Saya selalu percaya, bahwa di dunia ini, tak ada tulisan yang benar-benar bagus, juga tak ada tulisan yang benar-benar jelek. Artinya, tulisan sebagus atau sefenomenal apapun, tetap akan ada dua tiga orang yang memberikan kritik, menganggap itu bukan tulisan yang baik dan banyak yang harus dibenahi.
Ayat-ayat cinta dan ketika cinta bertasbih misalnya, ada seorang kritikus yang berkata, “Kang Abik menciptakan tokoh Fachri juga Azam pada dua novel itu seperti seorang malaikat. Seperti tak ada celah. Padahal, tidak ada satupun menusia yang demikian, bukan? Manusia diciptakan dalam satu paket, ada kekurangan dan kelebihan masing-masing.”
Pun ketika novel Bumi karya Tere Liye beredar, seorang psikolog berujar, “Bagaimana mungkin, Raib –tokoh pada novel itu, mengingat kejadian ketika ia masih berusia dua tahun? Itu tidak masuk akal! Kejadian ketika kita berusia dua tahun tidak mungkin tersimpan baik di kepala kita.”
Belum lagi tentang tetralogi Laskar Pelangi, “Novelnya susah dimengerti,” kata salah seorang pembacanya kepada saya beberapa waktu lalu, “bahasa dan pemakaian diksinya tak familiar. Akibatnya, ketika membaca buku-buku itu, kepala saya blank!”
Tidak ada satu karya sastra pun yang luput dari kritik dan saran. Juga sebaliknya, tak ada satu pun tulisan yang isinya jelek-jelek semua juga. Saya tak pernah menemukan sebuah buku yang benar-benar habis dihujat. Terkapar dicaci maki. Pasti tetap ada satu dua orang yang memujinya, menganggapnya bagus dan layak diapresiasi tinggi.
Paling simpel, novel Sepotong Diam saya. Ini novel pertama yang saya tulis sendiri.
Benar, bahwa ia adalah pemenang kedua dari Sayembara Buku yang diadakan oleh penerbit indie di Jogja. Diikuti oleh seratusan peserta. Tapi, tetap saja, tentu ia harus banyak diperbaiki, diberi masukan dan saran. Belum bagus-bagus amat.
Nah, buku sederhana itu, walau masih banyak lemah dan kurangnya, juga ternyata mendapai berbagai pujian. Alhamdulillah, juga sudah ada yang memberi kritik habis-habisan. Lengkap. Ada yang tak mengapresiasi, tapi juga ada yang memuji.
Seperti kemarin, misalnya, ketika ada seorang pembaca yang mengirimi saya pesan singkat, begini, “Bang Syaiha, alhamdulillah buku Sepotong Diamnya baru sampai dan langsung saya buka. Emosi saya dibuat naik turun, terharu. Ini baru sampai chapter tiga saja saya sudah mewek, nangis. Enak dibaca dan mudah dipahami, Bang.”
Atau, yang paling baru adalah tadi pagi, ketika saya membuka facebook dan membaca sebuah komentar di fan page, “...Bang Syaiha, bukunya sudah selesai saya baca dalam semalam. Bahasanya ringan dan sarat makna. Dan ketika membacanya, saya menangis. Terharu dengan perjuangan dua insan yang saling mencintai dalam diam.”
Aih, kepala saya membesar ketika membaca komentar itu. Senang bukan alang kepalang. Terimakasih.