Oleh.Abdus Salam *)
Penulis adalah Dosen STISIP Muhammadiyah Madiun dan Sekretaris DPD IPSPI Jatim
Â
Patut diapresiasi, perhelatan akbar dengan berbagai bentuk dan kreatifitas yang dilakukan oleh pekerja sosial Indonesia. Kegiatan yang dipelopori oleh Dewan Pimpinan Daerah Jawa Timur  Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia ( DPD IPSPI Jatim) melakukan aksi serentak pada tanggal 15 Maret 2016 diberbagai daerah seperti di Malang, Kediri, Madura, Madiun, begitu juga di Surabaya Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial Universitas Wijaya Kusuma ( UWK)  bekerjasama dengan pekerja sosial melakukan aksi turun  jalan bertempat di Taman Bungkul yang dilaksanakan pada tanggal 20 Maret, sementara di Universitas Negeri Jember Himpunan Mahasiswa Ilmu Kesejahteraan Sosial (HMJ IKS) bekerja sama dengan pekerja sosial dan beberapa LSM  melakukan diskusi publik  pada tanggal 22 Maret 2016
Tanggal 15 Maret menjadi bukti sejarah  mengenai hari pekerja sosial sedunia. Publik harus mengetahui dan memahami bahwa saat ini pekerja sosial yang bergelut untuk membantu dan terlibat dalam menuntaskan masalah  sosial yang tidak berujung. Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial  (PMKS)  merupakan masalah klasik  dimana Negara seolah diam dan tidak memiliki political will untuk menyelesaikannya. Kemiskinan, kebodohan, HIV, kekerasan terhadap anak, KDRT, Narkoba menjadi fakta sohih yang sering disuguhkan kepublik akhir-akhir ini. Tentu ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua para pegiat dan aktifis HAM, pekerja sosial di republik ini. Lebih-lebih negara dengan segala kewenangannya agar persoalan PMKS ini tidak hanya menjadi perbincangan bahkan dagangan politik tetapi tidak riil dalam mengatasinya.
Kiranya menjadi pemahaman yang jamak bahwa persoalan kemiskinan, kebodohan dan masalah sosial dinilai fakta sosial yang tidak perlu disikapi secara berlebihan. Semua orang bisa jika hanya mengatasi PMKS itu, penilaian seperti ini semakin mengabaikan disiplin keilmuan dari berbagai kampus yang ada jurusan Ilmu Kesejahteraan sosial. Di Jawa Timur, perguruan tinggi yang memiliki jurusan Ilmu  Kesejahteraan sosial seperti Universitas Muhamadiyah Malang (UMM)  Universitas Negeri Jember ( Unej) Universitas Wijaya Kusuma, (UWIKA) Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Muhammadiyah (STISIP) dan Universitas Muhammadiyah Ponorogo ( UMP) meskipun saat ini UMP sudah menutup jurusan itu karena sepinya peminat.
Adanya anggapan dan simplikasi mengenai penanganan PMKS berdampak pada  terhadap komitmen negara dalam menuntaskan secara serius problem PMKS. Maka wajar kebijakan politik yang dilakukan negara tidak menyelesaikan persoalan PMKS secara utuh, tetapi parsial dan berjangka pendek. Logika negara yang miopis berimplikasi kepada produk politik kebijakan yang pada gilirannya melahirkan masalah baru. Munculnya bantuan sosial yang lebih berdimensi carity  tidak mencerdaskan dan memberdayakan masyarakat, tetapi justru memanjakan masyarakat itu sendiri.
Kehadiran pekerja sosial seperi satuan bakti pekerja sosial ( sakti Peksos)  Institusi Wajib Lapor ( IPWL) Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) Program Keluarga Harapan ( PKH) profesi mulya dengan kemampuan luar biasa dan professional dalam menangani aneka kasus di lapangan. Tetapi di sisi lain para pekerja sosial ini seringkali disepadankan dengan pekerjaan sosial yang tidak berdimensi pengetahuan yang memadai. Anggapan bahwa semua orang bisa menjadi pekerja sosial dan terlibat dalam pekerjaan sosial merupakan anggapan yang tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Hal ini terjadi karena negara kurang serius  menempatkan pekerja sosial professional dalam menangani berbagai kasus sosial yang terjadi. banyak kasus yang ditemukan oleh para pekerja sosial bahwa pemerintah daerah yang masih asing dengan istilah pekerja sosial, anehnya UPTD sebagai mitra peksos kurang berjalan harmonis. Hal timbul karena pemahaman yang berbeda mengenai peran pekerja sosial yang ada.
Beberapa kasus yang dilaporkan ke Dewan Pimpinan Daerah Ikatan Pekerja Sosial Profesional  Indonesia Jawa Timur ( DPD IPSPI Jatim  ) oleh para  pekerja sosial di Jawa Timur misalnya bahwa ada kendala teknis bahkan substantive yang sering ditemui oleh pekerja sosial satuan bakti ( sakti Peksos) maupun oleh IPWL. Perlakukan dinas sosial atau UPTD yang tidak paham dan respek terhadap pekerja sosial sebagai mitra menjadi penanda bahwa negara dalam hal ini pemerintah rapuh dan kurang serius dalam menuntaskan problem sosial yang terjadi
Menjadi keniscayaan yang tidak bisa dielakkan, bahwa peran pekerja sosial dalam menangani persoalan sosial tidak bisa ditawar lagi. Momentum hari pekerja sosial sedunia menjadi coretan sejarah agar publik memahami dan mengerti bahwa pekerja sosial profesional itu berbeda dengan  relawan, pekerja sosial dimana selama ini disalah artikan seperti kerja bakti, gotong royong dimana semua orang bisa.
Tentu menjadi refleksi bersama dan menjadi pemahaman bersama bahwa pekerja sosial sebagaimana disepekati dalam pertemuan Fiderasi Pekerja Sosial Internasional di Montreal, Kanada pada Juli 2000 menegaskan bahwa pekerja sosial sebagai upaya dalam mempromosikan terciptanya perubahan sosial, pemecahan masalah pada relasi manusia, serta pemberdayaan dan pembebasan manusia untuk mencapai derajat kehidupan yang lebih baik. Pekerjaan sosial mengintervensi ketika seorang berinteraksi dengan lingkungannya. Prinsip-prinsip hak asasi manusia dan keadilan sosial merupakan hal yang fundamental bagi pekerjaan sosial ( Isbandi: 2013.18)