Oleh : Bangun Lubis
Benteng Kuto Besak adalah peninggalan sejarah yang sangat penting
artinya dalam perjalanan kebudayaan masyarakat Palembang. Adalah, Sultan Mahmud Badaruddin I, yang memerintah pada masa Kesultanan Palembang Darussalam dan mulai merancang bangunan benteng sejak saat awal berkuasa tahun 1724 sebagai pertahanan bagi pemukiman Sultan.
Dalam Buku Palembang Masa lalu dan Sekarang, terbitan Pemerintah Kota Palembang tahun 2000, Benteng Kuto Besak disebutkan, dibangun dalam masa yang cukup panjang, selama 17 tahun, yaitu sejak 1780 hingga selesai dan diresmikan pemakaiannya Senin 21 Februari 1797. Sultan mempercayakan pembangunan benteng tersebut kepada para ahli cina (arsitektur cina) yang memang sudah banyak bermukim di Palembang. Pengalaman yang dimiliki pekerja cina, tidak diragukan lagi, karena mereka adalah orang yang ahli dalam membangun benteng yang terbuat dari bahan batu.
Benteng Kuto Besak, selain dikelilingi batu yang tinggi juga dikelilingi parit pertahanan. Lokasinya dipilih pada tempat strategis guna mempermudah pengawasan. Benteng dikelilingi oleh sungai Tengkuruk sebelah timur, Sungai Musi di sebelah selatan. Sungai Sekanak dibagian barat dan Sungai Kapuran di sebelah utara.
Namun, sungai-sungai ini sudah sebagian besar ditimbun. Seperti Sungai Tengkuruk sekarang sudah ditimbun pada 1920-an. Kini sudah menjadi Jalan Jenderal Sudirman dan Jembatan Ampera. Begitu juga dengan Sungai Kapuran sudah menjadi Jalan Kapuran, sedangkan sisa sungai itu kini masih ada dan digunakan sebagai saluran primer dan sekunder yang mengalir di sebelah Mesdji Agung. Sungai-sungai ini saat itu difungsikan sebagai pertahanan agar musuh sulit mendekati dan memanjat dinding benteng.
Benteng ini memiliki ukuran panjang 288,75 meter, lebar 183,75 meter, tinggi 9,99 meter (30 kaki). Sedangkan tebal dinding 1,99 meter atau 6 kaki. Di setiap sudutnya terdapat bastion (baluarti). Bastion di sudut barat laut,bentuknya beda dengan tiga bastion lain, sepertipada bastion yang ditemukan pada benteng-beteng yang ada di Indonesia. Tetapi, ketiga bastion yang sama bentuk itu, merupakan ciri khas bastion Benteng Kuto Besak.
Di sisi timur, selatan dan barat terdapat pintu masuk benteng. Pintu gerbang utama yang di sebut Lawang Kuto (Pintu Kota) terletak disisi
sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi. Pintu masuk lainnya disebut Lawang Borotan, jumlahnya ada dua. Tetapi yang tersisa tinggal satu di sisi barat Istana Sultan Mahmud Badaruddin, yang disebut sebagai Rumah Sirah, terletak di bagian dalam Benteng Kuto Besak, dan untuk mencapainya harus melalui beberpa pintu lagi.
Di bagian luar Benteng Kuto Besak, terdapat bangunan-bangunan lain, misalnya ruang penerima tamu asing (pamarekan) dan pendopo pamarekan. Kedua bangunan itu terletak disebelah kanan pintu gerbang utama.Benteng Kuot Besak berbeda dengan Keraton yang berada di Jawa. Alun-alun atau Meidan yang terdapat di bagian
Sulit Dibuktikan
Benteng Kuto Besak, terletak di sebelah selatan keraton sedangkan Mesdjid terletak di sebelah timur laut di bagian belakang Keraton. Bukti ini merupakan peninggalan sejarah yang amat penting bagi perjalanan kebudayan masyarakat Palembang. Sebab, begitu banyak peninggalan sejarah dan prasasti, tetapi sulit untuk membuktikan kebenarannya setelah dilakukan penelitian oleh kalangan sejarawan dan arkeolog.
Pada bangunan Benteng Kuto Besak, semua yang tertulis dan peninggalan bangunannya juga masih utuh dan tidak ada perubahan sejak dibangun oleh Sultan Mahmud Badarudin I.
Ketua Dewan Pimpinan Cabang Kerukunan Keluarga Palembang (KKP), Kgs H Roni Hanan, BSc, mengungkapkan, Benteng Kuto Besak juga merupakan salah satu bukti perkembangan kebudayan Islam di Palembang, terutama saat Kerajaan Palembang Darussalam menuju puncak kejayaannya, yang saat itu dipimpin oleh Sultan Mahmud Badaruddin I.
Karena itu pula, ketika muncul suatu wacana untuk mendirikan bangunan lain atau disebut sebagai upaya pe-moderen-an lokasi Benteng Kuto Besak, pihak Kerukunan Keluarga Palembang sangat keberatan. MenurutRoni, pihaknya menolak rencana pembangunan bangunan moderen di areal itu karena hal itu akan terkait dengan pemusnahan aset sejarah dan budaya Palembang. Dia juga mengingatkan agar pemerintah kota bersikap bijak dan penuh kearifan dalam memberikan izin sehingga tidak mengecewakan masyarakat.
Sejarawan dan Budayawan Djohan Hanafiah yang juga, sebagai salah seorang yang banyak mengikuti perjalanan sejarah Palembang mengungkapkan,walaupun visi Kota Palembang telah ditetapkan melalui Perda No 26 Tahun 2001 sebagai Palembang Kota Bersejarah-Sebagai Pusat Perdagangan Jasa, tapi tidak satu pun dari aturan atau penganggaran dana
untuk mendukung cagar budaya ini. Contohnya saja, kawasan Benteng Kuto Besakyang merupakan kawasan cagar budaya justru diabaikan.
Agar cagar budaya masih tetap ada di kota ini, Djohan meminta pemerintah: “Biarlah Benteng Kuto Besak,tetap berdiri dan terawat sebagai aset sejarah yang dapat menciptakan pengetahuan dan ilmu bagi generasi muda, yang mengikuti perjalanan kebudayaan Palembang Darussalam, hingga ke depan nanti.
Apalagi, Benteng Kuto Besak nanti akan bisa menjadi aset wisata sejarah yang cukup potensial, memiliki makna dan arti yang begitu penting bagi masyarakat tak hanya di Sumatra Selatan, juga para pencinta budaya dan masyarakat intlektual dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari luar negeri. Apagi, lokasinya yang berada berhadapan dengan Sungai Musi dan berdekatan pula dengan Jembatan Ampera yang juga memiliki nilai sejarah, makin besar nilai sejarah dan ortang dari luar daerah pun akan menilai kebanggan aset yang merupakan pula aset budaya nasional tersebut
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H