Mohon tunggu...
Abdus Salam As'ad
Abdus Salam As'ad Mohon Tunggu... wiraswasta -

Saya hanya ingin belajar

Selanjutnya

Tutup

Politik

Agama dalam Pusaran Politik

24 Oktober 2016   19:37 Diperbarui: 24 Oktober 2016   19:53 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kontestasi politik baik lokal maupun nasional menjadi perhatian public, lebih-lebih pilkada DKI.  Nalar politik yang belum begitu mengendap dan ,menjadi pilihan politik rakyat seringkali dijadikan momentum untuk melaukan kampanya hitam bagi rival politik lainnya. Sehingga yang membuat gaduh buka persoalan visi dan misi para kontestan dalam memajukan Negara bangsa dari keterpurukan, tetapi isu SARA, Etnis yang menjadi magnet untuk sekedar meraih simpati public. Tentu ini terjadi karena dilatari oleh rapuhnya masyarakat warga mengenai pemahaman dan esensi politik. Kampanya konvensional yang menabur kebencian antara para pendukung kontestan politik maisih menjadi langgam politik Indonesia

Tahun 2004, ada fatwa haram dari Kiyai terkenal yakni  Mas Subadar Pasuruan yang memfawatkan haram bagi umat Muslim untuk memilih pemimpin perempuan. Gonjang ganjing itu menuai pro dan kontra, tetapi fatwa itu meredup setelah Megawati memilih Wakil Presiden Hamzah Haz dari Partai Persatuan Pembangunan ( PPP). Belajar dari kasus fatwa politik inilah kita seringkali memiliki nalar politik yang dangkal terkait politisasi agama dalam persoalan politik praktis. 

Tak bisa dipungkiri agama dan kekuasaan seolah setali mata uang yang sulit dipisahkan. Persoalan keagamaan seringkali terseret dalam ruang politik yang pada titik tertetntu profan sementara agama adalah berdimensi suci. Akan tetapi faktanya, kedewasaan politik masyarakat Indonesia sampai detik ini belum mencerminkan sikap politisi yang berorientasi kepada kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, tetapi tak lebih kepentingan sesaat

Tidak heran dalam argumentasinya Robert N Bellah menyampaikan bahwa dalam sejarahnya agama menjadi alat legitimasih super canggih bagi publik.  Hingar bingarr yang menerpa DKI tak luput dari isu SARA. Baru baru ini pernyataan Ahok calon petahana terkait surat Almaidah ayat 51 dinilai menistakan agama dan melukai hati umat Islam. 

Pelecehan itu kemudian pada tangal 7 Oktober dilaporkan oleh teman-teman Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) yang terdiri dari Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah ( PPPM) Ikatan Mahasiswa Muhmmadiyah  ( IMM) dan Ikatan Pelajar Muhammadiyah ( IPM) ke Polda Metro Jaya. Respon publik terpecah mengenai pernyataan Ahok terkait surat Almaidah ayat 51 itu. Di satu sisi pernyataan Ahok menjadi bukti otentik akan penistaan dan penghinaan terhadap agama, sementara  ada kelompok lain menilai pernyataan Ahok  jika dipahami secara utuh tidak ada kalimat yang menghina agama.

Kontestasi politik DKI sunguh menjadi perhatian publik, tentu ini terjadi karena DKI menjadi barometer politik nasional. Maka wajar jika respon publik begitu  tersita oleh konstelasi politik DKI. Rasionalisasi politik sampai dewasa ini masih ada dalam bayang-bayang, hal ini dampak dari kegagalan partai politik dalam melakukan pendidikan politik kepada warga Negara. 

Politik dimaknai an sich dalam meraih kekuasaan  tanpa memijakkan diri terhadap etika politik dan moralitas politik. Dan pada gilirannya politik seringakli terjerembab jauh dalam kubangan politik segala cara. Realitas politik tidak berbanding lurus dengan cita-cita mulia politik untuk mempercepat kesejahteraan rakyat. Alih alih berpolitik untuk membela rakyat kecil untuk meraih kesejahteraannya, justru rakyat dijadikan barang komoditi yang selalu diperdagangkan dalam momentum kontestasi politik.

Perdebatan agama yang berdimensi transendensi dan bukan menjadi bagian dari politik praktis sulit dielakkan, karena sepanjang sejarahnya agama dan politik kekuasaan tak bisa dimungkiri bahwa agama menjadi jubah guna meraih simpati public. Agaknya, bukan persoalan misi agama yang menjadi proyeksi utama. 

Agama hadir dalam rangka menabur perdamaian bagi seluruh umat, tetapi ketika agama masuk kedalam pori-pori politik praktis, maka dengan sendirinya  tercerabut dari misi profetiknya sebagai tenda perdamaian bagi seluruh alam.belum lagi manakala ada institusi agama dalam hal ini MUI yang seolah memiliki hak otoritatif dalam menafsirkan, menilai, memberikan fatwa apakah perilaku sosial dan politik itu telah mencederai misi agama seperti yang dilakukan AHOK .Implikasinya adalah bahwa selain MUI tidak memiliki kemampuan untuk menilai atau menafsirkan terkait dengan agama itu sendiri

Dalam konteks ini nalar dan hati yang jernih menjadi pangkal tolak yang mendasar agar kita tidak buru buru dan membabi buta meletakkan pilkada DKI itu murni persoalan agama. Agaknya politisasi agama dalam kontestasi pilkada DKI tidak bisa dihindari. Hanya saja yang agak laku dijual dan menjadi magnet dalam menghadang salah satu calon bukan berasal dari agama mainstream yakni Ahok yang beragama Nasrani, maka ayat 51 yang dijadikan alasan mengelinding dan menjadi viral sosial dan protes sosial dan menuntut dan menghakimi Ahok.

Terlepas banyak tafsir terkait dengan surat Almaidah ayat 51 itu, andaikan perdebatannya itu murni agama, maka implikasinya biasa-biasa saja. Jika ada resistensi mengenai kata auliyaapakah bermanka pemimpin atau sekutu, teman akrab atau sahabat public utamanya umat Islam tidak sedahsyat ketimbang yang menyampaikan adalah Ahok yang beragama Nasrani. Iniah letak persoalannya bahwa agama telah terseret jauh dalam pusaran politik praktis dimana dalam titik kita belum bisa bersikap secara wajar dan bijaksana. Oleh karena itu, realitas di atas menjadi ujian dalam keberagamaan kita, apakah, apakah agama yang kita yakini ini berbanding lurus dengan perilaku sosial kita dalam menjalan agama yang benar-benar rahmatal lilalamin[]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun