11 Puisi Untuk Desa Rangkat
01. Dengan sebuah tekad
02. Embun sore
03. Selimuti binar cahaya bias
04. Andai aku adalah mereka
05. Rinduku bersuar
06. Apakah aku harus tersiksa
07. Nantikan sebuah nisan
08. Gaung tua malang
09. Kuterjang riak ombak
10. Akasia di rangkat sebuah desa
11. Tanpamu kumaut
Perhatikan 11 Judul puisi di atas memiliki kesamaan huruf pertama dan terakhir.
Dan judul-judul tersebut terangkum menjadi puisi berjudul Sebuah Tekad Mendulang Rangkai Kata”, disini terselip kata-kata pada awal baris pertama (DenganSebuah Tekad) dan kata-kata terakhir pada baris terakhir (Mendulang Rangkai Kata).
Kalau dirangkaikan menjadi judul puisi itu sendiri.
Hehee... iya kan?!
Puisi ”DenganSebuah Tekad Mendulang Rangkai Kata” merupakan puisi akrostiik dimana huruf awal kata pada setiap barisnya membentuk kata “DESA RANGKAT”yang terdiri dari 11 baris, bait pertama terdapat 4 baris (DESA) dan bait kedua terdapat 7 baris (RANGKAT).
Hehee... kan iya?!
***
DenganSebuah Tekad Mendulang Rangkai Kata
~
Dengan sebuah tekad kugapai tangan langit tuk menghimpun
Embun sore terserak sinar semburat ufuk barat
Selimuti binar cahaya bias, piaskan ayat-ayat kata
Andai aku, adalah mereka tak ‘kan tercampak oleh satu bahasa rasa
~
Rinduku bersuar,walau lidah liat teru walcap
Apakah aku harus tersiksa?, dari cacimu yang tak tersadar
Nantikan sebuah nisan teriak lantang sbagai torehan jejak
Gaung Tua yang Malangberrpeluk tombak senja melintang
Kuterjang riak ombakmendera batang pokok-pokok kemarau
Akasia di rangkat sebuah desa nan elok,sejuk, ramah, damai
Tanpamu Ku Maut,terkapar, terseok beku mendulang rangkai kata
~ ~ ~
Jangan beranjak dulu teman.... Nah sekarang perhatikan dari puisi diatas, setiap barisnya sengaja kurangkai kata-kata pertama yang berwarna hijau akan menjadi Judul dan kata-kata terakhir berwarna merah adalah baris terakhir dari setiap isi puisi itu sendiri dari masing-masing 11 puisi berikut ini.
~
Amirilah eh... Amirulah eh salah lagi... Amatilah ding ...
***
01.Dengan sebuah tekad
.
Dari Lalu kuhitung dengan tapak kaki panjang jalan ini tanpa otak
Dari jurang kebodohan dan terjalnya suara hati hendak merangkak
Langlang mengais hingga lobang goa-goa penyair maya
Menggayung butiran debu dan tetesan air puisi putih suci
Tuk menyemai mata pena menoreh suatu kata lebih bermakna
~
Bukan tebing, bongkahan ngarai, juga hati gudang karang terjal
Celotehan dari syair dan sajak hitam merahku
Mungkin mereka tak pernah sepetiku kemarin dan atau yang lalu
Berjalan tanpa otak, dengan kaki tuk mengecap tajamnya duri
Jauh ternyata putaran bumi maya, namun keras niat dan mau
kugapai tangan langit tuk menghimpun
***
02.Embun sore
.
Lengang tiada selembar teriakkan angin
Muka kusut mewajahi bahana anganku
Menanti tetes demi tetes dari pucuk hijau daun
Hingga embun sore mengantar matahari pergi
Kan bersemedi menggauli layar malam usai senja
Tuk puaskan hasrat menumpahkan tinta sarat kasih
~
Sekarat kumengejar arah arak awan berlari
Menggantang buah suratan senandung ladang
Bak kata-kata mutiara biru haru terbengkalai
Menguak bekunya rima dingin,
Terserak sinar semburat ufuk barat
***
03. Selimuti binar cahaya bias
.
Suaku di gubuk luas terhampar
Ramah daun rindang, rumput sejuk berbisik
Saling berpeluk menjanjikan kedamaian
Terus menggapai menyambut tanganku
Seakan para bidadari menarik dari atas cakrawala
~
Setiap saat suara sahaja saling sapa
Selamat, semangat, ad serangkat malam
Meracik kata puitis mesra hiasi kelir kaca
Disini resah terselimuti kasih sayang terbias cahaya
Piaskan ayat-ayat kata
***
04.Andai aku adalah mereka
.
Andai aku adalah mereka
Derita kujadikan gelak tawa
Enyah dari kesenangan saling curiga
Nada-nada syair kujadikan tembang jiwa
Dekap mesra angan empati dan simpati seirama
Seperti desa(ku) rangkat yang telah bersabda
~
Andai aku adalah mereka
Tak perlu harus menyebut siapa
Jika hanya karya berlumur dosa dan dusta
Dunia fana kubawa hingga mati ke dunia maya
tak ‘kan tercampak oleh satu bahasa rasa
***
05.Rinduku bersuar
.
Beliak surya terbitkan asa
Terbetik sukma barsitkan kata
Biar benak terapit beku
Takkan aral lepaskan hasrat
Tuk tingkap penat kalbu
~
Tiap hembus nafas dan kedip mata
Bak nadi terus berdetak
Dari ufuk masa pancar mentari
Hingga akhir kutub redupkan sinar
Rona rindu kian mengusik
Walau lidah liat terucap
***
06.Apakah aku harus tersiksa?
.
Tidak...!!!
Walau telanjangi pagiku
Violet tak ramah menyapa mata lelahku
Bergumul malam sapa merintih, tertawa liar
Untuk menyatu melepas nafsu
~
Tersiksa?, ya... terus berbisik tentang rasa
Tersirat niat kejujuran dan perdamaian
Menyatu sama selalu dalam detak hati
Jiwa bertumpu menghamba dari segala
Tebing persaudaraan, palung alas samodra
Dari cacimu yang tak tesadar
***
07.Nantikan sebuah nisan
.
Kisut kulit membentang bumi
Nyaris enggan mengeja nafas
Sekian terlalui langit yang panjang
terhuyung sesekali angin menerpa
hati batu gontai tetap melenggang
~
Kedip mata akrab dengan sebuah pusara
Kepala bertebar kapas duduk termenung
Menunggu saat jeda antara jiwa dan raga
Hanyalah asa menakar cita dan rasa
Untuk menancapkan tonggak dada
Teriak lantang sbagai torehan jejak
***
08.Gaung tua malang
.
Sangkakala...
Menggema dibalik desau angin
Kutetap teriak sepi dari hingar tawamu
Rasa mencabuk belum perih berasa
Akan pahat dan cium senja lalumu
Tak lampaui gaung usangku yang malamg
~
Oh...wadag biksu sejati jelmakan kata
Maumu diujung telinga agar tergetar
Memipih gendangku meniris pelukmu
Agar disudut jemari ini menyitir tuang pena
Berpeluk tombak senja melintang
***
09.Kuterjang riak ombak
.
Belukar hati kembaraan ilalang kering
Penuh goda dan rayu menawarkan rindu
Dari jengkal malam batas pagi menjelang
Kata roman aral berbagi menghadang
Kan ku hempaskan badai menghantam
~
Sedetik pun tak kan dera kulepas
Menyambut senyum riang rangkat
Setinggi puncak karang bahkan bara membakar
Dari keras gelombang dan putihnya buih pantai
Kan juterjang walau sekeras karang hitam
Mendera batang pokok-pokok kemarau
***
10.Akasia di rangkat sebuah desa.
Kopi malam bersanding rokok sebatang
Selaksa kerinduan terbawa angin sepi
Dua kata mesra terpahat sebuah nama
Dari sebuah ranting keras yang patah
Jiwa keteguhan memeluk pokok akasia
Gelisah ingin selalu berdendang
~
Dua, tiga juni duaribu sebelas
Tonggak kebahagiamu, tali gelisahku,
Berdiang bara berselimut dingin
Menanti senyum jogja di balik akasia rangkat
Nan elok, sejuk, ramah, dan damai
***
11.Tanpamu ku maut
.
Tak satu mengerti makna pusaran benak
Simpang jalan membawa pesan tepian rindu
Tersembunyi carianku dibalik hatimu
Tangan terkulum sang bayu menggapai suara
Seribu derap langkah hampa tersapa
~
Suluh siang lintasi kelapa telanjang
Sisa sengatan anyir peluh menghujan
Kukejar menuju arah pucuk suaramu
Mati menyatu dalam alunan yang sama
Biar, dunia maya bumi kakiku kan menjagal nafasku
Terkapar, terseok beku mendulang rangkai kata
***
Oh ya.....hampir kelewatan... dari 11 puisi diatas, setiap puisi berjumlah 11 baris lho... dengan 2 bait, puisi yang bernomor ganjil : bait pertama terdiri dar 5 baris dan bait kedua 6 baris, begitu juga puisi yang bernomor genap : bait pertama terdiri dari 6 baris dan bait kedua 5 baris. Coba hitung...!!!
.
Hehe...iya kan?, kan iya.?!
...
DESA RANGKAT menawarkan kesederhanaan cinta untuk anda,
datang, bergabung dan berinteraksilah bersama kami
(Klik logo kami, dibawah)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H