Bulan Maretmenjadi hantu yang menakutkan bagi sebagian kalangan pelaku PNPM utamanya pendamping. Ketakutan yang berlebihan melahirkan sikap dan proses fasilitasi yang membabi buta tanpa berpijak pada aturan main dan substansi yang ada. Dan pada gilirannya, pertaruhan antara idealisme dan substansial programhanya menjadi dealektika utopis dimana akhirnya BLM dicairkan.
Pragmatisme ternyata mengendap dan mengalir tidak hanya di masyarakat. Dalam konteks Community Development dan Community Organizer ( CO/CD) masyarakat adalah kilauan permata yang berserak. Oleh karenanya, dibutuhkan Fasilitator dari level paling bawah yang memiliki idealisme dan memahami secara utuh substansi pendampingan masyarakat terkait pengendalian BLM. Maka akan menjadi sejarah buruk bagi masyarakat jika Fasilitatornya rabun terhadap substansi pemberdayaan dan hanya memikirkan BLM cair dengan alasan para juragan itu bisa tersenyum ( ABS) alih-alih akan melahirkan masyarakat yang berpegang teguh pada nilai-nilai dansubstansi BLM, justru pendampingnya memiliki perilaku instans dan pragmatis. Inilah dosa terbesar yang telah diwariskan oleh Fasilitator kepada masyarakat. Sejatinya Fasilitator yang dinilai paham subtansi program, mekanisme program dengan baju kebesarannya sebagai agen perubahan sosial bersikap tegas dengan kode etik yang dimiliki. Bukan mengikuti arus masyarakat dengan logika yang penting BLM cair, benar dan salah itu urusan nanti. Lebih celaka manakala ada Fasilitator lebih mengedepankan konsensus buta dengan dalih yang penting tidak gegeran dan BLM bisa dimanfaatkan.
Kiranya bukan rahasia umum bahwa Peraturan Menteri Keuangan 168 ( PMK 07)2009 seringkali menjadi rujukan normatif. Tentu tak perlu dirisaukan jika kita membaca secara utuh. Pemahaman yang menyesatkan manakala PMK 168 itu hanya dimaknai bahwa BLM harus bisa disalurakan maksimal tanggal 31 maret setelah tahun anggaran berakhir. Jika kita mengkiritis bahwa PMK 168 itu tidak hanya berbicara masalah uang(DUB). Dalam pasal 4 ayat (1) misalnya disebutkan Pendanaan urusan bersama pusat dan daerah untuk penanggulangan kemiskinan ditujukan untuk kelompok penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat yang terdiri atas program-program yang bertujuan untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat. Hal ini juga diperkuat dengan pasal 13 (1) DUB disalurkan secara langsung kepada masyarakat, kelompok dan /atau lembaga partisipatif masyarakat dalam bentuk uang (2) DUB yang telah ditransfer ke rekening masyarakat, kelompok masyarakat dan /atau lembaga partisipatif masyarakat harus telah dimanfaatkan sesuai dengan rencana selambat-lambatnya 3 ( tiga) bulan setelah tahun anggaran bersangkutan berakhir (3) pabila dalam jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (2) dana tersebut belum bias dimanfaatkan maka dana tersebut harus disetorkankerekening kas umumNegara
Kita seringkali menafsirkan pasal 13 itu secara membati buta tanpa mengkritisi pasaldemi pasal yang ada. Pasal 13 dijadikan rujukan satu-satunya dan mengabaikan pasal yang lain, salah satunya pasal 4. Siapa bilang BLM itu tidak penting, siapa yang tidak setuju bahwa BLM itu sangat bermanfaat terhadap masyarakat miskin. Tetapi kurang bermakna jika BLM dijadikan satu-satunya tujuan yang kemudian mengabaikan peningkatan kapasitas warga miskin untuk terlibat dalam pembangunan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat itu. Dan pada gilirannya nanti, Fasilitator dan masyarakat berselingkuh dan menilai keteraturan sosial masyarakat ( social order) lebih utama ketimbang berpegang teguh pada idealisme dan subtstansi tapiberkonflik dengan masyarakat
Ada beberapa hal yang saya yakini bahwa munculnya paradigma bahkan mainstream BLM Yes dan Substansi NO lantaran tidak kompaknya kita sebagai pendamping masyarakat. Maka bisa ditelusuri pemahaman praktis dan pragmatis ini karena dilatari berbagai hal. Pertama ada sebagian Fasilitator yang hanya berpikir BLM minded tanpa berpijak kepada mekanisme , tahapan dan ketentuan yang telah ditetapkan oleh program. Model Fasilitator seperti ini seringkali berasumsi tidak mau ribet, masyarakatnya( LKM-UP-UP dan KSM) sulit ditemui, sulit diajak musyawarah. Kedua ada Fasilitator yang memiliki idealisme berpegang teguh pada substansi program, lebih baik berkonflik atas nama idealisme dan subtansi ketimbang melacurkan diri atasnama BLM cair. Tragisnya, Fasilitatornya idealis –substantif, tetapi tim Koorkot justru menyalahkan Tim Fasilitator bahkan menuding TIM Fasilitator kurang memfasilitasi, salah komunikasi kepada masyarakat. Tudingan tidak mendasar ini melahirkan delegitimasi struktural dan substansial yang mengakibatkan masyarakat tidak lagi mengaparesiasi dan mengubris apa yang disampaikan oleh Tim Fasilitator. Ketiga Tim koorkot yang tidak satu bahasa dan satu pemahaman mengenai substansi BLM. Pemahaman yang berbeda itu lahir karena kurang koordinasi dan komunikasi diinternal TIM Koorkot, sehingga dalam proses pengambilan keputusan mengenai dicairkan atau dimanfaatkannya BLM kepada masyarakat seringkali parsial dan saling melempar tetapi sembunyi tangan. Keempat disatu sisi kehadiran SPF membantu memperlancar dan mempercepat proses pencairan dari KPPN kepada masyarakat melalui LKM/BKM. Tetapi disisi lain kehadiran SPF tidak sedikit memantik konflik di internal TIM Fasilitator yang seringkali dengan bangganya mengatakan bahwa dirinya adalah bukan bagian dari TIM Koorkot tetapi dari KMW yang ditugaskan kepada TIM Koorkot. Logika struktural seperti ini SPF merasa superior ketimbang TIM Koorkot sehingga terkadang mengabaikan kaidah dan etika dalam proses fasilitasi BLM. Tragisnya, manakala SPF itu tidak berkoordinasi dengan TIM Koorkot terkait dengan kegiatan TRIDAYA. Padahal yang melakukan verifikasi layak dan tidak layak dimanfaatkan BLM kepada masyaakat adalah TIM Koorkot sesuai dengan kapasitas yang dimiliki itu.
Oleh karena itu, sejatinya kita selaku pendamping memposisikan koordinasi dan komunikasi dan memahami tugas dan fungsi menjadi penting guna mengeleminir kekeliruan yang ada. Saya pikir sudah diatur secara jelas dalam Master Standart Accountability Personal ( MSAP). Semoga dengan memahami tugas dan fungsi itu baik dari level Fasilitator-Tim Koorkot-SPF berimplikasi pada efektifitas pendampingan di lapang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H