Terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden RI periode 2024-2029 mengubah peta perpolitikan di Indonesia. Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang selama 10 tahun terakhir menjadi oposisi pemerintah perlahan menjalin komunikasi dengan sejumlah partai di Koalisi Indonesia Maju (KIM). Perlu diingat kembali pada pilpres 2019, PKS merupakan salah satu partai yang saat itu mendukung pencalonan Prabowo dan Sandiaga Uno, sehingga tidak mengherankan jika PKS secara perlahan masuk ke dalam koalisi partai Gerindra.Â
Peristiwa besar dalam politik juga akan terjadi dalam beberapa bulan ke depan. Era kekuasaan Presiden Joko Widodo selama 10 tahun juga akan segera berakhir. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih sangat diharapkan mampu membawa perubahan yang lebih baik ke dalam iklim demokrasi kita saat ini. Sayangnya, hal tersebut berjalan kurang baik. Menuju Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024, beberapa daerah diprediksi hanya akan diikuti satu paslon saja melawan kotak kosong.Â
Isu terkait kotak kosong ini berhembus kencang setelah partai-partai yang awalnya berada pada barisan perubahan pada pilpres kemarin, perlahan mulai merapat ke KIM yang mengusung keberlanjutan dari pemerintahan sebelumnya. Di DKI Jakarta yang notabene sebagai episentrum politik di Indonesia, diperkirakan juga akan diikuti satu paslon melawan kotak kosong. Walaupun pada akhirnya, pasangan Dharma-Kun akan ikut dalam kontestasi lewat jalur independen, setelah dinyatakan lolos verifikasi faktual untuk maju pada Pilkada Jakarta 2024 (setelah mendapatkan 677.468 syarat dukungan).Â
Namun aneh rasanya jika nama Anies Baswedan dan Ahok tidak ambil bagian dalam pilkada Jakarta tahun ini. Mengingat dalam beberapa hasil survei, keduanya berada pada posisi teratas sebagai sosok populer yang sangat diinginkan masyarakat untuk memimpin Jakarta dalam 5 tahun ke depan.Â
Tidak hanya di Jakarta, di sejumlah daerah di Indonesia juga berpotensi terdapat banyak kotak kosong jika koalisi KIM, PKS, Nasdem, dan PKB bersatu. KIM Plus yang berisi partai-partai besar itu kemungkinan hanya akan melawan satu partai besar saja, PDI Perjuangan (PDI-P).Â
Tentu saja kondisi ini membuat PDI-P dipastikan akan kesulitan melawan KIM Plus di beberapa daerah, mengingat mereka tidak sepenuhnya berhasil memperoleh kursi untuk bisa mencalonkan kadernya seorang diri. Di Jakarta, Anies Baswedan sebagai petahana dan Ahok sebagai mantan gubernur DKI Jakarta periode 2014 adalah sosok potensial yang terancam akan gigit jari jika PDI-P tidak mampu mencari partai koalisi untuk menggenapkan suara partai mereka agar bisa mencalonkan Anies atau pun Ahok. Terlebih lagi, Nasdem sudah dipastikan menarik dukungannya terhadap Anies Baswedan. Â Â
Berdasarkan Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, partai politik baru bisa mendaftarkan pasangan calon di Pilkada bila memenuhi syarat peroleh paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi di DPRD. Saat ini ada 106 kursi DPRD di Jakarta. Sehingga partai yang ingin mendaftarkan pasangan calon harus memiliki sekurang-kurangnya lebih dari 21 kursi.Â
Jika PDI-P serius untuk mengusung Anies atau Ahok sebagai Calon Gubernur Jakarta, masih dibutuhkan setidaknya enam kursi tambahan dari partai lainnya. Hal tersebut membuat PDI-P harus berupaya menggaet partai lain agar ikut bergabung.
Dengan melihat situasi politik di Indonesia saat ini, maka tentu yang dirugikan adalah masyarakatnya. Sulitnya calon-calon potensial untuk maju berkontestasi di Pilkada 2024 seperti Anies dan Ahok juga akan terjadi di sejumlah daerah lain. Padahal keberadaan Partai Politik seharusnya mampu mengakomodir kepentingan rakyat dan menempatkannya di atas kepentingan partai dan koalisinya.Â
Potensi Munculnya banyak kotak kosong di pilkada nanti tidak hanya menurunkan kualitas pilkada tahun ini, tetapi juga bentuk kemunduran partai politik dalam menghasilkan kader-kader muda yang berkualitas yang dapat ditawarkan kepada masyarakat.