Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Sarjana, Apoteker

Pendidikan terakhir, Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: Sarjana lulus November 1975, Apoteker lulus Maret 1977. Profesi Apoteker, dengan nama Apotek Sido Waras, sampai sekarang. Pensiunan Pegawai Negeri Sipil tahun 2003, dengan jabatan terakhir Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Lampung Timur. Dosen Jurusan Farmasi, Fakultas MIPA Universitas Tulang Bawang Bandar Lampung, Januari 2005 sampai dengan Desember 2015.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tamparan Bangga

19 Januari 2019   08:05 Diperbarui: 19 Januari 2019   08:25 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Puji syukur patut penulis sanjung agungkan kehadirat Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa, karena dengan selesainya ujian Apoteker dan juga selesainya kegiatan ujian Negara Analis, berkuranglah volume kegiatan sehari-hari. 

Namun demikian tidak berarti, lalu penulis bersantai-santai sambil menunggu waktu yudisium tiba. Tidak! Sama sekali tidak demikian. 

Karena penulis tetap mempunyai tanggung jawab atas berlangsungnya kegiatan belajar mengajar di pagi hari, dan di sore hari melayani kegiatan praktikum, bagi siswa kelas 1 dan kelas 2 Sekolah Pengatur Analis (SPA).

Dengan kesibukan tadi, tanpa dirasa akhirnya hari yudisium tiba. Pada waktu yang telah ditentukan penulis dan semua teman -- teman peserta ujian, telah datang pagi hari sebelum yudisium dimulai.  

Sambil menunggu waktu yudisium dimulai, kami semua beramai-ramai memindahkan buku -- buku dari Laboratorium ke Perpustakaan. Maklum, karena selama ujian berlangsung, buku -- buku di Perpustakaan dipinjam dan dibawa ke Laboratorium, sehingga seolah -- olah Perpustakaan pindah ke Laboratorium.

Saat membawa setumpukan buku - buku dari Laboratorium ke Perpustakaan, penulis berpapasan dengan bapak dosen Koordinator tingkat. Beliau berhenti dan sudah barang tentu penulispun berhenti, sambil memberi salam. Selanjutnya beliau bertanya, bagaimana keadaan keluargamu?  Alhamdulillah, atas do'a bapak kami sekeluarga sehat, jawab penulis.

Beliau melanjutkan bertanya, kamu jadi pulang ke Lampung menjenguk orang tua? Penulis menjawab, melihat situasi pak. Beliau melanjutkan pertanyaannya, kalau kamu lulus? Pulang, jawab penulis spontan. 

Ya sudah, sahut beliau sambil berlalu menuju ke ruang dosen, dan penulis melanjutkan ke Perpustakaan, mengembalikan buku-buku. Penulis tidak memahami, apa maksud dibalik kata -- kata beliau tadi.

Penulis dan semua teman - teman berkumpul menunggu acara yudisium dimulai, dengan harap - harap cemas tentunya. Akhirnya yudisium dimulai. Kami  semua berkerumun, sambil mendengarkan namanya termasuk yang dipanggil atau tidak. 

Panggilan pertama, ternyata penulis tidak termasuk dalam nama -- nama yang dipanggil. Sedangkan teman -- teman yang namanya dipanggil, diminta masuk ke ruang dosen. 

Setelah agak lama, teman -- teman keluar dari ruang dosen. Ternyata teman -- teman tadi termasuk yang harus mengulang dalam waktu 1 bulan, karena tidak lulus 1 mata praktikum.

Panggilan kedua, ternyata penulis juga tidak termasuk nama--nama yang dipanggil. Teman -- teman yang namanya dipanggil, diminta masuk ke ruang dosen. Setelah agak lama, teman -- teman keluar dari ruang dosen. Ternyata teman -- teman tadi termasuk yang harus mengulang dalam waktu 2 bulan, karena tidak lulus 2 mata praktikum.

Sudah barang tentu, hatipun dag dig dug, karena tidak mengetahui berapa kali panggilan akan dilaksanakan. Selanjutnya panggilan ketiga, ternyata penulispun tidak termasuk nama -- nama yang dipanggil. 

Teman -- teman yang namanya dipanggil, diminta masuk ke ruang dosen. Setelah agak lama, teman -- teman keluar dari ruang dosen. Ternyata teman -- teman tadi termasuk yang harus mengulang dalam waktu 3 bulan, karena tidak lulus 3 mata praktikum.

Panggilan yang keempat, penulis termasuk nama-nama yang dipanggil. Alhamdulillah, kelompok yang dipanggil keempat ini ternyata penggilan yang terakhir; Dan  kelompok terakhir ini dinyatakan lulus ujian Apoteker. 

Dengan hati yang berbingar-bingar, kami semua diminta memasuki ruang dosen. Secara bergiliran kami semua menyalami dan mengucapkan banyak terima kasih kepada  para dosen, yang telah membimbing hingga kami lulus Apoteker. 

Tempat duduk dosen, ditata merupakan tatanan atau bangun segi empat untuk memudahkan berjabat tangan. Satu persatu para dosen penulis salami, dan akhirnya sampai di giliran bapak dosen pembimbing praktikum Galenika. 

Beliau mengucapkan selamat atas kelulusan penulis, dan berkata: segera dikawat (ditelegram) orangtuanya untuk menghadiri acara penyumpahan Apoteker di Yogyakarta tanggal 19 Maret 1977. Baik pak, terima kasih atas bimbingan bapak selama ini, mohon maaf bila ada kekhilafan, dan akan segera saya laksanakan saran bapak, jawab penulis.

Demikian seterusnya kepada dosen -- dosen yang lain, hingga akhirnya penulis sampai di hadapan bapak dosen Koordinator tingkat. Begitu sampai didepan beliau, penulis sodorkan tangan kanan untuk menyalami beliau dan berucap terima kasih. 

Tetapi tangan kanan yang  penulis sodorkan, tidak disambut beliau secara spontan, layaknya dosen-dosen yang lain. Penulispun tidak dapat menduga atau mengira, mengapa beliau tidak berkenan menyambut uluran tangan penulis layaknya dosen-dosen yang lain. 

Setelah agak lama menunggu, dengan posisi tangan penulis tetap dalam posisi mau bersalaman, tiba -- tiba plaaak..... telapak tangan kanan beliau menampar pipi sebelah kiri penulis sambil berucap, sangat besar tekadmu. 

Akhirnya semua dosen, mengetahui dongengan atau kisah penulis ini. Atas kejadian tersebut, oleh beliau penulis dipergunakan sebagai contoh untuk menyemangati dan atau memotivasi teman-teman, manakala teman-teman mendapat atau menghadapi suatu masalah ( diceritakan diakhir tulisan ini ).  

Seusai acara yudisium, dengan mengayuh sepeda ontel pulang ke rumah dan setibanya di rumah menyampaikan kabar kelulusan kepada istri. Kabar kelulusan, disambut dengan suka cita oleh istri, yang sedang mengandung anak kedua penulis.

Selanjutnya, berbincang dengan istri. Hendaklah kita wajib bersyukur atas segala karunia yang telah dilimpahkan Allah Swt. Tuhan Yang Maha Kuasa kepada kita. Baik berupa kesehatan kita sekeluarga, ibu sembuh dari sakit dan papa lulus dalam ujian Apoteker, kata penulis. 

Selanjutnya penulis mengusulkan kepada istri, sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Allah Swt. bagaimana kalau pada saat acara penyumpahan Apoteker 19 Maret 1977 di Yogyakarta nanti, ibu didampingi bapak yang menerima ijazah Apotekernya, sedangkan kita mengikuti dibelakangnya, kata penulis. Istri sangat menyetujui, atas usulan penulis tersebut.

Singkat ceritanya orang tua penulis dari Lampung, penulis harapkan tiba di Semarang sebelum tanggal 18 Maret 1977. Demikian juga orang tua istri dari Demak, penulis harap tiba di Semarang tanggal 18 Maret 1977 pagi. 

Alhamdulillah, rencana dapat berjalan sebagaimana diharapkan, dan selanjutnya penulis bersama keluarga besar berangkat ke Yogyakarta tanggal 18 Maret 1977 siang.

Keesokan harinya, rombongan menuju ke Fakultas Farmasi UGM di Skip Utara Yogyakarta. Setelah acara penyumpahan Apoteker selesai, dilanjutkan penerimaan ijazah Apoteker. Begitu giliran penulis dipanggil, rombongan berjalan mendekati mimbar, selanjutnya ibu didampingi bapak yang menerima ijazah Apoteker. Sedangkan penulis, istri dan anak, beserta ibu, bapak dari Demak mengikuti dibelakangnya. Purna mengikuti acara penyumpahan Apoteker, keesokan harinya rombongan kembali ke Semarang dan selanjutnya ibu dan bapak pulang ke Lampung dan Demak.  

Sebelumnya penulis telah menginformasikan, bahwa kejadian yang penulis alami ini dipergunakan oleh bapak dosen Koordinator tingkat sebagai contoh untuk menyemangati dan atau memotivasi teman-teman, manakala mendapat masalah dan berkonsultasi kepada beliau.  Kok penulis dapat mengetahui hal tersebut, begini kisahnya.

Bapak dosen Koordinator tingkat yang inisial namanya Drs. S.M, Apt. sudah penulis anggap layaknya orang tua sendiri, di rantau. Oleh karena itu tidak jarang penulis mengajak istri dan anak-anak, sowan (berkunjung) ke rumah beliau ( keluarga dibiasakan dengan menyebutnya Eyang). 

Tanpa pemberitahuan sebelumnya, penulis sekeluarga berkunjung ke rumah Eyang S.M. Bapak dan ibu S.M. sangat senang menyambut kedatangan kami dan keluarga, lebih -- lebih semua anak -- anak penulis memanggil kedua beliau dengan sebutan Eyang kakung buat bapak, dan Eyang putri buat ibu. 

Kalau dengan bapak sudah tidak dapat dihitung lagi berapa kali penulis bertemu, karena memang beliau adalah dosen penulis. Tetapi kalau dengan ibu, baru sekali itu penulis bertemu. Demikian pula ibu, juga baru kali pertama itu bertemu penulis. 

Setelah duduk dan beristirahat sejenak, ibu mulai bercerita. Selanjutnya berujar, ooo ini to yang namanya mas B.S. Bapak sering menceritakan tentang mas B.S, dan bahkan digunakan sebagai contoh bagi mahasiswa dan atau bekas mahasiswa yang berkonsultasi kepada bapak.

Mas B.S digunakan sebagai contoh, karena menurut cerita bapak didasarkan atas keberanian dan ketepatannya dalam pengambilan keputusan. Dikatakan keberanian dalam pengambilan keputusan, karena resikonya teramat berat yaitu berkaitan dengan hidup matinya orang tua. 

Sedangkan ketepatan dalam pengambilan keputusan, karena atas keputusan tersebut mas B.S tetap mengikuti ujian, hasilnya mas B.S lulus ujian Apoteker dan ibu sembuh dari sakit, tutur bu S.M.    

Dari cerita bu S.M ini, penulis baru mengetahui kalau kisah nyata penulis digunakan pak S.M sebagai pemicu dan pemacu semangat, serta untuk memberi motivasi teman -- teman dalam menggapai apa yang  dicita -- citakannya. Kecuali itu, dari cerita bu S.M juga menginspirasi penulis untuk memberi judul artikel ini, dengan "Tamparan Bangga". 

Karena penulis tahu persis bahwa pak S.M menampar pipi sebelah kiri bukan karena beliau marah kepada penulis, tetapi justru sebaliknya beliau bangga dengan keputusan penulis yang bertaruh nyawa, dan berhasil. 

Alhamdulillah, semoga kisah nyata penulis ini dapat bermanfaat dan menjadi penyemangat, serta dapat memotivasi anak -- cucu generasi penerus bangsa. 

Ucapan terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada para pembaca budiman, yang telah berkenan membaca tulisan ini dan semoga bermanfaat. Untuk selanjutnya, penulis mengharap kiranya para pembaca budiman dapat bersabar sejenak menanti artikel selanjutnya, dengan judul "Hidup Karena Kebiasaan".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun