Apa yang menarik dari kehidupan pedesaan? tentunya bukan hanya alamnya yang menghangatkan, atau penduduknya yang ramah, tapi jauh dari 3 penyakit yang biasanya kita idap di perkotaan, hurried, hostille & humorless.Â
Foto ini saya ambil selepas ashar saat silaturrahim hari kedua lebaran ke rumah sanak saudara di desa Padacenga Uloe, sekitar 30 km dari kota Watampone, Bone. Daerah ini termasuk perbatasan kabupaten Bone dan Soppeng.
Keempat anak-anak itu sebenarnya menunggangi dompeng, semacam mobil rakitan yang ditarik menggunakan mesin traktor, kecepatannya sangat lambat, mungkin karena pengaruh tiap muatannya, termasuk muatan kayu-kayu berukuran kecil itu.Â
Yang menarik, anak-anak ini tetap bernyanyi diatas dompeng entah nyanyian apa, sesekali tertawa melihat saya di belakang mengikuti, tetap cuek, walaupun cukup lama saya rekam aksi mereka. Indeed, anak-anak ini sebenarnya belum tertular dengan 3 penyakit yg saya sebut diatas.
Ritme hidup kita di perkotaan semakin kesini lebih sering berbanding terbalik dengan nafas pedesaan, kitapun akhirnya lebih sering terburu-buru, dikejar-kejar waktu. Dan pada waktu yang lain, kompetisi melahirkan persaingan, sengit lalu menyakitkan. Tiba-tiba kita kehilangan selera humor, kita lupa senyum dan tertawa, yang ada hanya basa basi memuakkan yang dulunya adalah keberlimpahan tiap hari kita rasakan, malah kini mulai menjadi barang paling mahal di kota.
Anak-anak desa dan dompeng yang mereka tunggangi adalah salah satu wajah kebersahajaan hidup mereka di desa, bahwa merekalah yang berhak mengatur waktu mereka sendiri, tidak ada ketergesa-gesaan, mereka bisa tertawa dalam waktu yang sama, dan keakraban menghangatkan persaudaraan mereka. Kita perlu sesekali mengunjungi desa, menarik aroma kesederhanaan itu untuk nafas-nafas hidup kita di perkotaan kelak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H