Selepas shalat Ashar tadi sore, saya duduk sejenak di atas sajadah. Bersila. Mulut saya memang tidak komat-kamit, hanya hati saja yang melayang entah kemana. Memikirkan banyak hal: usia yang kian bertambah, amanah yang kian berat, juga tentang si kecil yang kian besar dan saya harus mendidiknya dengan baik.
Setelah beberapa menit berkelana, saya memalingkan wajah ke samping kiri, memandang keluar melalui jendela kaca yang sedang terbuka.
Beberapa anak kecil sedang asik sekali mengayuh sepedanya di halaman masjid. Aduhai, bebas sekali hidup anak-anak ya! Mereka tidak punya beban yang berat. Hidupnya senantiasa riang, penuh dengan candaan dan permainan.
Seperti sore tadi. Mereka bersepeda di halaman yang sebenarnya tidak luas. Berputar-putar disana dan tidak berhenti.
Satu anak mengayuh sepedanya kencang dan tidak berhenti beberapa saat. Hingga ketika kecepatan sepedanya agak kencang, ia menghentikan kayuhan kakinya di pedal dan membiarkan sepeda melaju.
Anak itu duduk santai sambil menikmati angin yang menyapa wajahnya. Kepalanya mendongak dan ia tertawa-tawa, memamerkan barisan giginya yang gupis!
Tidak lama kemudian, ketika sepedanya memelan –dan tentu saja nanti akan berpengaruh pada keseimbangan tubuhnya, ia mengayuh lagi. Begitulah, jika ingin sepedanya tetap berjalan dan keseimbangan terjaga, maka kayuhan pedal sepeda tidak boleh berhenti lama –sebentar boleh.
Menyaksikan pemandangan itu, entah karena apa, saya teringat nasihat dari Omjay beberapa tahun silam, katanya, “Menulis itu sama seperti kita bersepeda. Untuk tetap berjalan dan bisa ahli, maka kita nggak boleh berhenti mengayuh. Istirahat sebentar nggak apa-apa, tapi jangan terlalu lama.”
Maksudnya, jika ingin bisa menulis, maka kita harus terus menulis dan jangan berhenti. Karena ketika berhenti, sebulan saja, maka akan berat lagi memulainya. Nggak percaya? Silakan saja dicoba.
Omjay juga pernah bilang, “Menulis adalah sebuah keahlian. Artinya, untuk bisa ahli disana, kita hanya perlu satu hal: menulis sebanyak-banyaknya, sesering mungkin.”
Benar.