Mohon tunggu...
Rahmatul Fahmi
Rahmatul Fahmi Mohon Tunggu... profesional -

Bukan penulis. Gemar membaca berita politik, ekonomi dalam negeri.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Rapor Merah Pengayom Rakyat Aceh

1 Maret 2010   15:06 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:40 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

18 Agustus 2009 yang lalu, sebuah perampokan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) terjadi di Simpang Dodik, Lamteumen, Banda Aceh. Pelakunya Pratu Ari Setiawan, Pratu Hermanto, dan Pratu Eko Saputra dari Yonif 111, sedangkan satu orang lagi, Pratu Apan Harianto merupakan anggota Yonif 112 dan masih buron. Tiga dari empat anggota TNI tersebut akan segera menjalani persidangan di Mahkamah Militer. “Pokoknya tidak kita tunda-tunda. Awal April setelah berkasnya kita terima,” tulis AcehKita.com mengulang penuturan Kepala Hukum Kodam Iskandar Muda, Kolonel CHK Hilmansyah SH, usai peringatan HUT ke 58 Corp Hukum TNI AD, Senin (1/3).

22 Februari 2010, Kepolisian Resort Aceh Besar terlibat kontak tembak dengan kelompok bersenjata di Pegunungan Jalin, 20 km dari Jantho, Aceh Besar. Sebuah prestasi yang gemilang. 4 anggota kelompok bersenjata tersebut berhasil ditangkap. Namun malang bagi Kamaruddin (37), warga Kuta Cot Glie yang sedang mencari ikan, dia justru tewas akibat aksi salah tembak Polisi. Sedangkan anaknya, Suheri (14), kritis. Polisi menembak karena mengira mereka membawa senjata, padahal itu hanya senapan untuk menangkap ikan. “Kapolda Aceh Irjen Adityawarman sudah meminta maaf atas kejadian itu. Tapi, elemen sipil dan warga Cot Leupueng mengecam aksi polisi dan meminta Kapolda bertanggungjawab.” Tulis AcehKita.com.

Dua kasus tersebut sangat melukai perasaan masyarakat Aceh. Betapa tidak, mereka yang seharusnya bertugas untuk melindungi masyarakat justu berada di balik kasus-kasus itu. Terang saja, tingkat kecepercayaan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum semakin kritis.

Salah seorang kompasioner menulis ‘buru teroris = bunuh warga?’ menanggapi Insiden di Jalin tersebut. Di dalam tulisannya, Sehat Ihsan Shadiqin menulis kutipan dari Koordinator Kontras Aceh Hendra Fadhli, “Permintaan maaf Kapolda yang tak dibarengi dengan upaya pengungkapan secara objektif tentang kejadian itu, telah menunjukkan wajah lama Kepolisian yang mengabaikan aspek akuntabilitas (kepercayaan) publik. Hingga saat ini penyalahgunaan wewenang oleh anggota kepolisian serta kecendrungan sikap bela diri dan perlindungan korps, sudah jadi rahasia publik. Karenanya, Kepolisian harus melakukan penegakan hukum di kalangan internalnya untuk memulihkan kepercayaan publik untuk mengangkat citranya.

Di ranah Nasional, belum lekang dalam ingatan kita kasus Cicak vs Buaya yang harus didamaikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Kasus Polri dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini sempat menghebohkan publik karena dua pimpinan KPK diciduk Polisi atas dugaan terlibat dalam kasus penyuapan. Publik berteriak supaya buaya melepaskan cicak dari cengkeramannya. Publik menilai Polri salah langkah karena menangkap orang dengan alasan yang dibuat-buat. Syukur akhirnya MK datang dan mendamaikan perseteruan itu.

Lain lagi halnya dengan kasus yang satu ini. Lembaga yang dibentuk oleh pemerintah Aceh untuk mengawal pelaksanaan Syariat Islam di Provinsi ini justru ikut-ikutan tercoreng namanya gara-gara pada 9 Januari 2010, 2 anggota Wilayatul Hisbah (WH; Polisi Syariat di Aceh) ditangkap karena memerkosa tahanan, satu orang lagi menjadi buronan polisi hingga kini. Tak tanggung-tanggung, masyarakat langsung mengecam dan sebagian di antaranya meminta supaya WH sebaiknya dibubarkan saja. Lengkaplah sudah.

TAF Haikal, salah seorang aktivis Aceh, mengatakan “Sebaiknya WH dibubarkan saja, dan dibentuk unit khusus di kepolisian Aceh yang menangani masalah syariat. Seleksi calon polisi itu melibatkan ulama dan pimpinan pesantren,” seperti yang ditulis AcehKita.com di websitenya. Namun Muhammad Nazar, mantan Aktivis Sentra Informasi dan Referendum Aceh (SIRA) yang kini menjabat sebagai Wakil Gubernur (Wagub) Aceh langsung mengatakan bahwa WH tidak perlu dibubarkan, hanya perlu penegakan hukum yang lebih berat bagi penegak hukum yang menyimpang.

Senada dengan Wagub, Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh, Prof. Dr. Teungku Muslim Ibrahim, MA meminta anggota WH yang terlibat menyimpang harus dihukum lebih berat dari sipil biasa. “Jika cambuk, ya mereka harus dicambuk juga. Kalau orang lain tujuh kali, mereka harus dua kali lipat,” tuturnya seperti yang ditulis AcehKita.com, Kamis (14/1).

Bila disinggung institusi, semuanya pasti akan menolak dan mengatakan yang melanggar itu hanyalah oknum. Tapi apa yang mau dikata, gara-gara beberapa orang saja, nama institusi ikut terbawa-bawa. Gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. TNI, yang dulu sempat menjadi musuh bebuyutan Gerakan Aceh Merdeka, menjadi buruk namanya di mata masyarakat akibat kelakuan beberapa anggotanya. WH bahkan sempat diterpa isu permintaan pembubaran oleh masyarakat, juga akibat tingkah polah beberapa anggotanya yang tidak senonoh. Polisi, tadi Siang Mapolda-nya justru baru didatangi sejumlah mahasiswa yang menuntut pertanggung jawaban polisi atas kasus salah tembak di Jalin, Jantho, Aceh Besar. Mereka menuntut Polisi untuk memberikan jaminan pendidikan hingga perguruan tinggi bagi anak korban dan tunjangan hidup bagi keluarga Kamaruddin.

Kasus-kasus ini seperti kisah di film-film setelah maghrib hingga sebelum tengah malam yang sering di siarkan di televisi Indonesia, menguras air mata. Siapa pun yang punya hati nurani akan menilai kasus-kasus yang melibatkan penegak hukum itu tak layak untuk terjadi, bukan hanya di Aceh, tapi di belahan dunia mana pun. Mereka memang manusia yang juga punya salah dan lupa, tetapi mereka berada di bawah Institusi yang bertugas untuk mengayomi masyarakat, bukan justru malah membuat masyarakat menjadi tidak nyaman dengan kelakuannya.

Pemecatan, sanksi administratif, dan sanksi-sanksi lainnya belumlah cukup untuk mengganti kerugian materil dan moril para korban, namun perlu juga tindakan berkeadilan dan tambahan pembinaan moral kepada para pengayom masyarakat itu. Mudah-mudahan ke depan, kasus-kasus seperti ini tidak lagi terulang dan korban mendapatkan keadilan atas apa yang menimpa mereka saat ini. Semoga.

**foto-foto bersumber dari acehkita.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun