Kita sering kali menilai seseorang sembarangan. Seenak hati tanpa pernah mau peduli.
Di perjalanan misalnya, saat kita melihat orang-orang yang sedang mabuk-mabukan dan menghabiskan waktunya sia-sia, kita mungkin akan dengan mudah berkata, “Mereka generasi yang tidak bisa diharapkan, hanya menjadi sampah masyarakat saja. Masa muda yang seharusnya produktif malah disia-siakan!”
Saat bertemu dengan orang yang tidak menjalankan perintah agama dengan baik, sholatnya hanya tiga kali saja sehari, puasanya tidak pernah sama sekali, kita juga mungkin akan dengan ringan berujar:
“Ini nih orang yang bakal masuk neraka! Sholat kan wajib, puasa kan harus, maka yang tidak mengerjakannya dengan baik pasti akan masuk neraka nanti.”
Ketika menjadi orang tua atau guru, saat melihat nilai anak kita merah, Matematikanya hanya mendapatkan nilai 5 di raportnya, kita juga biasanya akan dengan mudah memarahinya.
Paling tidak prihatin dengan nilai anak kita tadi. Hingga akhirnya penghargaan dan pujian jarang sekali kita ucapkan. Kita pelit memberi.
Lain lagi, saat di masjid atau di tempat-tempat ibadah lainnya, kita sering melihat orang-orang yang luar biasa shalatnya, keningnya hitam bekas sujudnya, jenggotnya dipelihara, sunnah nabi katanya, pakaiannya gamis kemana-mana, kita lalu berkata, “Syurga nih orang..”
Begitulah kita, sering kali menilai baik buruknya seseorang hanya dari saat kita melihatnya saja. Padahal seharusnya tidak demikian. Tuhan bilang, orang yang baik adalah yang dari hari ke hari terus berbenah diri, dari hari ke hari terus memperbaiki amal dan perbuatannya.
Hari ini harus lebih baik dari kemarin. Hari esok harus lebih baik dari hari ini.
Seharusnya begitu.
Orang yang hanya sholat tiga kali dalam sehari tadi bisa jadi adalah orang baik. Hari sebelumnya mungkin saja ia tidak sholat sama sekali dan saat bertemu kita ia sedang mencoba berbenah menjadi lebih baik, bertahap, pelan-pelan, dan baru mampu mengerjakan tiga kali saja.