Mohon tunggu...
said abdullah
said abdullah Mohon Tunggu... Bankir - Politisi

Senang Membaca dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Money

DPR Dorong Bentuk Pansus Mafia Kartel Nikel

29 November 2019   14:11 Diperbarui: 29 November 2019   14:21 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

JAKARTA-Munculnya godfather atau mafia yang mengatur harga nikel terus mencuat ke permukaan. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengusulkan pembentukan Panitia Khusus (Pansus) terkait dengan dugaan permainan kartel perdagangan nikel.

Angota DPR RI, MH Said Abdullah menjelaskan Pansus ini dibentuk guna memberantas para mafia yang bermain dalam tata niaga ekspor nikel di Indonesia

"Saya mendengar, ada godfather di bisnis nikel ini. Ini tidak sehat. Dan mari kita babat sampai ke akar-akarnya," ujar Said di Jakarta, Jumat (29/11).

Menurut Said, bisnis nikel saat ini sangat tidak sehat lantaran dimonopoli segelentir pengusaha. Para pengusaha kakap ini memberi upeti kepada penguasa. Sementara pengusaha kecil yang berbinis nikel ini dipinggirkan.

Karena itu, Said meminta pemerintah bertindak tegas kepada "mafia" yang diduga menguasai proses tata niaga nikel di Indonesia. Saat ini terang Said, pelarangan ekspor nikel berpotensi menelantarkan 26 smelter yang masih dalam proses pembangunan. Hal itu lantaran pemilik smelter dapat mengumpulkan dana dari penjualan bijih nikel kadar rendah.

"Hingga saat ini pemerintah belum memberikan solusi pembiayaan terhadap pembangunan 26 smelter yang sedang berjalan dan membutuhkan banyak biaya untuk penyelesaian," tandasnya.

Dengan begitu, lanjut dia, kondisi tersebut yang menguatkan potensi adanya mafia nikel yang bermain. "Ini sudah pasti mematikan pengusaha local," ulasnya.

Salah satu modus operandi yang dilakukan mafia nikel melalui surveyor-surveyor yang dipakai saat transaksi antara perusahaan pertambangan dengan smelter.

Dalam proses itu, pengujian kadar nikel yang dilakukan pembeli tidak dilakukan oleh lima surveyor yang ditunjuk pemerintah, yakni Sucofindo, Surveyor Indonesia, Carsurin, Geo Service, dan Anindy

"Jika ada persoalan hasil lab maka kedua belah pihak menjuk pihak 3. nah posisi penambang nikel tambah hancur karena kalau sudah barang sampai di tempat tujuan dan akan balik perlu biasa besar sekali. Apalagi, pihak ke 3 itu pasti pembeli alias smelter yang akan melakukan survei ," jelasnya.

Menurut Said,  biang kerok lahirnya kartel nikel ini muncul sejak terbitnya regulasi Permen ESDM 25/2019 tentang pelarangan ekspor nikel yang sebenarnya jatuh pada 2022. Namun Permen ini dianulir dengan terbitnya Permen ESDM 11/2019 yang menyebutkan pelarangan ini menjadi pada 2020.

Sikap inkonsistensi ini menimbulkan ketidakpastian hokum bagi pelaku usaha. Sebab, aturan baru ini mengharuskan pelaku usaha mengubah rencana bisnisnya, dari awalnya tahun 2022, sekarang menjadi 2020.

"Saya menduga, Permen ini hasil kongkalikong antara oknum pejabat ESDM dengan oknum pengusaha," jelasnya.

Said menilai Permen ini ibarat hantu yang tiba-tiba keluar tanpa proses. Hal ini mengkonfirmasikan adanya dugaan praktik KKN yang dilakukan pejabat di lingkungan ESDM dibalik terbitnya Permen ini.

"Permen ini pintu masuk terjadinya kejahatan kartel yang pada gilirannya menyebabkan berkurangnya pajak Negara," jelasnya.

Karena itu, Said mendesak Kementerian ESDM mencabut Permen tersebut. Pasalnya, Permen itu hanya menguntungkan segelintir pengusaha smelter besar.

"Sudah jelas-jelas ketentuan ini dibuat untuk kepentingan pihak-pihak tertentu saja, yakni perusahaan besar. Jadi, harus dicabut," ujarnya.

Said mengatakan terbitnya Permen ESDM 11/2019 tersebut pelarangan ini menjadi pada 2020 berimplikasi pada sisi kepastian hukum baik pada pertambangan atau end user-nya. Hal ini akan berdampak terhadap pelemahan ekonomi nasional.

"Ini akan jadi problematik konsistensi kebijakan pemerintah. Saya juga minta kepada Bakamla menghentikan upaya mensubordinasi tugas bea cukai dilapangan," terangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun