Kerelaan Partai Golongan Karya (Golkar) mensubstitusi calon wakil presiden dari sang ketua umum, Airlangga Hartato dengan Walikota Solo, Gibran Rakabuming Raka belum mampu mengerek elektabilitas hingga menembus dua digit. Menurut hasil survei nasional yang dirilis PatraData (23/11/2023) tingkat keterpelihan partai berlambang pohon beringin ini pada level nasional berada di urutan ketiga dengan angka 6,6%. Dalam survei yang dilakukan 25-30 Oktober 2023, atau pasca pendaftaran Gibran sebagai Cawapres dari Koalisi Indonesia Maju, posisi Golkar jauh di belakang ‘pemuncak klasemen’ PDI Perjuangan yang meraup skor 20,8 %. Atau selisih 12,3% dari Gerindra yang berada satu setrip di atasnya.
Opini ekstrim ditunjukkan dalam jajak pendapat yang dilaksanakan secara daring (online) melalui Pollingkita.com. Dimana dari 13822 audiens, Golkar hanya mendulang 2,3% yang menempatkan mereka di tangga ketiga belas atau berada di bawah nilai ambang batas parlemen (<4%).Â
Sementara pada survei Indikator Politik Indonesia yang dihelat sebelum Golkar mengumumkan secara resmi mendukung putra pertama Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, Sabtu (21/10/2023) silam, mereka sukses mengemas 9,4% suara. Kemudian Lembaga Survei Indonesia mengungkap elektabilitas Golkar mendekati Pemilu serentak 2024 masih berada di bawah 10%, tepatnya 7,4%. Berdasarkan survei yang dilakukan pada 16-18 Oktober 2023 peringkat Golkar berada di bawah PDIP (23%) dan Gerindra (17,1%).
Merujuk dari survei tersebut tampaknya Golkar belum lepas dari 'kutukan' penurunan suara secara nasional sepanjang pelaksanaan Pemilu di era reformasi. Bila melongok ke belakang, saat pemilu 1999 Golkar mampu menuai nila 22,43%. Namun elektabilitas mereka turun ke angka 21,57% pada pemilu 2004. Penurunan drastis terjadi pada Pemilu 2009 tatkala mereka hanya sanggup mengutip 14,45%.
Catatan positif sempat ditorehkan Golkar saat dipimpin yang berhasil memperoleh suara sebesar (14,75%). Sayang, suara Partai yang pernah berkuasa di era Orde Baru itu kembali anjlok di Pemilu 2019, yakni 12,21%.
Dengan kondisi tersebut kita bisa memaklumi langkah Partai Golkar yang mengobral tiket cawapres kepada kader PDI Perjuangan, Gibran. Layaknya cut loss, tindakan yang diambil pemangku kekuasaan di Golkar diharapkan menjadi jurus jitu agar tidak mengalami kejatuhan elektabilitas yang lebih dalam lagi. Padahal keputusan Musyawarah Nasional Golkar 2019, lantas dikuatkan lagi lewat Rapat Pimpinan Nasional 2021 sepakat mendorong Airlangga Hartanto menjadi Calon Presiden pada Pemilihan Presiden 2024 nanti. Hanya saja, Menteri Koordinator Perekonomian Indonesia itu tak punya ‘nilai jual’ yang signifikan sehingga layak dipinang oleh para koleganya di Koalisi Indonesia Maju. Bahkan Koalisi Indonesia Bersatu yang diinisiasi pun bubar. Koalisi ini layu sebelum berkembang lantaran Partai Persatuan Pembangunan memilih hijrah ke kubu Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Menyusul kemudian Partai Amanat Nasional yang hengkang karena lebih cozy dengan Koalisi Indonesia Maju, yang sebelumnya bernama Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya.
Tak tahan sendirian, Golkar lantas merapat ke KIM. Seperti diketahui bersama, selanjutnya Golkar memantabkan diri ‘Menguningkan’ Gibran untuk kemudian mengusulkannya sebagai bakal cawapres dari Prabowo Subianto.
Mungkin terlalu dini untuk menyimpulkan dari hasil pelbagai survei terakhir yang memperlihatkan rendahnya preferensi publik pemilih terhadap Golkar buah dari kegagalan mereka mengasosiasikan Gibran sebagai partai dengan jersey kuning ini. Pasalnya sejak awal Prabowo-lah yang getol dan lebih dulu menjalin persuasi dengan Gibran. Sehingga masyarakat mempersepsikan partai Golkar sebagai 'proxy' dari Gerindra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H