Dalam dunia tasawuf (sufisme) maupun syair Islam, Maulana Jalaluddin Rumi merupakan sosok yang paling terkemuka pada zamannya bahkan hingga hari ini. Syair-syairnya yang indah, luas, dan dalam, menjadikannya mampu diterima oleh berbagai kalangan, termasuk non-Islam.
Berbagai karyanya telah dibukukan ke dalam beberapa judul, seperti buku Diwan Syamsi Tabris, Ruba'iyyat, Masnawi, dan Fihi Ma Fihi yang telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa sehingga tidak heran bahwa semakin hari, namanya semakin populer.
Selain karya-karyanya, kehidupan pribadi seorang guru dan penyair asal persia ini turut menjadi perhatian. Berdasarkan catatan sejarah, ibunya berasal dari anggota kerajaan khawarimz, bernama mu'mina khatun. Ibunya memiliki garis keturunan dengan khalifah Islam yang keempat, Ali bin Abi Thalib. Sementara ayahnya bernama Bahauddin Walad, memiliki garis keturunan dengan Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.
Setelah ayahnya wafat, Jalaluddin Rumi melanjutkan tugas ayahnya sebagai pendakwah dan guru untuk mengajarkan kehidupan dunia keislaman seperti ilmu-ilmu ketuhanan tradisional, dakwah, mempopulerkan nasehat hukum, serta menegakkan hukum islam. Hal ini cukup mudah, sebab sejak umur belia, Rumi telah menguasai bahasa Arab, ilmu hukum, persajakan, hadits, teologi, logika, matematika, filsafat, juga astronomi.
Keinginanan Rumi untuk terus belajar dan memperdalam ilmu agama terkhusus ajaran sufisme, membuatnya senantiasa mencari guru yang dapat membimbingnya. Setelah ayahnya wafat, Rumi berguru pada Burhanuddin At-Tirmidzi (wafat 1241 M) kemudian melanjutkan kepada Syamsuddin At-Tabriz yang menjadi idola baginya. Siapa sebenarnya Syamsuddin At-Tabriz? Dan mengapa Rumi begitu mengidolakannya.
Muhammad bin Ali bin Malik Daad, yang lebih dikenal dengan sebutan Syamsi At-Tabriz atau Syamsuddin, adalah seorang ulama sufi dari tabris (wilayah di Iran). Lahir pada tahun 1148 M. Di masa kecilnya, ia telah menunjukkan karakter yang berbeda dari teman sebayanya.Â
Saat teman-temannya asyik bermain, Syamsuddin lebih suka menghadiri pelajaran yang berkaitan dengan ilmu sufi. Hal itu yang membuatnya kesulitan menemukan teman sebaya yang sepemikiran dengan dia. Dan membuatnya lebih banyak menyendiri.Â
Orangtua Syamsuddin berpikir bahwa kelesuan anaknya akibat dari adanya keinginan yang tidak dapat ia miliki. Oleh karena itu Syamsuddin pernah bercerita, "Mereka bertanya kepadaku, 'Kenapa engkau begitu sedih? Apakah engkau ingin pakaian yang terbuat dari emas dan perak?' Aku menjawab, 'Tidak, aku justru berharap ada orang yang mengambil pakaian yang sedang kukenakan".
Saat remaja, Syamsuddin pernah mengalami insomnia, dan kehilangan selera makan lebih dari sebulan. Ketika ditanya kenapa dia tidak makan dan tidur, dia menjawab, "Kenapa aku harus makan atau tidur, sedangkan Tuhan, yang membuatkan begini, tidak berbicara langsung kepadaku? Apa perlunya aku tidur atau makan? Andaikan Dia berbicara langsung kepadaku, dan kutemukan ke mana aku harus pergi, maka aku akan makan dan tidur." Di kemudian hari Syamsuddin menceritakan itu sebagai periode cinta sejati.
Ketika Syamsuddin beranjak dewasa, Syamsuddin mulai mencari murid untuknya. Ia pun menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk melakukan pencarian. Mengembara dari kota ke kota, hingga antar negara. Ia tidak hanya mengajar murid-murid sekolah, tetapi juga kaum pekerja yang tidak berpendidikan. Bahkan, ia tidak pernah menarik bayaran atas apa yang ia kerjakan.