Oleh: Bangun Lubis
Kota Palembang memang kaya peninggalan sejarah. Tidak, hanya catatan kejayaan pada masa Kerajaan Sriwijaya ditahun 682 masehi, yang mewarnai perjalanan sejarah kota tua yang berusia 1321 ini, tetapi banyak juga bangunan peninggalan kerajaan atau Kesultanan Palembang Darussalam yang menoreh sejarah dan budaya di kota yang dibelah Sungai Musi itu.
Salah satu yang tidak kalah pentingnya dalam perjalanan sejarah kota ini, adalah berdirinyabangunan masjid besar, kemudian diberi nama Masjid Agung. Peletakan batu pertama pembangunan Masjid Agung dimulai 1 Jumadil Akhir 1151 Hijriah (1738 Masehi). Dan baru diresmikan pemakaiannya pertama kali pada Jumadil Awal 1161 Hijriah atau 26 Mei 1748 Masehi.
Ada satu catatan yang sangat bersejarah, pada awal pembangunan Masjid Agung, yang ditulis dalam buku Masjid Agung Palembang terbitan tahun 2003. Disebutkan, cikal bakal pembangunan Masjid Agung Palembang, berawal dari pemikiran Sultan Palembang Darussalam, Sultan Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo, sebutan terhadap Sultan Mahmud Badaruddin I. yang memrintah sekitar 1725 masehi – 1758 masehi
Sebelumnya 1659, Ki Gedeh Ing Suro adalah Sultan Palembang, yang mendirikan sebuah masjid yang bernama Masjid Suro, terletak di Keraton Kuto Gawang (kini sekitaran komplek PT Pusri). Masjid yang didirikan Ki Gedeh Ing Suro itu, dibakar oleh Mayor Belanda bernama Van Der Laen. Lalu, ketika Sultan Palembang Darussalam, Mahmud Badaruddin Jayo Wikramo, teringat atas keganasan Belanda tersebut, kemudian langsung merencanakan pembangunan sebuah masjid besar yang bisa menjadi pusat pengembangan ilmu dan budaya Islam. Maka saat itu pula ia membuat disain sendiri dan membangun masjid tersebut.
Bila dilihat dari dekat, Masjid Agung aslinya, yakni yang terdapat di dalam gedung besar, maka pada bangunannya sangat dipengaruhi oleh gaya aristek cina, melayu dan arab. Di bagian atap, bangunannya berhundak (bertingkat) tiga, yang juga hampir mirip dengan bangunan – bangunan arsitek cina masa lalu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sejarawan Palembang, Djohan Hanafiah,pada awal masjid dibangunan berbentuk bujur sangkar. Sebelah barat sebagai bagian belakang masjid, yang berfungsi sebagai tempat imam saat sholat berjamaah atau yang disebut sebagai mihrab. Pada dinding mihrab terdapat tulisan kaligrafi , dan puncaknya berbentuk simbar, perpaduan antara seni kaligrafi dengan ukiran tradisional Palembang, terbuat dari kayu, yang kesemuanya menghisi tiang-tiang mihrab.
Berundak
Lalu gaya berundak (bertingkat) dengan gaya limas yang bisa menghiasi arsitektur rumah Palembang dan dibagian atasnya terdapat mustaka. Dan pada mustaka itu memiliki jurai kelompok simbar, yakni gambran seperti kepala kambing yang berjumlah 13 buah terdapat disetiap sisi.Bentuk mustaka yang terjurai dan melengkung ke atas pada keempat ujungnya ini terasa betul seperti arsitek bangunan dengan arsitek cina.
Masjid Agung yang terletak di Kelurahan 19 Ilir Kecamatan Ilir Barat I, berada di persimpangan Jalan Merdeka, berbatasan dengan Jalan Sudirman. Sedangkan dari sebelah barat berbatasan dengan jalan guru-guru atau sekarang jalan Faqih Usman. Masjid ini dikelilingi oleh sungai, pada bagian ilir (timur) berbatasan dengan sungai Tengkuruk, sungai Kebon Duku atau Kapuran (utara), sungai sekanak (barat) dan arah laut (selatan) dengan Ketator palembang darussalam (sekarang Museum Sultan Mahmud Badaruddin). Masjid berada di belakang kerator sultan.
Masjid Agung yang tidak jauh dengan Jembtan Ampra, tidak saja merupakan Landmark Kota Palembang, tetapi juga merupakan bukti sejarah kejayaan Kesultnan Palembang Darussalam. Ia adalah simbol dari kemajuan peradaban masyarakat Palembang, sekaligus bukti besarnya perhatian pihak sultan (pemerintah) terhadap kebutuhan masyarakat yang sata itu mayoritas memeluk agama Islam.
Pada tahun 1998 pemerintah Provinsi Sumatra Selatan membuat kebijakan bersama DPRD Sumsel dan Pemerintah Kota Palembang untuk merestorasi masjid. Sehingga, saat itu Rosihan Arsyad sebagai gubernur, mengerahkan pemikiran bersama pemerintah kota untuk mewujudkan restorasi dan juga menambah bangunan bagian depan agar Masjid Agung makin megah.
Luas masjid ini sekitar 15.400 meter persegi dan luas halaman 2.250 meter. Masjid ini terdiri dari ruang utama berukuran 23x23 meter, dan pintu bagian tengah berukuran 4 x 3,5 meter. Di bagian barat terdaat enam buah jendela berukuran 3 x 1 meter. Sedangkan tiang soko guru mencapai 16 tiang dan 12 tiang penopang atap. Lantas ada ruang tambhan dari dinding bagian utara hingga ruang utamanyaberbentu U berjarak 65 meter, sedangkan dinding timur 9 meter dan ruangutamanya berukuran 36x32 meter. Sekarang bangunannya mencapai 5.114 meter persegi dan dapat menampung 15.000 jemaah.
Kini Masjid Agung telah kembali mengingatkan kita ke masa kesultnan Palembang Darussalam, yang diupayakan untuk menjadikannya sebagai pusat pengembangan ilmu, dan penciptaan para intelektual agama Islam di negeri ini.
Dahulu dari masjid ini banyak intlektual agama Islam yang lahir sepertiAbdul Al Sammad Al Palimbani (1704-1788), Kemas Ahmad bin Muhammad (1719-1763), Kemas Fakhrudin, Muahhamd Muhyidin bin Syihabuddin, Makruf bin Hasanuddin, Kemas Ahmad bin Abdullah, Kiagus haji Makruf dan banyak lagi. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H