Artikel ini merupakan serial Menggapai Derajat Takwa, namun mulai artikel ke 3 ini dan selanjutnya, judul disesuaikan dengan rangkaian cara untuk menggapai derajat taqwa.
Takwa tidak dapat digapai hanya dengan menghimbau atau mengajak orang: mari kita tingkatkan iman dan takwa kita, mari kita tingkatkan iman dan takwa kita, mari kita tingkatkan iman dan takwa kita, kemudian Allah mengutus malaikat untuk menyetempel jidat orang tersebut "iman dan takwamu meningkat". Sekali lagi tidak! Justru yang wajib kita lakukan adalah, bagaimana cara mengamalkan firman Allah dengan benar dan tepat agar derajat takwa kita meningkat. Untuk itu mari kita ikuti uraian selanjutnya.
Ada kata - kata indah untuk menggambarkan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, yaitu bak dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Artinya. Kalau kedua sisi mata uang tersebut dipisahkan, sudah bukan uang lagi namanya dan sudah tidak punya nilai atau sudah tidak berharga lagi. Senada dengan ungkapan indah tadi, tampaknya akan bijak bila digunakan untuk memahami makna batiniyah takwa, yaitu bak dua sisi mata takwa, yang tidak dapat dipisahkan. Artinya, sudah tidak bermakna takwa lagi, bila kedua sisi dipisahkan.
Apa kedua sisi mata takwa tersebut? Untuk memahaminya, mari kita simak surat Al Baqarah ayat 177.Â
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Sisi pertama yaitu beriman atau percaya kepada:Â Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi. Sisi ini merupakan cara untuk membangun pondasi diri, dalam mengenali siapa sejatinya manusia. Sebagai perwujudan sabda Nabi, kenalilah dirimu niscaya mengenal Tuhanmu (Arab="man arofa nafsahu wakot arofa robbahu"). Dengan terbangunnya pondasi kokoh dalam diri setiap manusia, insya-Allah akan dapat memancar luaskan si'ar Islam ke seluruh penjuru dunia.
Sisi pertama ini sungguh sangat berat, karena semuanya bersifat gaib atau tan kasat mata, kita tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri. Dan hanya didasari atas iman atau percaya dan meyakini akan kebenaran dan keberadaannya. Sudahkah kita dapat mengamalkannya dengan baik?Â
Mari kita uji bersama. Boro -- boro yang tidak kelihatan dapat dilaksanakan dengan baik, selagi yang tampak nyata saja dilanggar seenaknya tanpa merasa bersalah. Misal. Waktu berkendaraan sampai di lampu lalu lintas, jelas -- jelas lampu menyala berwarna merah, terabas saja tanpa merasa bersalah.
Kita selalu berucap Allah Maha Kuasa, dalam kenyataan sering kita melihat diberi uang agar membunuh orang, menghujat orang, memfitnah orang, merusak tempat kegiatan orang, berbuat onar dan lain -- lain perbuatan jahat, dilaksanakan. Dengan mengucap: Allahhuakbar, dengan bangganya lalu membunuh orang, Allahhuakbar dengan bangganya lalu melakukan perbuatan tercela sesuai perintah pemberi uang. Sadarkah bahwa sesungguhnya perbuatan tersebut menunjukkan uang lebih berkuasa dari pada Allah yang katanya diimani dan dicintai? Hati -- hati, mengimani bukan hanya sampai diucapan belaka, tetapi hendaknya tercermin di dalam tingkah laku, perbuatan dan tutur kata sehari -- hari.
Untuk melatih diri dalam mewujud - nyatakan iman kepada Allah Dzad Yang Maha Gaib, hendaklah kita memahami siapa diri kita ini. Karena sesungguhnya manusia itu terdiri dari dua unsur, yaitu unsur yang tampak nyata atau lahiriyah dan unsur tan kasat mata atau gaib atau batiniyah. Untuk mengingat kembali, dapat dibaca ulang artikel dengan judul Siapa Aku 1 s - d 7. Jadi kalau memang kita mengimani atau mempercayainya, hendaklah diyakini dan dilaksanakan secara utuh lahir dan batin, tidak hanya berhenti sampai dibibir belaka.
Sering kita mendengar sang penceramah atau sang penyampai risalah atau sang pemuka agama mengatakan, mari kita tingkatkan iman dan takwa kita, mari kita tingkatkan iman dan takwa kita. Apakah dengan cara menghimbau dan mengajak demikian, dengan serta merta iman dan takwa kita meningkat? Tidak, sama sekali tidak. Mestinya dan yang utama adalah bagaimana cara atau upaya yang harus kita lakukan, agar kadar ketakwaan kita meningkat. Caranya?