Mohon tunggu...
Bang Syaiha
Bang Syaiha Mohon Tunggu... Guru | Penulis | Blogger | Writer | Trainer -

www.bangsyaiha.com | https://www.facebook.com/bangsyaiha

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Tentang Pernikahan: Ketika Bingung Harus Memilih Siapa

12 September 2015   08:04 Diperbarui: 12 September 2015   08:04 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya ini bukan seorang psikiater. Juga bukan filsuf, yang konon, banyak yang berkata mereka adalah orang-orang paling bijak dan bisa menyelesaikan masalah dengan ketajaman akalnya. Bukan. Saya hanya manusia biasa yang mencoba menulis, menuangkan ide dalam bentuk tulisan.

Teman saya di grup #OneDayOnePost berkata, menulis adalah bukti eksistensi diri, bukti bahwa kita nyata. Agar ketika nanti kita telah pergi, meninggal, ada jejak sejarah yang tertinggal dan bisa dibaca banyak orang. Bisa diresapi dan dipelajari.

Maka kemudian, saya pun menulis. Menuangkan beberapa gagasan. Menjawab beberapa pertanyaan yang datang.

Tentu saja, semua yang saya tuliskan adalah murni pemikiran saya yang awam ini. Maka ketika ada salah-salah pendapat atau berbeda, tak lain adalah karena kedangkalan ilmu yang saya miliki. Jadi, jangan berharap saya bisa menjawab setiap persoalan yang kalian tanyakan. Tidak. Paling-paling, saya hanya memberikan beberapa masukan saja, tidak lebih.

Seperti pertanyaan dari seseorang kemarin, katanya, “Bang Syaiha, saya bingung. Saya ini menyukai si A. Si A pun sebenarnya menyukai saya. Tapi dia tak sanggup menikah dengan saya sekarang karena sesuatu hal. padahal, saya sudah bilang, kita nikah saja, sederhana saja. Bahkan, uang walimahan pun tak mengapa jika dari keluarga kami saja.”

Duh, kurang baik apa coba!

“Tapi si A tidak mau, Bang. Dia meminta saya menunggu dua tahun lagi.”

“Di lain pihak, orang tua saya menjodohkan saya dengan si B. Ia lebih siap, lebih mapan. Dia pun mau menikahi saya sesegera mungkin. benar bahwa si A dan B ini sama-sama baik, berwawasan bagus, dan beragama. Tapi saya tak mencintainya, Bang. Hati saya hanya ada di si A yang tak siap itu.”

“Nah, menurut Bang Syaiha, saya sebaiknya bersikap bagaimana? Apakah saya harus menerima si B yang tak saya cintai, atau menunggu si A yang baru siap dua tahun lagi?”

Nah, membaca pertanyaannya, saya sempat berkerut, bingung hendak menjelaskan bagaimana. Bingung akan menyampaikannya seperti apa? Hingga akhirnya, mau tak mau saya mecoba menjabarkannya disini, di tulisan yang tentu saja tak objektif, hanya dari sudut pandang saya saja, seorang lelaki.

Pertama, ingatlah sebuah hal penting, adalah celaka jika ketika sebelum menikah saja kalian sudah melibatkan perasaan yang terlalu dalam. Bilang tak bisa hidup tanpanya, beranggapan bahwa hanya dialah yang akan membuatmu bahagia, atau apa saja.

Melibatkan perasaan terlalu dalam sebelum menikah hanya akan membuatmu galau berkepanjangan. Pasalnya, hubungan sebelum pernikahan adalah hubungan paling gampang pecah dan susah diharapkan. Banyak kepalsuan dan kepura-puraan di dalamnya.

Dan kalau sudah begini, ketika ternyata harapan tak sesuai kenyataan, kalian akan rapuh sekali. Seperti mbak tadi, bingung akan memilih yang mana, si A atau si B.

Kedua, ingat juga bahwa ini adalah dunia sungguhan. Bukan sinetron atau drama-drama korea murahan. Disana, kisah cinta bisa diciptakan seromantis dan seideal mungkin oleh si pengarang naskah dan sutradara. Walau jalan terjal berliku, aral melintang, dan sebagainya, ujung-ujungnya si A dan si B akan dipersatukan.

Mereka sengaja membuat jalan cerita yang berliku, berkelok-kelok, dan mendebarkan. Tujuannya, agar penonton terkesima. Lalu kemudian beranggapan bahwa cerita sedemikian hebat itu bisa juga terjadi pada hidupmu.

Hello! Ini dunia nyata, mbak. Bukan sinetron-sinetron murahan yang jalan ceritanya sudah di atur. Ini dunia sungguhan yang kisahnya mungkin lebih mirip roller koster, kadang menanjak, lalu menukik tajam. Kadang kita tertawa, tapi kadang menjerit hingga menangis histeris.

Di film-film, jalan ceritanya bisa diatur seenak sutradaranya, dibuat sedramatis mungkin, dan agak dilebay-lebaykan. Tapi di dunia nyata ini, jalan cerita hidupmu ditentukan oleh dirimu, mbak. Susah senang, sedih bahagia, sukses gagal, semua ada di tanganmu. Kau yang memutuskan dan menjalankan.

Ketiga, untuk si mbak tadi, sebaiknya memilih yang mana, si A atau si B? Ah, tentu saja saya akan bilang, lebih baik pilih si B. Mengapa?

Satu, karena si B sudah siap. Dia tak perlu memintamu menunggu dua tahun lagi. Mbak, dua tahun itu lama. Dan dalam dua tahun itu banyak hal yang bisa terjadi. Usiamu akan bertambah, menjadi lebih tua. Bagaimana jika setelah dua tahun ternyata ia tak jadi melamarmu.

Bagaimana jika dalam dua tahun itu, ternyata dia menemukan orang yang lebih cantik darimu dan berpaling? Bagaimana dalam dua tahun itu, dia lalu kecelakaan dan meninggal?

Yang rugi siapa? Tentu saja mbak sendiri. Waktu terbuang, usia semakin menua, sudah semakin jarang lelaki yang mencoba mendekati. Semakin susah saja mencari pendamping bernama suami.

Dua, mengapa memilih si B, karena ia sudah mapan. Begini, mbak, dalam berumah tangga, kita tak akan kenyang makan cinta, bukan? Cinta tak bisa dimakan dan tak mengenyangkan. Mbak butuh uang belanja setiap bulan, butuh uang untuk membeli riasan agar tetap terlihat cantik, butuh uang untuk menyekolahkan keturunan. Dan dari dua lelaki yang mbak jabarkan ke saya, jelas saja bahwa si B lebih bisa diandalkan dibandingkan si A, bukan? Jelaslah, lebih baik pilih si B, dia sudah siap dan mapan.

“Tapi saya tak mencintainya, Bang?”

Cinta itu bisa ditumbuhkan setelah menikah. Tergantung mbaknya, mau menanam benihnya atau tidak. Kalau mbak terlalu lebay dan beranggapan bahwa cinta hanya untuk si A, ya silakan saja. Tunggu saja dua tahun. Silakan berlama-lama dalam ketidakpastian dan bertambah usia.

Cinta itu bisa ditumbuhkan. Seperti istri saya misalnya, berani menikah dengan saya ketika baru kenal 7 hari saja. Jujur sekali dia bilang, bahwa ketika awal menikah dulu, belum ada cinta di dadanya. Lalu saya tanyakan, “Jika demikian, mengapa berani menerima pinangan dari saya?”

Enteng pula dia jawab, “Karena Mas yang sudah siap, meminta saya baik-baik, dan mengikatnya dalam kepastian bernama pernikahan. Saya tak mau menunggu lelaki-lelaki yang tak jelas. Menunggu setahun dua tahun, sama saja menghabiskan waktu dan membuat saya menjadi semakin tua, menjadi perawan tak laku.”

Dan sekarang, jika mbak ingin menanyakan bagaimana perasaan istri saya, silakan. Cinta yang dulunya tak ada, sekarang sudah tumbuh subur di dalam dadanya.

Itu saja jawaban yang saya bisa jelaskan. Semoga dengan penjabaran ini, bisa menjadi renungan buat mbak yang bertanya. Dan buat siapapun yang membaca, silakan sebarkan jika berkenan.

Demikian.

Tulisan ini juga saya posting di WEBSITE PRIBADI saya 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun