Contoh sederhana saja, pakaian misalnya. Masing -- masing daerah, mempunyai pakaian kebanggaan sendiri -- sendiri. Sudah barang tentu menurutnya baik, tetapi menurut orang lain  belum  tentu  dikatakan  baik. Yang  penting,  tidak saling mencela. Hendaklah ditumbuh -- kembangkan saling menghormati dan saling menghargai adat istiadat diantaranya.Â
Berbicara tentang pakaian, inipun dapat dipergunakan untuk mengukur kemampuan berlaku adil, terhadap diri sendiri. Hakekatnya pakaian dapat diartikan, pertama sebagai pembeda antara manusia dengan binatang. Kedua, pakaian untuk menutup aurat dan insya-Allah pemeluk Islam sudah memahaminya. Ketiga dan seterusnya pakaian itu untuk meningkatkan rasa percaya diri dalam pergaulan, mempercantik atau memperkeren diri, seiring dengan perkembangan mode pakaian terkini.
Namun perlu diingat, sekeren atau seindah apapun pakaian yang dikenakan sang wadag, akan ditinggalkan pada saat Sang Suci kembali menghadap Yang Maha Suci pada saatnya nanti. Bukan hanya pakaian wadagnya saja yang ditinggalkan, tetapi wadag manusianyapun akan ditinggalkan, dan kembali melalui unsur pembentuknya yaitu: tanah, api, air dan udara/ angin. Kalau pakaian nan indah dan keren, dan wadag manusia ditinggalkan manakala kembali kesisi Yang Maha Suci, lalu pakaian mana yang akan melekat menyertai Sang Suci? Mari dicermati uraian selanjutnya.
Apakah dengan pakaian yang demikian keren dan indah bagi sang wadag, secara otomatis juga memperkeren dan memperindah penampilan Sang Suci? Tidak, sama sekali tidak. Inipun luput dari pengamatan dan pengkajian kita selama ini. Memang benar pakaian itu keren dan indah, tetapi baru untuk satu sisi saja yaitu sisi lahiriyah ( wadag manusia ). Â Sedangkan sisi batiniyah ( Sang Suci ) tidak pernah dipikirkan, apalagi diberinya pakaian yang keren dan indah.Â
Selama ini, manusia terlena dan terbius oleh keinginan -- keinginan sang wadag saja. Lupa akan keinginan, apalagi memberi pakaian keren dan indah bagi Sang Suci. Jadi dalam hal berpakaian selama ini, umumnya manusiapun belum dapat berlaku adil terhadap diri sendiri.
Bila dicermati uraian dalam makna berwudhu dalam artikel "Makanan Yang Sehat Menyehat kan",Â
Memang benar! Perasaan seperti itu adalah wajar. Karena mengawali perbuatan baru dan berupaya meninggalkan perbuatan yang telah lama membudaya, tentu akan muncul perasaan seperti itu. Tetapi apabila sudah melangkah dengan membiasakan hal -- hal baik kedalam tingkah laku, perbuatan dan tutur kata  dalam kesehariannya, insya - Allah perbuatan baik itu selanjutnya akan keluar secara otomatis atau spontan. Tanpa ada rasa berat, yang membelenggu atau membebani perasaan kita.
Karena pada hakekatnya "hidup adalah kebiasaan". Oleh karena itu mari mulai detik ini membiasakan atau membudayakan berbuat suatu perbuatan baik, sesuai dengan apa yang telah diikrarkan atau diniatkan atau dijanjikan.Â
Insya-Allah dengan pembiasaan ini, secara bertahap dan pasti akan dapat mengeluarkan kata - kata dan melakukan perbuatan baik, secara spontan. Kecuali itu kita juga dapat berlaku adil terhadap diri sendiri, karena telah mampu memberikan pakaian indah kedua unsur pembentuk manusia secara seimbang lahir dan bathin. Muara akhirnya akan membentuk diri, menjadi insan yang bertaqwa.Â
Taqwa inilah merupakan pakaian yang paling baik, diantara jenis -- jenis pakaian yang dikenakan untuk sang wadag. Lalu wujud pakaiannya seperti apa? Wujud pakaian taqwa adalah berupa iman dan amal saleh (perbuatan baik) seseorang, dan inilah yang akan menyertai kembalinya Sang Suci menghadap kepada Allah Swt. Tuhan Yang Maha Suci.
Surat Al A'raaf ayat 26. Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah  menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian taqwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda -- tanda  kekuasaan Allah, mudah -- mudahan mereka selalu ingat.