Semoga keselamatan dan rahmat Allah tercurah bagi kita semua, amiin.
Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hendaklah selalu diingat bahwa manusia diciptakan dari tanah dan atau dari saripatinya tanah, sebagai pembentuk wadag atau jazad manusia. Dan ini merupakan salah satu unsur manusia yang bersifat nyata, dan merupakan sangkar bagi Ruh suci yang diamanatkan kepada manusia.
Allah menciptakan jagad raya seisinya termasuk diri manusia ini, dalam keadaan seimbang dan harmonis. Sebagai contoh: Ada siang, ada malam. Ada laki -- laki, ada perempuan. Ada panas, ada dingin. Ada baik, ada buruk, dan lain sebagainya. Kondisi demikian tentunya juga ada dalam diri manusia, berupa sifat yang telah dibawa sejak manusia dilahirkan, yaitu sifat baik dan sifat buruk, atau dapat juga dikatakan sebagai dua sifat antagonis. Pertama. Sifat baik, karena berasal dari Ruh suci, yang langsung ditiupkan oleh Yang Maha Suci ke dalam wadag manusia. Oleh karena itu sesungguhnya manusia mempunyai sifat -- sifat ke-Illahian, layaknya sifat -- sifat Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci, dan bersifat ghaib.
Kedua. Sifat buruk, berasal dari wadag manusia yang diciptakan dari sari patinya tanah, dan bersifat nyata. Sifat buruk ini berasal dari hawa nafsu manusia yang empat, yaitu: nafsu amarah, nafsu lawamah ( Jawa= aluamah ), nafsu supiah, dan nafsu mutmainah, yang berkiprah atas kendali iblis, setan dan sebangsanya, diantaranya adalah sifat keluh kesah dan kikir.  Sifat keluh kesah dan kikir yang ada dalam diri manusia, pada dasarnya merupakan suatu penyakit yang sukar untuk disembuhkan. Karena penyakit ini, sudah ada sejak manusia dilahirkan, atau dengan kata lain sudah bawaan lahir ( Jawa = gawan bayi ), sekaligus sebagai bahan ujian bagi manusia itu sendiri. Surat Al Ma'aarij ayat 19. Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir.
Oleh karena itu hendaklah manusia selalu berusaha agar dapat mengendalikan hawa nafsu, dan bukan sebaliknya justru dikendalikan oleh hawa nafsu. Lalu bagaimana cara mengendalikan hawa nafsu? Untuk Mengendalikan hawa nafsu, hendaklah kita membiasakan agar dapat mengedepankan rasa syukur atas segala nikmat yang telah dikaruniakan Allah kepada kita. Tidak mudah menyerah hanya dengan berkeluh kesah saja, manakala menerima ujian sepahit apapun. Karena sesungguhnya semua ujian yang diterima seseorang, atas kehendak Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sebagai contoh sederhana, dapat diilustrasikan sebagai berikut. Ada tradisi di satu desa, bila mempunyai hajat disamping memberi undangan juga mengirim rantangan ( hidangan lengkap dengan lauk pauk ), saat  mendekati hari acaranya. Sudah tak dapat dihindarkan lagi, bagi pamong desa dan atau orang -- orang terpandang di desa tersebut, dalam 1 hari akan menerima sampai 5 porsi rantangan yang berasal dari 5 orang pemangku hajat, misalnya.
Dalam kondisi seperti ini, seyogyanya si penerima rantangan  tidak lalu berpikiran untuk memakannya sendiri bersama keluarga, rakus namanya. Akan lebih baik bila dapat mengukur diri sendiri, artinya dari sejumlah rantangan yang ada, cukup diambil porsi yang sesuai dengan selera dan jumlah keluarganya saja. Sedangkan porsi lainnya,  diberikan  kepada  orang  lain yang mungkin lebih membutuhkan.
Jangan maunya dimakan semua dan keesokan hari, sisanya baru diberikan kepada orang lain. Sudah terlanjur basi dan nyisain orang lain. Karena terhimpit keadaan, mungkin pemberian yang sudah basi tadi tetap diterima ( mengenai dimakan atau tidak, tak tahu ). Walau dalam hati mungkin si penerima ngomong, ooo dasar kikir makanan sudah basi diberikan orang. Akan lebih baik, bila hanya memakan porsi yang diinginkan saja. Sedangkan porsi yang lain, saat itu juga diberikan kepada orang lain. Dengan demikian berarti kita dapat makan bersama orang lain, walau ditempatnya masing -- masing.
Kalau hal ini yang terjadi, mudah - mudahan keluarga orang yang diberi rantangan dapat merasakan kenikmatan dan kebahagiaan. Demikian pula keluarga pamong desa, dan orang -- orang terpandang itupun dapat merasakan kebahagiaan dan bangga, karena dapat membahagiakan orang lain dan keluarganya. Perbuatan seperti ilustrasi ini, hakekatnya merupakan ungkapan rasa syukur atas karunia-Nya.
Kalau perbuatan seperti ilustrasi tadi dibudayakan atau dibiasakan dalam hidup dan kehidupan sehari--hari, mudah -- mudahan Allah memasukkan kita ke dalam kelompok orang-orang yang pandai bersyukur. Karena bersyukur itu, hakekatnya untuk diri kita sendiri. Surat Luqman ayat 12. Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu :" Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji".                        Â
Tampaknya sangat mudah bukan? untuk menyatakan kata syukur. Tetapi dalam pelaksanaannya, ternyata tidak semudah seperti saat mengucapkan atau mengatakannya. Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â