proses penyelesaikan harus sesuai UU Pers dan dimediasi di Dewan Pers, kalau itu kasus pertama. Dalam mediasi, wartawan itu akan diminta dalam tempo maksimal 3 bulan, harus bersertifikat. Apabila tidak, maka kalau ada kasus lagi, Dewan Pers tidak mau menangani. Jadi, pilihan ada di tangan Anda.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H